"Ini sungguh kesalahanku. Bukan maksudku menolak niat baikmu, Nak. Tapi kalian adalah dua insan yang berbeda. Maaf jika tidak memberitahumu sejak awal dan aku biarkan banyak hal terjadi di antara kalian. Ini sungguh kesalahanku. Aku sempat mengira hal ini akan terjadi tapi aku tidak mencegahnya."
Tiba-tiba hatiku mendingin.
Aku tidak mengerti apa yang diucapkan Pak Bah.
Aliran darahku terus dipompa dengan cara yang tidak teratur.
Sementara Pak Bah berbicara dalam suara yang bergetar dari balik ruang tamu.
"Nak, kau harus tahu bahwa Sena, anakku, putriku satu-satunya adalah seorang Buddhis yang amat sangat taat. Dan kau tentu tahu, kau adalah seorang muslim yang baik. Ada sekat yang tidak bisa ditembus antara kalian berdua."
"Kalian tidak mungkin bisa serumah, karena kepercayaan kalian tidak seatap. Kau percaya tentang esa, tapi Sena menjalankan kepercayaan lima sila. Begini, kau pasti tahu bahwa bangunan yang kelak ingin kalian dirikan tidak akan jadi. Meskipun masih bisa dipaksa berdiri, bangunan itu tidak akan kokoh. Sebab, ia dibangun dengan fondasi yang tidak saling menguatkan. Kepercayaan yang kalian pegang masing-masing hanya menjadi keraguan bagi satu sama lain. Pun tentang doa, bukankah pepatah lama itu benar? Jika kau mencintai seseorang, maka kau mendoakan kebaikan baginya. Lalu… bagaimana kalian akan saling mendoakan apabila tempat yang dituju saja berbeda dan berbatasan. Entah apa yang bisa menembusnya."
Aku masih mencoba menegakkan kepalaku.
Aku sungguh tidak percaya, kepalaku mendadak kosong atas apa yang baru saja aku dengar.
Kosong, tidak ada apa pun. Sejenak aku diam, menatap langit-langit yang menaungiku.
Ada rasa tidak terima jika ternyata Sena adalah seorang penganut buddha.
Selama ini, aku tidak melihat perbedaan yang berarti ada padanya.
"Sena seorang penganut buddha?" ucapku lirih, sangat lirih.
Seakan-akan segala pertanyaan ganjilku terjawab, alasan mengapa Sena tidak mempunyai jilbab satu pun.
Alasan tentang bau wewangian dupa yang kadang tercium di sekitarnya, serta buku bacaan yang tidak aku mengerti adalah miliknya.
Seakan-akan potongan puzzle yang tadinya masih berantakan berserakan di dalam kepalaku, kini menemukan pola dan kerangkanya.
Terjawab sudah.
Pak Bah mengangguk dengan posisi membelakangiku.
"Tidakkah kau memperhatikan? Tidak ada mukena di rumahku. Dan apakah kau pernah melihat Sena salat lima waktu? Pasti tidak."
Sekarang Pak Bah menangis tergugu, aku menjadi iba rasanya.
Entah apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini.
Mengapa Pak Bah yang merupakan seorang muslim taat dan sering diundang di pengajian-pengajian desa untuk memberikan sambutan, ternyata memiliki putri seorang nonis.
Ada hati yang tidak terima dengan keadaan ini.
Mengapa aku tidak diberi tahu sejak awal?
Mengapa baru di saat-saat aku sudah sangat yakin dan mempunyai keberanian, kenyataan yang mengejutkan menamparku dengan kasar bahwa seseorang yang aku cintai tidak akan bisa aku miliki karena sebuah sekat yang garis takdir pun tidak bisa diajak berkompromi.
Entah sesak dari mana yang tiba-tiba menyelusup ke dalam paru-paruku.
Menyabotase oksigen di sana dan membuatku susah bernapas. Perih dan sesak sekali.
"Pak…" Aku mencoba berdiri tepat di belakangnya.
"Tidakkah kalian sadar bahwa aku sudah berusaha ingatkan kau berkali-kali, tentang hati-hati dengan cinta pandangan pertama, karena aku lihat kalian memiliki rasa penasaran terhadap satu sama lain. Bukan maksudku melarangmu hanya saja, kalian memang tak sama…"
"Mengapa tidak lebih keras lagi mengingatkannya? Atau setidaknya Pak Bah berterus terang saja padaku. Aku... aku sungguh terlanjur mencintai putri bapak. Ada rasa nyaman dan yakin terhadap masa depan kami satu sama lain, Pak. Bahkan ketika aku mengajaknya bertemu Ibu, Pak Bah terlihat bahagia dan membolehkannya. Juga saat aku memperkenalkannya pada Ibu, Sena juga menceritakannya padamu, bukan?"
Pak Bah berbalik menatapku dengan tatapan yang nanar, itu membuatku ciut seketika. "Berterus terang? Kau pikir aku dapat berterus terang berkata kepada orang-orang bahwa aku seorang yang terlihat religius dan banyak berbicara dalam forum agamaku sendiri, meyakinkan orang-orang untuk percaya bahwa agama yang aku peluk adalah agama yang paling benar, tetapi tidak mampu menjaga dan meyakinkan putrinya sendiri? Semua yang pernah aku katakan, dakwah dalam diam yang aku jalankan hanya akan terdengar seperti omong kosong, Nak." Kalimatnya tercekat di akhir suara.
"Di satu sisi aku malu melihat diriku yang menyedihkan ini. Tapi di sisi lain, aku membiarkan kedekatan kalian berdua itu karena aku berharap kau bisa membawanya pada naungan yang sama, sama denganmu, sama denganku, tapi kurasa itu tidak akan menjadi mudah, keyakinan Sena pada agamanya bukan setahun dua tahun saja telah ia dalami. Ia sudah memeluknya sejak masih kecil. Didoktrin sedemikian rupa supaya memiliki pegangan yang kuat pada agamanya. Aku munafik sekali karena tak berani melakukan itu sendiri, aku takut ketika aku yang mengatakannya pada Sena, ia akan meninggalkanku, ia adalah seorang penganut buddha yang taat, Dip. Dan semenjak mengenalmu, ia jadi rajin mengunjungiku. Ayah mana yang tidak bahagia hatinya dikunjungi oleh putri kesayangan satu-satunya."
"Sebelum-sebelumnya, Sena hanya mengunjungiku setahun sekali. Itu pun hanya ketika aku meminta. Dan saat pertama kali kalian bertemu, waktu itu Sena baru saja keluar dari gerbang rumahku dan kau datang kemari bersama Leo. Itu kunjungan Sena setelah tujuh bulan lamanya. Malam harinya, Sena meneleponku, ia bertanya tentang siapa pemuda yang mengunjungiku siang tadi. Aku tidak terlalu banyak menjelaskan, aku pun lupa dengan nama dan tidak terlalu banyak tahu tentangmu. Tapi ternyata kau malah mengunjungiku lagi, lagi, dan terus-menerus. Sena yang mengetahui itu pun jadi melakukan hal yang sama."
"Aku pernah menjadi bujang sepertimu, Nak. Aku tentu paham bagaimana kecewanya tidak bisa memiliki hati seorang gadis yang telah kita yakini dengan sepenuh jiwa hingga kau berani meminta langsung kepada ayahnya, aku tahu rasa patah dan kecewa itu. Tapi kelak ketika kau menjadi ayah, kau pasti akan paham ada rasa sakit yang lebih besar, yaitu seorang ayah yang tidak bisa merasa memiliki putrinya sendiri. Putri satu-satunya."
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog