Pagi sekali aku sudah memanasi motor Lail.
Nurdin yang dahulu pada jam sama selalu menghampiriku, kini tetap datang ke halamanku hanya saja menjemput orang yang berbeda.
Setiap hari melihat pemandangan seperti ini aku jadi mulai terbiasa mengabaikannya.
Ada sesuatu yang penting yang akan aku lakukan hari ini.
Seperti biasa, tujuanku adalah rumah Pak Bah. Ada banyak mesin-mesin yang sakit, ingin segera disembuhkan.
Mungkin aku akan berkutat dengan traktor sepuh itu lagi jika tidak ada kipas angin atau rice cooker yang harus dibetulkan.
Kemampuanku sementara hanya mahir untuk benda semacam itu.
Matahari cukup hangat menemani perjalananku menelusuri jalanan yang tidak rata.
Kadang turun, banyakan naik, kadang juga landai lalu kemudian rata sebelum akhirnya naik atau turun lagi.
Sesaat sebelum aku benar-benar sampai dan memarkirkan sepeda motor yang aku naiki di halaman rumah Pak Bah, aku melihat sedan merah baru saja melintas pergi melewatiku dan hilang di kelokan jalan.
Mobil itu seperti yang pernah aku lihat saat pertama kali ke sini bersama Pak Leo.
"Pak Bah, sebelumnya ada yang ingin aku bicarakan, mungkin tidak terlalu penting. Tapi aku merasa perlu untuk membicarakan hal ini denganmu."
Tak ada perubahan yang berarti pada raut wajah Pak Bah, seperti biasanya diam, tenang, terlihat seperti tidak peduli padahal sebenarnya sangat memperhatikan. "Bicaralah, Bujang. Tidak seperti biasanya kau meminta izin terlebih dulu."
"Ini menyangkut aku dan putrimu, Pak. Sena." Secara tiba-tiba tenggorokanku mengering, jantungku berdegup kencang, dan keberanianku bergetar bukan main.
Sempat kurutuki diriku sendiri mengapa aku langsung mengajak bicara ayahnya, ingin aku coba membanting stir membuka pembicaraan tapi aku tidak bisa menarik kata-kataku lagi, bila sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai, begitu kata orang melayu.
Sudah terlanjur.
Pak Bah kini menatapku serius.
"Tak terhitung sudah seberapa sering saya berbincang dan berhubungan baik dengan Sena, entah itu di sini, di rumah sendiri, di pasar atau di mana pun. Ini telah terjadi selama berbulan-bulan sejak pertama kali kami bertemu. Ia memberikan warna yang berbeda dengan caranya sendiri pada kehidupan keluarga saya. Ibu mulai terbiasa menanyakannya, kakak perempuanku juga sudah akrab dengan Sena. Ada yang berbeda jika ia tidak ada. Rumah kami menjelma taman yang lebih berbunga dari yang tadinya sunyi sebelum ia datang. Pada awalnya saya juga tidak mengira akan saling mengenal hingga sejauh ini, tapi Pak Bah sendiri yang mengatakan bahwa pertemuan yang tidak sengaja, kebanyakan memang mengubah rencana." Gaya bicaraku berubah menjadi lebih formal, tidak tahu mengapa. Aku masih gugup dan menimang-nimang perkataanku, apakah akan aku lanjutkan atau sebaiknya dihentikan saja.
"Entah apa yang membuat saya berpikir bahwa semesta mendukung jalan kami, perasaan ini tiba saat saya mulai mempunyai kesibukan meskipun serabutan yang membuat saya memiliki penghasilan dan tabungan, memang tidak banyak, tapi cukup untuk sekadar menghidupi saya dan Ibu. Sena juga hampir selesai dari sekolahnya. Ia terlihat lebih dewasa dari semenjak saya bertemu dengannya pertama kali. Maaf jika ini lancang, tapi saya takut tidak bisa mengatakan karena tidak punya kesempatan, karena saya yakin bukan hanya saya saja yang ingin menggunakan kesempatan itu. Mungkin ini terlalu cepat, atau bahkan mengejutkan. Tapi saya rasa tidak ada perasaan yang tidak mempunyai hak untuk disampaikan selama keadaan memang masih memberikan kemungkinan akan terciptanya sebuah jalan. Saya masih sendiri dan Sena juga. Apa kiranya boleh, jika saya memiliki itikad baik untuk bisa lebih serius dengan-"
Sebelum aku mengakhiri kata-kataku, Pak Bah menangis. ia melepaskan kacamatanya dan beranjak dari tempat duduk dibalik meja kerjanya. Ia meninggalkanku yang kebingungan di kursi seberangnya.
Entah apa yang terjadi padanya selama aku berbicara tadi. Sungguh aku akan memukul diriku sendiri jika ada dari perkataanku yang melukai hatinya.
Aku belum pernah melihatnya menangis sebelumnya, bahkan dalam keadaan tersedih sekalipun.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog