Kerusakan kipas angin ini sebenarnya sederhana, hanya berdengung dan tidak mau berputar.
Menurut analisisku yang masih baru dalam dunia pereparasian ini, ada beberapa faktor yang membuat kipas angin menjadi seperti itu, salah satunya adalah karena bearing atau bushing-nya sudah aus.
Atau kemungkinan kedua yaitu karena as motor kipas dengan stator (pelat yang ada spulnya) sudah tidak di tengah-tengah, rumah motor depan dan belakang sudah penyok, sehingga as motor menempel pada stator.
Entah apa yang membuat kipas angin ini jadi lama sekali membetulkannya, padahal kata Pak Bah, ia sering menjumpai masalah yang seperti ini.
Karena saking susahnya, Pak Bah sampai berprasangka buruk pada cecak.
Ia bilang, jangan-jangan seekor cecak menjadikan kipas angin yang bukan hak miliknya ini sebagai rumah.
Tanpa bukti tanpa saksi Pak Bah mengatakan hal demikian.
Sayang sekali hingga sang Matahari kembali ke peraduannya, aku tidak berjumpa dengan Sena.
Mungkin pekan ini memang ia tidak berkunjung ke rumah Pak Bah.
Entah mengapa, aku sedikit kecewa karena hal ini, padahal niatku kemari bukan karena gadis itu, seharusnya ketidakhadirannya tidak menjadi masalah bagiku.
Tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal karena melewatkan Senin sampai Minggu tanpa ada dia mengisi di salah satu harinya.
Sepanjang jalan pulang, aku bertanya pada diriku sendiri.
Siapakah gerangan yang sebenarnya mengisi relung hati yang dalam ini? Aku kira ia Zahwa dan akan selalu Zahwa.
Tapi lihat aku kini yang memalukan ini, saat aku terbiasa dengan Sena, sejenak segala tentang Zahwa mulai tersingkirkan.
Aku yakin aku bukan orang yang seperti itu, tapi jika batinku benar, lalu siapa ini? Raga dan jiwa yang sedang kupinjam atau memang waktu yang telah mengubahnya.
Aku turun di halte bus, tempat biasanya aku berangkat.
Dengan tangan yang dimasukkan ke saku jaket adias andalanku, kulangkahkan kaki yang sepertinya dengan mata tertutup pun aku tetap bisa sampai ke rumah.
Di tengah jalan aku bertemu dengan Jupri, kawan lamaku di Berdikari.
Meskipun perjumpaan terakhir kami berjalan tidak menyenangkan, namun kali ini aku merindukannya dan teman-teman di toko dahulu.
"Mau mampir? Aku dapat tugas jaga malam hari ini," sambutnya di perempatan jalan dekat Berdikari.
Kujabat tangannya dan ia merangkulku. "Tidak, Jup. Terima kasih. Aku mau pulang saja. Semangat bekerjanya ya!" Aku memasang senyum paling tulus yang aku bisa.
Aku telah berdamai dengan segala marah dan luka yang dahulu aku rasakan saat baru saja meninggalkan tempat kerja lamaku yang sangat berkesan itu.
"Jangan begitu, anak-anak di toko pasti senang kamu datang," ucapnya dengan nada agak memaksa.
"Tidak, Jup. Tidak usah, lagi pula aku tidak enak jika ada Pak Boss di toko."
Tanpa persetujuanku ia turun dari motor dan menyeretku supaya memboncengnya. Aku yang sebenarnya mau-mau tapi malu, pada akhirnya mengiyakan ajakan Jupri.
Tanpa disangka-sangka toko kini sudah berubah 180 derajat.
Posisi tangga telah berubah, etalasenya semakin banyak, ada kedai kopi di pojok kanan depan dan lantai dua menjadi toko buku yang tidak terlalu besar tapi isinya sudah lumayan banyak.
Entah berapa lama semenjak aku dipecat dari sini, tapi hal ini benar-benar membuatku kagum.
Walaupun ada rasa kecewa karena tidak bisa membersamai, tapi melihat sesuatu yang kutinggalkan kini sudah jauh lebih baik, aku jadi ikut mensyukurinya.
Mungkin jika aku dahulu tidak dipecat, toko ini tidak akan jadi seperti ini.
Aku dahulu cukup berpengaruh dan kekeh dengan pendapat sendiri jika sedang diajak diskusi.
Yayuk yang pertama menemukanku di muka toko, ia langsung bangkit dari kursi kasir, berlari ke arahku dan menyerangku habis-habisan. Kini ia semakin berisi dan lipstiknya semakin tebal.
"Ke mana saja, Dip! Gila gue kangen banget!" Entah peradaban dari mana yang tengah menyambangi toko ini, tapi kata gue dengan logat Jawa medok yang diucapkan Yayuk sangat ingin membuatku tertawa.
"Mohon maklum, seisi toko ini sedang demam youtuber yang digandrungi anak muda, aku lupa siapa namanya. Bayu… Bayu siapa itu. Sejak dipasang wi-fi karyawan jadi lebih betah di sini." Jupri menertawakanku yang kesakitan dipukuli Yayuk.
Wah benar-benar sebuah kemajuan, pantas saja kutemukan banyak anak-anak nongkrong di kedai kopi, ternyata karena rooter yang dipasang di sudut ruangan.
Karyawan lain juga ikut merangkul dan menyalamiku. Belum banyak yang diganti, semua masih orang-orang yang dahulu.
Tiba-tiba dari arah tangga seorang gadis berlari kencang ke arahku dan memelukku sebelum aku sadar dengan kehadirannya.
Laras, lama sekali aku tidak berjumpa gadis ini.
Semua mata tertuju pada kami, mereka bertepuk tangan dan menyoraki.
Aku hendak mendorongnya tapi sebelum itu terjadi ia sudah lebih dahulu melepaskan pelukannya padaku.
Aku menatapnya nanar, tidak mengerti apa yang ia lakukan. Aku hendak marah, tapi dengan melihat Laras yang menangis, aku mengurungkan niatku.
"Kita bertetangga, jarak rumah kita hanya selisih tiga gang saja, tapi mengapa aku tidak menemukanmu di mana-mana?" Tanyanya.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog