Tidak salah memang, ketika kita ingin hari terasa lebih panjang, maka bangunlah mendahului Matahari.
Kata Ibu begitu dan aku sangat setuju.
Dengan cara itu, kita melewati tiga masa pergantian sinar dalam sehari, dari gelap, menjadi terang dan kemudian gelap lagi.
Aku sangat penasaran dengan asal rindu, apakah ia muncul hanya ketika pagi dan dini hari? Atau ia hadir setiap waktu dalam keadaan yang tidak menentu?
Sejujurnya aku tidak terlalu paham dengan kemauan satu perasaan ini, hanya saja, ia kerap hadir dengan mengambil bentuk yang tidak bisa ditebak.
Kadang ia menjadi perasaan tidak sabaran, kadang menjadi curiga, tapi ia juga bisa menjelma rasa yang entah apa namanya.
"Beliau orang yang baik, meskipun caranya berkomunikasi sedikit tidak biasa." Tiga hari yang lalu Mr. Arief berkunjung ke rumah Pak Bah.
Aku tahu dari bungkus rokoknya yang selalu tertinggal. Entah apa alasannya, tapi kali ini bungkus rokok itu telah kosong.
"Aku sempat berpikir jika aku akan kena masalah di hari awal aku bekerja, Mr. Arief secara tiba-tiba memanggilku ke ruangannya dengan suara yang keras dan cara yang aneh, menurutku sedikit kasar. Tapi ternyata memang pembawaannya yang seperti itu."
Pak Bah manggut-manggut di depan kipas angin yang tengah sekarat dan setiap kali disetel berbunyi ngik-ngik seperti napas kakek-kakek yang umurnya tinggal menghitung hari.
"Itulah mengapa kita tidak dianjurkan untuk menilai seseorang hanya dari kelihatannya saja. Tapi kenyataannya, seolah-olah manusia dilahirkan untuk menilai manusia lain. Walaupun sulit tapi mudah-mudahan kita bukan salah satu jenis manusia yang seperti itu."
"Tidak, tidak, bukan maksudku menjadi penilai atau pengawas bagi tingkah laku orang lain, hanya saja aku mengatakan apa yang ada di kepalaku mengenai orang yang cukup berpengaruh dalam hidupku untuk waktu-waktu ini. Dan kurasa, aku tidak mengatakan keburukan. Aku pun hanya menceritakannya padamu."
"Sudah, sudah. Dip, tolong ambilkan aku pelumas di etalase, letaknya di rak nomor dua." Aku melakukan apa yang Pak Bah perintahkan.
Selalu seperti itu.
"Ambil yang tutupnya sudah dibuka, jangan yang baru."
"Pak, kira-kira apa alasan Mr. Arief lebih suka singgah di kota kabupaten daripada di ibu kota besar sana? Ia adalah seorang komisaris pusat. Tapi malah lebih memilih tinggal di tempat terpencil seperti ini." Ini adalah alasan obrolanku kali ini, yang tadi hanya pembuka kata saja.
"Kita tidak bisa menebak dengan pasti alasan seseorang melakukan ini dan melakukan itu, atau memilih untuk tidak melakukan itu dan juga tidak melakukan itu. Yang kita bisa hanyalah menyebutkan asumsi-asumsi dari pikiran kita sendiri yang tidak jelas kebenarannya. Kecuali jika kau menanyakan langsung pada orangnya. Besar kemungkinan kau akan tahu alasan sebenarnya. Itu pun jika orang yang kau tanya tidak berbohong." Pak Bah membenarkan kaca matanya yang melorot.
Ia kembali menyuruhku mencari pipet yang akan ia gunakan untuk mengambil cairan pelumas dan meneteskannya ke mesin kipas angin.
"Tapi dari yang aku ketahui Arief adalah seseorang yang cukup tertutup mengenai kehidupan pribadinya. Dia adalah juniorku yang penurut dan tidak banyak mengeluh. Walaupun ia terlihat keras, namun semasa muda, aku lebih keras darinya. Ia pernah bilang padaku bahwa ia tidak suka perkotaan. Kami dulu pernah tinggal selama enam bulan di tengah hutan. Memang tidak full selama itu, kadang kami juga menyambangi desa dan kota di dekat tempat kami bekerja. Tapi anak itu malah menyukai hutan yang kebanyakan dikeluhkan anggota lain termasuk aku. Dan satu hal lagi yang aku sangat ingat darinya adalah, ia orang dengan ingatan paling tajam yang pernah aku kenal."
"Tapi, waktu aku menemui Mr. Arief di ruangannya, ia berkata bahwa ia seperti pernah bertemu denganku tapi ia lupa di mana tempatnya. Dan ia juga sempat menyinggung tentang Randu Gunting, desa tempatku tinggal, tapi ia juga lupa mengapa ia tiba-tiba mengingatnya."
"Yah, kau tahu, Nak. Waktu itu mengubah seseorang, bukan?"
Aku mengangguk setuju.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog