Jajaran bukit yang menggandeng Randu Gunting tidak pernah berpindah, sejak aku lahir, mereka tetap di sana.
Tenang, tertanam, seperti sanggup membatu selama apa pun, dan tabah menjalankan perannya.
Hari minggu, aku tak harus menjaga toko baju milik saudara Pak Leo. Bu Widi juga tidak memintaku untuk mengantarkan pesanan pelanggan.
Di ladang sudah ada cukup orang untuk menyiangi rumput, Ibu menyuruhku untuk mengerjakan hal lain. Alhasil tempat Pak Bah lah tujuanku.
Seperti biasa, aku berjalan kaki sampai ke halte, menunggu bus angkutan kota, menunggu lagi satu jam sebelum sampai, dan ketika turun pasti bertemu Sena.
Template perjalananku hampir selalu seperti itu. Kali ini Sena memakai topi baret merah maroon, senada dengan rambutnya yang sedikit pirang kemerahan.
Bajunya berwarna cerah dengan bawahan hitam. Sepatunya manis, cocok sekali dengan penampilannya hari ini.
Sena menenteng cangkingan berisi sayur mayur dan beberapa potong daging mentah. Kali ini aku membantunya membawa barang belanjaan.
Tidak banyak, tapi aroma daging segar di dalam cangkingan cukup menarik perhatian anjing peliharaan warga yang menyambut kami di perempatan jalan sebelum sampai ke rumah Pak Bah.
"Sena, kalau minggu selalu ke sini ya?" tanyaku basa-basi.
"Tidak Bang, kalau sedang ingin saja," jawabnya.
Kami berbincang-bincang sepanjang jalan. Anak-anak kecil yang berpapasan dengan kami langsung otomatis membuntut ketika tahu pawang mereka datang.
Tentu saja pawang yang aku maksud tadi adalah Sena. Entah apa yang membuatnya begitu menarik bagi anak kecil, ia seperti magnet dan anak-anak seperti pasir yang mengelilinginya.
Langkah kami tak cepat namun juga tak pelan, tiba-tiba saja kami sudah sampai.
"Anak muda ini lagi," Pak Bah menyambutku di ujung pintu, raut wajahnya lebih cerah dari biasanya. "Mungkin baru kemarin, tapi rasanya aku sudah lama sekali tidak melihatmu, Bujang."
Aku mengangguk tersenyum.
"Sedang sibuk apa kau kali ini, Dip?" Entah apa alasannya, Pak Bah selalu menanyakan hal demikian setiap aku baru sampai.
Mungkin karena Pak Bah sangat tidak menyukai pemuda sehat wal-afiat yang menganggur. Berkali-kali ia mengatakan itu padaku.
Katanya, kerjakan apa saja yang penting, tidak hanya melamun dan berpangku tangan.
Orang yang menganggur tidak beda jauh dengan orang mati, sama-sama tidak menghasilkan apa-apa bahkan bagi dirinya sendiri.
"Masih serabutan saja, Pak Bah," jawabku sangat pelan, mana mungkin aku bisa bangga gembira-ria dengan predikat pekerja serabutan tersemat dalam diriku.
"Bagus." Jawaban Pak Bah membuat telingaku berdiri.
Aku telah siap mendengar jawaban lebih buruk dari perkataan, omelan dan saran-sarannya yang jujur.
"Bagus, setidaknya ada yang kau lakukan," ucapnya sekali lagi, "Esok ketika kau berkenan, kau bisa hubungi bapak ini. Bilang kalau kau adalah anak buahku, ia pasti akan senang menerimamu."
Pak Bah menyodorkan sebuah kartu nama berwarna putih kombinasi oranye dengan lambang burung walet di pojok kanan atas, di sana tertulis nama Mr. Arief Budiman.
Aku mengangguk, menerimanya dengan baik, meski belum tahu ke depannya akan bagaimana.
Di depanku telah tersaji dua cangkir kopi manis yang masih kelihatan asapnya. Cuaca sudah mulai memasuki musim penghujan, pancaroba lebih tepatnya.
Nara akan lebih jarang dikunjungi sinar matahari karena tebalnya kabut dan awan. Ibu-ibu akan pusing karena jemuran akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk kering.
Belum hilang asap dari cangkir kopiku, Pak Bah tiba-tiba berdiri, meletakkan ragum serta solder di meja kerjanya dan mengajakku pergi.
Sebelum itu, ia meneguk air kopi yang masih panas dalam sekali tarikan napas, menyisakan ampasnya di dasar gelas.
Aku belum pernah melihat yang seperti itu, apa lidah Pak Bah baik-baik saja? Kuseruput sedikit kopi milikku dan benar saja, masih panas.
Bagaimana Pak Bah melakukannya?
Dengan menenteng tongkat kayu jati dengan pelitur yang masih mengkilap, tapi aku yakin tongkat itu telah berusia puluhan tahun.
Aku dapat merasakan wujudnya yang menyatu dengan pemiliknya, seperti sudah sejiwa walaupun baru indra mata yang bekerja menyaksikannya.
"Tiba-tiba, aku terpikir ide yang lebih baik. Kita datangi saja orangnya langsung. Aku pun sudah lama ingin mengunjunginya. Ayo anak muda, pakai kembali jaketmu." Pak Bah segera bergegas.
Tidak kusangka geraknya yang lambat ketika di belakang meja, tak tercermin sama sekali untuk saat ini.
"Ke mana kita akan pergi, Pak?"
"Ke tempat seseorang yang telah aku anggap sebagai kerabat. Mungkin kau akan menyukainya. Ayo bergegas, kecuali jika kau ingin tinggal."
Sebenarnya aku tidak keberatan untuk tinggal, ada Sena di rumah ini. Semakin ke sini aku senang menghabiskan waktu bersamanya.
Tapi rasa penasaranku tentang ke mana kami akan pergi dan mengapa Pak Bah mengajakku sungguh lebih besar.
Bagai sapi yang ditindik hidungnya, aku mengikuti Pak Bah yang menjadi penggembalanya.
Kami menunggu bus angkutan antar kota di tempat biasanya aku turun dari Nara.
Setengah jam kemudian, tiga kota kecamatan sudah terlewati tapi kami belum sampai.
Sepanjang jalan Pak Bah tidak berbicara apa-apa, hanya menatap jalan dan pepohonan yang terlihat seperti berlari ke arah yang berlawanan dengan jalannya bus.
Sekejap aku merasakan Pak Bah adalah orang dengan pandangan paling teduh setelah Ibu, Ayah, dan Zahwa.
"Apa yang sedang Pak Bah pikirkan?" tanyaku memecah lamunannya.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog