Berbeda dengan alasan putrinya.
Aku menjawab, “Sedang ingin bertemu orang Pak, jenuh di rumah bertemu sepi terus.”
Pak Bah tertawa, ia bolak-balik dari rumah menuju bengkel elektronik ini, sejenak menemuiku dan menemui putrinya. “Bisa kebetulan berkebalikan seperti itu ya.
Ah! Atau bisa jadi obat dari sesuatu yang tengah kita derita adalah kebalikannya. Semisal kita sedang kepanasan, kita mencari dingin untuk meredakannya.
Ketika kita terlanjur naik terlalu tinggi, kita akan turun untuk merendahkannya, atau ketika merasa sempit kita perlu luas untuk melegakannya.
Termasuk kalian, putriku tengah jenuh dengan ramai alhasil ia mencari sepi, juga kau yang lelah dengan sepi, mencoba bertemu sedikit ramai agar tidak merasa sendirian. Lucu sekali, aku baru sadar di usia setua ini.”
Aku juga baru menyadarinya.
“Pak, silakan menemui putri Pak Bah terlebih dulu tidak apa-apa. Saya bisa nanti-nanti saja.” Aku tak ingin mengganggu pertemuan anak dan ayah ini.
“Oh tidak. Tidak perlu, ia punya banyak teman di sini.”
Tak selang beberapa lama, kulihat beberapa anak kecil ramai masuk dari pintu samping rumah Pak Bah.
“Mereka adalah tetangga yang sudah aku anggap sebagai cucu dan keponakanku. Entah kapan mereka dengar kabar Sena pulang. Aku tak memberi tahu siapa pun soal ini. Sena jarang sekali pulang, jadi anak-anak akan berkumpul semua jika momennya tepat.”
Aku lebih banyak mengangguk seperti biasanya, rupanya nama gadis itu Sena.
“Jangan kau pandangi anak gadisku terus menerus, nanti habis.” Candaan Pak Bah membuat wajahku merah.
Aku tak bermaksud memandang seperti itu.
“Apa Sena berkunjung untuk waktu yang lama?” tanyaku tiba-tiba. Lidahku kikuk menyebut namanya, sedikit canggung, sok kenal padahal baru kali ini dengar.
“Entah, ia harus kembali bekerja dan sekolah. Tapi ia sudah dewasa jadi sudah bukan tugasku lagi untuk mengaturnya.”
Seperti biasa, aku disuruh-suruh untuk mengambilkan perkakas yang dibutuhkan Pak Bah saat membetulkan barang.
Kali ini ia tengah mengoperasi mesin water-heater. Aku ragu mesin ini akan bisa betul kembali, dilihat dari casing-nya sudah tidak meyakinkan.
Di sisi meja tergeletak Sigaret State Express Blend 555 Gold yang masih utuh dengan bungkusnya.
Aku mencoba untuk tidak terlalu kaget, pelan-pelan meraba bagaimana sebenarnya Pak Bah ini.
Dengan datangnya Sena hari ini, melihat penampilannya, dan mengetahui sifat riangnya saat menyambutku tadi, aku mulai terbiasa dengan hal-hal yang di luar dugaan.
Seperti Pak Bah bisa menebak isi kepalaku ia pun membahasnya, “Itu punya tamuku kemarin sore. Entah ia terlupa atau sengaja meninggalkannya untukku. Meskipun harganya mahal, ia keliru, karena aku dari muda tidak merokok. Hanya pernah sesekali mencoba.”
“Aku juga belum pernah menghisap barang berasap itu, pak. Bahkan tidak bisa mengarang harganya, tapi terlepas benar atau tidak, aku percaya untuk kemasan yang satu ini pasti isinya mahal.”
Wadahnya jarang aku temui di warung atau di Koperasi Toserba sekalipun. Mewah.
“Kau cuti lagi? Dalam rangka apa?”
“Cuti sampai waktu yang tidak ditentukan, Pak.”
“Maksudnya?” Bola matanya melirik keluar frame kacamata yang ia kenakan.
“Dua hari yang lalu, aku dipecat.”
Pak Bah sampai menghentikan pekerjaannya sesaat dan menatapku. “Mengapa mereka memecatmu? Kurasa kau anak muda yang ulet dan tekun. Kesalahan apa yang kau atau mereka buat sampai-sampai dipecat begitu?”
Aku masih diam, bingung bagaimana cara mengatakan.
Sejenak hening, hanya samar-samar terdengar suara tawa anak-anak dari dalam rumah.
“Jika itu berarti bagimu, kau pasti berat menceritakannya. Aku paham. Aku yakin mereka telah membuat keputusan yang keliru karena memecatmu.”
“Pak Bah berlebihan, memang aku yang salah. Kerjaku tidak betul, semenjak Zahwa pergi. Awalnya aku memang tidak mau mengakui, selembek itukah aku. Tapi semakin aku tidak mengakui, semakin pernyataan tadi terdengar memang begitu kejadiannya. Aku juga bertengkar dengan sejawat yang dulunya sangat akrab denganku. Ia tak mengatakan apa pun saat Bos memintaku menghadap.” Aku bicara dengan nada emosional, kejadian ini masih hangat-hangatnya di kepalaku.
“Nak, kehilangan pekerjaan tidak menandakan kau kehilangan masa depan. Aku contohnya, tidak terhitung berapa puluh kali aku ganti pekerjaan, mungkin ratusan surat lamaran ditolak perusahaan. Tapi lihat aku kini, masih hidup dan tidak bingung perkara finansial. Apa pekerjaan itu berarti untukmu? Apa kau senang menjalaninya?”
Aku diam sejenak, menatap jauh, kemudian mengangguk, meskipun pekerjaannya hanya penjaga toko tapi aku senang menjalaninya.
Bertemu banyak orang, menghitung uang, akrab dan bercanda dengan anak-anak sekolah.
Itu membuat hariku tidak terlewati begitu saja, ada bumbu-bumbu penyedap yang riang untuk diceritakan.
“Lalu apa yang kau lakukan pasca dipecat kemarin?”
Aku menggeleng, tidak ada yang kulakukan. Terbaring di kasur sepanjang hari dan hanya bangkit untuk makan dan sembahyang.
“Nah! Nah! Itu kesalahannya. Kau tidak salah karena dipecat, salahmu yang terlalu sedih dan berlarut-larut saat menghadapinya. Dengar, kau memang tidak bisa menolak musim kemarau, tapi kau bisa ciptakan semi bagi tanamanmu sendiri.”
Aku belum paham, tidak menangkap arah pembicaraan ke mana.
“Maksudku, perkara kau dipecat, kini sudah bukan kesalahanmu. Kau tak bisa menolak kalau kau dipecat, tapi hal yang bisa kau lakukan adalah mencari pekerjaan lagi, bukannya malah murung dan tidak melakukan apa pun. Tidak harus yang langsung berwujud sebuah pekerjaan, bisa kau bantu-bantu ibumu di dapur, atau tetanggamu di sawah. Yang penting jangan menganggur. Dengan menganggur kau akan kesepian, dan kesepian adalah pupuk terbaik bagi rasa benci dan perasaan ingin menyalahkan, entah pada diri sendiri atau bisa jadi orang lain.”
Aku mengangguk dalam.
Aku pun sadar dengan kemurunganku yang kemarin. “Pak, tapi mengapa Sena kemari mencari sepi? Apa ia mencari pupuk itu juga?”
“Adalah dua hal yang berbeda antara sepi dan kesepian, Nak.”
Pak Bah sudah kembali sibuk dengan relay dan thermostat water-heater, aku sedikit-sedikit membantunya merapikan badan mesinnya kembali.
“Nak, ketahui dan peganglah hal ini betul-betul. Berjalanlah, kau akan selalu dapat ganti dari apa-apa saja yang kau tinggalkan. Berjalan di sini bukan untuk artian sesungguhnya, maksudnya hanya agar kau tidak diam saja di satu tempat. Untuk urusan pekerjaan, cobalah untuk membantu tetangga sambil teliti mencari pekerjaan yang kiranya cocok. Bisa jadi memang sudah bukan waktumu lagi untuk menjadi penjaga toko, seberapa pun pekerjaan itu kau nikmati. Selanjutnya, mungkin kau akan dapat yang jauh lebih baik, jauh lebih bermanfaat. Tidak ada yang tahu.”
“Terima kasih, Pak Bah. Kata-katamu mengisi sekali.” Dan ini alasan mengapa aku kemari, Pak Bah punya kata-kata ajaib yang berlaku bagi diriku.
“Belum selesai,” sahutnya, “satu lagi, hendak ke mana pun kakimu akan melangkah, perpindahan yang pertama adalah dari kaki sendiri. Tidak mungkin meminjam kaki teman, benar?”
Aku mengangguk penuh.
“Kau paham maksudnya?”
“Paham Pak.”
“Nah, sekarang aku tanya bagaimana kabar gadis matahari terbitmu itu?”
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog