Semalaman penuh aku memikirkan tentang kejadian di jembatan dan isi surat Zahwa.
Apa maksudnya? Mengapa Zahwa terlihat tidak suka melihatku tadi sore, apa itu karena Laras? Tapi bukankan mereka kawan dekat? Sedang apa ia di jembatan?
Tak pernah seumur-umur aku lihat ia melakukan itu, apa mungkin ia menungguku?
Dan surat ini, mengapa ia menulisnya? Jika ia tidak bertemu denganku sekarang, bukankah ia bisa menemuiku besok untuk mengatakannya?
Jutaan pertanyaan menyerang kepalaku tanpa ampun, tanpa ada satu pun yang bisa kujawab dengan pasti. Semua jawaban yang muncul hanya berasal dari asumsiku sendiri.
Suasana malam hening, tak ada bunyi gaduh kecuali bisik angin dan sesekali suara daun jatuh menimpa atap rumah. Aku teringat perkataan Ibu tentang Zahwa yang ditolak PTN di Ibu kota.
Apa ini yang mungkin membuatnya sedih? Bisa jadi, jawabku sepakat dengan diri sendiri.
Meskipun Zahwa adalah gadis yang perasaannya tidak gampang ditebak, suka tiba-tiba tidak jelas kemauannya, suasana hatinya dapat berubah dengan cepat, tapi aku tahu, ia bukan gadis yang mudah terluka hanya karena hal-hal sepele.
Lagi pula Zahwa lolos beasiswa, kata Ibu. Bukankah seharusnya itu bisa mengganti kesedihannya?
Zahwa tidak mungkin sedih, marah ataupun tak suka karena melihatku berboncengan dengan Laras, pertama karena mereka berdua sahabat sejak kecil.
Kedua, Zahwa tahu, aku dan Laras hanya berteman. Ketiga, aku dan Laras bekerja di satu toko yang sama, wajar jika kebetulan kami pulang bersama.
Sebenarnya aku agak ragu dengan pertanyaan yang muncul dan kucari jawabannya sendiri. Jika benar Zahwa sedih, marah ataupun tak suka, tapi mengapa? Bukankah kami hanya berteman.
Bahkan ia menganggapku seperti kakaknya sendiri. Atau jangan-jangan Zahwa tidak menganggapku abang walaupun dia kerap memanggilku begitu?
Lama sekali kepalaku berhenti di pertanyaan itu. Sudah lima kali aku dengar kumbang malam menabrak jendela kamarku, seperti sedang diketuk.
Jam sudah menunjukkan jarum pendek di angka tiga. Dan aku masih belum tidur sedikit pun.
Pertanyaan yang tadi kini kubalik, mengapa aku cemas jika Zahwa tak suka atau marah melihatku dengan Laras? Memangnya dia siapa ku?
Jika memang aku menganggapnya teman atau bahkan adik, harusnya aku tak mempermasalahkan dan mengkhawatirkannya seperti ini.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog