Ganti shift, Yayuk dan Jupri sudah pulang. Matahari juga sudah tidak sabar ingin sampai di peraduannya.
Printer segera kupasang, sudah banyak antrean file. Mungkin akan dilembur oleh karyawan yang dapat bagian kerja malam.
Rupanya Laras menungguku, ia masih bertengger di sepeda motornya saat aku hendak pulang berjalan kaki.
Jam segini pasti Nurdin sudah sampai rumah, atau mungkin lembur dan baru pulang selepas isya.
“Kamu belum pulang, Ras?” Sedikit basa-basi, ia terlihat mengamatiku sejak dari tangga.
“Belum, Bang.” Suasana agak sedikit canggung, antara aku yang harus bertanya atau dia yang akan menawarkan lebih dahulu. “Abang mau pulang juga, kan?”
Aku sedikit menghembuskan napas, tidak usah bertanya hanya tinggal menjawab. “Iya.”
“Sekalian pulang sama Laras saja kalau begitu.”
“Tidak apa? Aku sudah biasa jalan kaki, Ras.”
Laras menggeleng, tidak keberatan. “Rumah kita kan dekat, Bang.”
Tidak banyak yang aku pikirkan, aku anggap kejadian ini tentu hal yang biasa. Kami tetangga dekat, sekaligus teman. Pulang bersama jadilah wajar saja.
Sepanjang jalan Laras bertanya macam-macam, ia adalah gadis yang pendiam namun akan banyak bicara dengan orang yang sudah ia kenal.
Seperti saat ini contohnya, ia menanyakan tentang printer, perjalananku menuju tempat reparasi, ia juga bertanya tentang Pak Leo, ia juga menanyakan bakso yang aku makan sepulang dari tempat reparasi, kuberi sambal atau tidak.
Perjalanan dari toko ke rumah tidak lama, tapi mungkin karena sambil mengobrol jadilah waktu yang ditempuh jadi dua kali lipat dari biasanya.
“Bang, apa benar Bang Nurdin itu meminta bantuan Abang supaya dijodohkan dengan Mba Laila?”
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, begitu sampai di persimpangan jalan aku melihat gadis mengenakan syal abu-abu yang dilingkarkan di lehernya, ia tengah berdiri di sisi jembatan dan melihat kembali ke arahku, arah kami lebih tepatnya.
Tidak salah lagi, itu pasti Zahwa.
Tapi saat sepeda motor yang kunaiki bersama Laras mendekat, sejenak raut wajahnya berubah yang tadinya cerah kini tidak lagi.
Tanpa menungguku, dia langsung menyeberang ke sisi lain jembatan dan lari ke halaman belakang rumahnya memunculkan raut sedih dan marah.
Aku tak mengerti.
Laras segera meminta diri setelah aku turun dari motor, tepat di depan rumahku. Sempat aku basa-basi menawarkannya untuk mampir, tapi dia menolak.
Sudah sore. Aku sampai di rumah bersamaan dengan hari yang mulai gelap.
“Tadi Zahwa ke sini, Nang.” Aku mencium tangan Ibu.
“Kenapa dia kemari, Bu?”
“Entah, sepertinya mencarimu. Tapi kamu pulangnya telat sekali, jadi dia pulang duluan.”
Kupingku berdiri mendengarnya. “Zahwa di sininya lama, Bu?”
Ibu mengangguk. “Dari habis asar.”
Ya ampun! Tak biasanya Zahwa seperti itu. “Zahwa ngapain saja di sini selama itu?”
“Cuma cerita-cerita sama ibu.”
“Tentang?”
“Dia cerita, katanya dia ditolak masuk perguruan tinggi di ibu kota, tapi dia lolos beasiswa apa itu, ibu lupa namanya, susah diingat.”
Aku segera memegang gagang pintu, menghambur keluar berlari ke rumah Zahwa.
“Mau ke mana, Nang? Magriban dulu.” Belum tunai gagang pintu aku dorong, Ibu melanjutkan. “Oh iya, tadi Zahwa berpesan, dia tidak bisa mengirim pesan untuk beberapa hari karena ponselnya dipegang ayahnya, dia cuma meninggalkan surat di atas meja. Ia bilang itu untukmu, malu kalau ibu yang sampaikan.”
Bersama surat itu kuambil langkah seribu berlari menuju rumah Zahwa. Ibu berteriak, menyuruhku bertamu nanti saja. Tapi perasaanku tak mau menunggu.
Sesampainya di sana, mobil dengan nomor plat R 7742 JM milik Pak Akbar-ayah Zahwa-sudah penuh dengan penumpang, akan melakukan perjalanan.
Salah satu penumpang yang ada di dalam adalah Zahwa. Mobil itu berjalan melewatiku tapi Zahwa tidak melihatku.
Pertanyaanku saat ini, mau ke mana keluarga ini di waktu orang-orang seharusnya pulang?
Terduduk aku di pinggir jalan, perlahan membuka surat Zahwa yang ditulis di kertas dan pensil milikku. Di sana tertulis tegas dan jelas, berderet huruf berbunyi
“Bang, katamu mimpi punya jiwa. Tapi apakah jika ia mati, ia bisa hidup kembali?”
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog