Bulir-bulir embun tersangkut di antara jaring laba-laba halus yang menghuni ranting dan daun mawar di halaman rumah. Sudah bulan Agustus namun hujan masih sesekali datang, entah apa yang hujan cari di hari yang harusnya kemarau ini.
Mungkin ia penasaran dengan bagaimana rasanya kemarau yang dari tahun ke tahun selalu mengunjungi Agustus, namun apa dikata, ketika hujan datang, kemarau pergi.
Pagi sekali aku sudah berkutat dengan selusin kunci untuk membuka toko dan etalase. Udaranya sangat dingin ditambah langit yang mendung, tentu saja mandi adalah keinginan nomor sekian.
Aku biasanya rajin, namun beberapa hari ke belakang aku sedang tidak terlalu semangat, mungkin bermalas-malasan sebentar memang dibutuhkan. Kebetulan Nurdin lewat, aku bisa memboncengnya sampai ke toko tempatku bekerja.
Sudah setahun lebih bekerja di Berdikari, membuatku banyak belajar dari sana, Berdikari adalah toko alat tulis dan fotokopi terbesar di seluruh Nara. Akulah yang bertugas membuka dan menutup toko hampir setiap hari.
Saking seringnya, mungkin aku bisa membuka etalase barang-barang yang puluhan jumlahnya dengan mata tertutup. Aku sudah hafal yang mana kuncinya.
Pemilik toko ini sedikit parno atau mungkin waspada dengan barang-barang yang ada di dalam karena baru lima bulan yang lalu toko dijarah perampok habis-habisan.
Mereka mengangkut apa pun yang bisa mereka angkut, mulai dari pensil, penghapus, dan cat air pun tak luput dari incarannya.
Entah apa yang akan mereka lakukan dengan hasil yang tidak halal itu, mungkin mereka ingin buka toko alat tulis juga yang letaknya entah di mana.
“Kau tidak mandi lagi?” Ucap Jupri, ia baru sampai dan melepas jas hujannya.
“Aku kemarin mandi, Jup. Tadi pagi saja yang tidak.”
“Astaghfirullah, bau kecutnya seperti bulanan tidak menyentuh air. Mandilah cepat, atau kamu bakal buat toko ini tidak ada pembeli seharian. Mereka kabur tidak tahan mencium baumu.” Kata Jupri sambil mencipratkan air di jas hujan ke arahku.
“Biarlah, Jup. Aku mangkel sekali dengan anak-anak sekolah yang seminggu ini tidak ada sepinya barang sehari saja. Apa tidak ada toko fotokopi atau tempat print lain untuk mereka membuat tugas, kenapa harus di sini? Kalau satu dua tidak masalah, lah ini satu sekolah, Jup. Kamu enak di belakang, mengurus pesanan banner dan cetak undangan. Aku sama Yayuk darah tinggi terus-terusan di depan sini, Jup.” Masih pagi tapi keluhanku sudah tidak ketulungan.
“Hus, ojo ngono. Rezeki tuh, kita dapat uang karena rewelnya mereka semua itu, Dip.” Ia menerima segelas kopi yang kuseduh dengan air panas dari dispenser, “Terima kasih,” katanya.
Karyawan toko lain juga mulai berdatangan. Satu dua pembeli datang, menanyakan harga, bilang sedang cari ini itu, Yayuk dengan cekatan melayani.
Ia juga sama lesunya denganku, tapi wajahnya tertutupi dengan make-up cerah dan bibir merah muda karena lipstik yang ia pakai. Meski begitu, pandangannya tidak bisa dibohongi. Kantung matanya menyaingi panda yang ada di China.
“Kalian tenang saja, hari ini tidak akan sesibuk kemarin. Anak-anak sedang Ujian Akhir Semester tidak mungkin mereka kelayapan ke sini”.
“Sungguh?” kata Yayuk dengan mata berbinar-binar.
Jupri mengangguk, “Aku tadi berangkat sambil mengantarkan adikku, dia bilang hari ini sedang ujian.”
Aku bersorak dalam hati. Kabar tersebut sangat menyegarkan telingaku.
“Kalau begitu aku mau mandi sekarang.” Sambil mengulet, aku bangkit mengambil handuk dan sabun batang di sling bag-ku. Senangnya bekerja di toko besar seperti ini, ada dapur dan kamar mandinya, meskipun kecil.
Jujur, udara dan airnya lebih dingin dari biasanya, tapi rasanya tetap segar karena perasaan hati yang sudah sedikit lebih ringan.
Mandi kali ini sedikit lebih spesial karena aku memakai sabun cuci muka dan sampo sachet. Biasanya satu sabun untuk seluruh badan.
Setelah mandi pun aku sempat menyeduh kopi, aromanya yang harum dan hangat cocok sekali dengan hari yang remang-remang mendung begini.
Jarang-jarang aku seperti ini, benar kata orang, jika manusia sedang jatuh cinta ia akan melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Tentu saja jatuh cinta tidak selalu tentang orang, bisa juga pada keadaan.
Aku mengaduk kopi dengan perlahan dan penuh perasaan.
Kuhirup asapnya yang masih mengepul, saat itu juga aku paham mengapa orang-orang yang mengaku indie sangat tergila-gila pada serbuk biji-bijian yang satu ini.
“Nadip.” Tiba-tiba Yayuk memanggilku dengan suara kencang dari depan, mengganggu kenikmatan kopi dan pagiku, “Nadip,” panggilnya sekali lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Sesampainya di ambang pintu dapur, aku terkejut bukan kepalang melihat kerumunan anak-anak berseragam putih abu-abu tengah berdesak-desakan mengacungkan flash disk dan Yayuk sibuk bertanya, “..nama file yang mau di-print apa?” kepada mereka.
Sementara anak-anak ramai menyahut, “Aku dulu, kak…”
Sontak gelas kopiku hampir jatuh dan ingin kupiting kepalanya Jupri.
“Dip, sini bantuin cepat.” Yayuk melotot.
Tanpa basa-basi segera kusergap bagianku. Tanganku bekerja tapi mataku jelalatan ke sana kemari mencari keberadaan Jupri. Bisa-bisanya dia membohongiku.
“Kalian tidak ujian?” Aku bertanya pada gerombolan pasukan putih abu-abu yang sedang mengantre, seperti biasa ada Gopal di sana.
“Ujian, Bang. Tapi kami kelas siang,” jawabnya.
Mendengar hal itu aku merasa bodoh, bagaimana mungkin aku tidak tahu kalau ujian SMA dibagi menjadi dua sesi, beda dengan zamanku, SMA sekarang muridnya membludak dua kali lipat.
“Kalian ujian, tapi kenapa malah di sini. Kapan belajarnya?”
“Kami di sini buat nge-print tugas lah, Bang. Harus dikumpulkan barengan dengan jawaban ujian nanti.” Salah satu dari mereka menjawab, “Ini kami, sambil belajar juga.” Gopal ikut-ikutan menyahut.
Kulihat mereka duduk-duduk di undakan toko sambil memegang buku paket pelajaran bertuliskan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Aku menepuk jidat, sungguh ada-ada saja perilaku anak-anak zaman sekarang.
Beberapa kertas sudah rapi terbalut stapler dan lakban serta mika bening di sampul depannya. “Bayarnya di kasir saja,” ucapku pada mereka yang mau membayar.
Sambil menunggu kertas dari Yayuk, aku menyempatkan diri ke belakang sebentar. Kebetulan sekali Jupri sedang lewat membawa segulung kertas A0. Langsung kutinju lengannya keras-keras.
Jupri nyengir sambil cengengesan, paham dengan alasan mengapa aku berbuat demikian. “Aku tidak tahu kalau anak SMA ada yang ujian siang juga, kukira mereka ujian ya sudah ujian saja, tidak ada tugas-tugasan lagi. Hehe.” Kekehannya itu sungguh membuatku jengkel.
“Kita gantian sebentar saja ya, Jup. Biar aku bantu-bantu di percetakan undangan, dan kamu layani anak SMA itu.” Aku menawarkan kongsi, biar Jupri tahu rasanya jadi aku.
“Terima kasih, tidak usah baik-baik ingin gantikan pekerjaanku yang berat ini.” Muka Jupri dibuat-buat seperti menanggung beban seberat Gunung Semeru.
“Sekali ini saja, Jup.” Aku memelas sekarang.
“Tidak, Dip. Lagian gadis-gadis remaja lebih suka wajah gantengmu yang terpampang di sana. Kamu kan idola mereka, Bang Nadif, Bang Nadif, punyaku dulu.” Jupri menirukan gaya centil siswi putri sambil lari terbahak-bahak.
“Jup... Jup... sekali saja…” Jupri tidak peduli, masih lari sambil tertawa ke pabrik belakang. “Jupriiiii...”
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog