“Wih ... keluar juga lo dari kelas, Dukun Abal-abal!” sapa Buki, anak kelas XII IPS 05 yang bertubuh gempal itu. Meskipun dia kaum adam, tetapi bisa dibilang mulutnya sepedas cabai rawit. Melampaui kemampuan Iris yang memang tidak bisa berdebat.
Buki benci dengan siapapun yang cantik, tetapi sombong serta jual mahal. Dan Lana masuk dalam kriteria orang yang dibencinya. Padahal, mengenal lebih jauh atau bicara dengannya sekali saja tidak pernah.
Lana mengepalkan kedua lengannya geram, napasnya menderu. Dikatai oleh sesama jenis itu sudah cukup menyakitkan, lebih-lebih oleh mereka—yang mengenal saja tidak. Lana tak melakukan apa pun, tetapi mereka membuatnya seakan sudah melakukan dosa besar sampai berasa dikucilkan.
“Heeh, bisu lo?!” sentak Buki sembari mendorong Lana kasar yang tak berkutik dan membenarkan posisi kacamatanya.
“Hobi kakak lucu juga, ya?” kekeh seseorang yang tahu-tahu berdiri di depan Lana dan Buki. Mencuri perhatian dua insan itu. “Kalau mau ganggu Lana, hadepin gue dulu,” sambungnya.
Lana mendongakkan tendas, penasaran dengan siapa yang berani membelanya selain Candra—tentunya. Saat orang itu memandang tepat ke netra Lana, Lana segera berdecak kesal. Malar-malar menolak untuk sekadar kontak mata. Yup! Varen.
“Trus gimana? Lo mau kita adu jotos?” tantang Buki to the point.
Varen bergumam sejenak, sok berpikir. “Boleh, deh. Gue juga lagi gabut.”
“Gue akui lo ganteng, tapi emang otot banci lo bisa buat berantem?” ejek Buki seraya terkekeh.
Vano ikut tergelak, arkian memasang senyum miringnya. “Kegiatan gue selama di Jakarta muay thai, sih ....” desis Varen lantas menatap mata Buki lurus-lurus. Menantang. "Gue juga hobi tawuran."
“Oh ya? Sok atuh, buktiin!”
“Sook! Siapa takut? Demi cewek tercantik on this galaxy,” seru Varen, kembali menoleh ke Lana yang berdiri tegap belakang tubuh Buki.
Gadis itu memutar bola netranya sinis. Melangkah meninggalkan tempat itu, membuat Varen sedikit panik. Niatnya sejak awal adalah untuk show of di hadapan Lana kalau ia bisa melindungi gadis cantik itu. Namun, apa gunanya jika Lana hanya berlalu?
“Eh, Lan! Tunggu! Gue—“
Bugh!
Satu tonjokkan keras sungguh mengenai kening Varen. Berhasil mengejutkan Lana yang kontan menghentikan langkahnya. Ia super terkejut saat selepasnya mendapati Varen serta Buki benar-benar tonjok-menonjok dengan brutal, membabi buta.
Lana yang jelas kalang kabut bergegas mendatangi keduanya. Berusaha melerai mereka dengan melangkah kesana-kemari. Namun dengan apa?
Di tengah kegusaran dan kebingungannya, Lana memutar otak. Mencari titik cerah. Sampai akhirnya, “PAK BLEDEK! Ada yang berantem, Pak! Seret aja ke BK!” jerit Lana sekuat tenaga.
Buki mengumpat kesal, lekas menghentikan kegiatannya. Pria berkulit hitam itu beringsut bangkit dan berlari meninggalkan koridor kelas Lana dengan tergopoh-gopoh. Dan tentu saja, panggilan tadi hanya siasat.
Varen yang terbaring di lantai koridor berasak mengembuskan napas samar. Durja mulus nan tampannya jadi terlihat buruk akibat beberapa luka merah-keunguan yang hampir merata di sana.
Dengan berberat hati, Lana mendekati pemuda itu dengan netra yang jelalatan. Berniat mengobatinya. Berhubung Varen masih berbaring tanpa kata, Lana berdehem keras. Mencoba mengalihkan perhatiannya.
“Buruan. UKS,” cicit Lana gelagapan kalakian melangkah pergi. Menyunggingkan senyum di bibir Varen yang beberapa sisinya mengeluarkan darah.
🌻
Lana merengut, jarinya menambal luka Varen yang sudah berhenti mengeluarkan darah setelah diberi revanol. Tanpa meringis atau apa pun itu, justru Varen terus mengembangkan senyumnya. Tertawa di sela Lana mengobati wajahnya.
“Udah,” lirih Lana seraya mengemas alat-alat medis ke tempat semula.
Varen masih menyeringai, memandang Lana yang melirik padanya—memastikan apa lelaki itu mendengar ucapannya. “Makasih,” ujarnya tanpa suara.
Lana membenarkan posisi tesmak dengan jari, berdehem sebentar. “Bohong kan, lo?” Varen mengernyitkan dahinya. “Hobi tawuran,” tambah Lana. Atensinya kembali pada obat-obatan tadi.
Pemuda tergelak samar, mengembangkan kerising. “Tawuran sekali aja nggak pernah. Gue bisa bela diri, tapi nggak suka nonjok orang,” terangnya.
“Bohong.”
“Bohong apa lagi?”
“Pinter bela diri. Nyatanya wajah lo hancur gitu,” kesal Lana.
“Itu karena Si Buki kampret nggak ngomong dulu kalau mau nonjok!” kilah Varen. Menciptakan rolling eyes pada Lana.
“Sejak kapan ada aturan nonjok harus ngomong dulu?” ketus Lana. “Gak lucu.”
Varen tertawa tulus, senantiasa tersenyum lebar. “Ada, ah,” ujarnya. Beranjak dari kursi yang didudukinya.
“Siapa?” Lana memalingkan iras, melirik Varen yang melangkah pasti mendekatinya.
“Gue.”
Varen mengikis jarak, mengecup pucuk kepala Lana dengan lembut. Lana yang sadar akan perlakuan lancang Varen lekas mendorong raga lelaki di depannya sekasar mungkin—di detik yang sama.
“Lo gila, Ren!”
Varen meneruskan tawanya, terlihat puas dengan raut kesal Lana.
“Gue udah bantu lo tanpa pamrih, tapi ternyata lo nggak tahu berterima kasih.” Lana membalikkan tubuhnya, berlari keluar UKS dengan gusar.
Varen yang teringa-inga tersebut kembali menyesalinya. Mendengkus lirih. “Tanda terima kasihnya kan ituu ....” cicitnya mulai merasa bersalah. Kali ini ia akui ia berlebihan.
Sekonyong-konyong lubang hidungnya kembang kempis. Membuatnya menegak dalam dalam satu sentakan. Ia mendelik tidak tenang. “Tanda bencana!” serunya panik sembari mencerling dan menuding hidungnya yang tertambal plester.
🌻
Lana mengumpat samar sepanjang perjalanan. Teramat berang karena seumur dia hidup, baru Varen-lah lelaki selain keluarganya yang nekat menciumnya tendas sucinya seperti ini.
Lana meraung kesal. Tak mengacuhkan driver ojek yang terus meliriknya dengan berbagai ekspresi.
“Akhh! Neraka sesungguhnya di hidup gue tuh Glare High School sejak Varen Micin, micin itu dateeng!” raung Lana gusar.
“Michiavelly kali, mbak,” koreksi driver itu.
Lana terperanjat sesaat, melirik penuh tanda tanya. “Eh, Bapak tahu?!”
“Iya dong, Mbak. Beberapa hari lalu dia datang ke kantor ojek saya. Dia bilang kalau ada yang ambil orderan dari Callia Lana Galatea harus memberi layanan spesial dan ekstra hati-hati!” urainya.
“Hah?!” Lana menggeleng cepat, “Gak mudeng, Pak. Coba ulangin boleh, Pak?”
Driver itu mengangguk penuh kesabaran, “Kata mas Varen, Mbak Lana tuh gak mau dianter sama mas Varen pake motornya sendiri. Tapi Mbak langganan order ojek kita. Naah, katanya driver-driver yang nanti terima orderan dari Mbak Lana, harus hati-hati dan perlakuin Mbak Lana secara spesial!”
Lana meringis dengan mata membelalang.
“Baik loh, Mbak ... si mas Varen. Setiap hari dia bawain cemilan kayak martabak, cilok, cireng, dan sebagainya ke kantor buat para driver! Sering main kartu juga sama kita,” urai driver itu dengan senang hati. Beberapa menit setelahnya Driver itu terus menerangkan dengan detail bagaimana kebaikan Varen kepada para driver di kantornya. Begitu cerah wajah driver itu ketika mengungkapkannya.
Mendengar antero ucapan pria itu, Lana jadi memaku di bangku penumpang. Bertanya-tanya dalam kebisuan. Seniat itukah Varen untuk mendekatinya?