“Pagi, Can!” sapa Lana hangat. Mengangkat telapak tangannya kala berpapasan di ambang kelas dengan sahabatnya tersebut. Candra tersenyum tipis, mengegah mendekati Lana tanpa kata. Pandangan netranya tak juga terlepas dari iras gadis itu yang terlihat lebih cantik dari biasanya.
“Maaf, semalem gue gak bales chat lo,” ujar Lana, membuka percakapan. Semalam dirinya tenggelam oleh Sejarah juga Fisika lalu tidur jauh lebih awal, mengacangkan ponselnya.
“Yang penting sekarang gue bisa ketemu lo. Itu udah lebih dari cukup.”
Tersimpul senyuman manis di bibir Lana. Ia senantiasa menyukai sisi Candra yang satu ini. Yang selalu bisa membuatnya tersenyum dan—entah lah, mungkin tenang. Meski begitu, ia tak kunjung menerima Candra begitu saja. Gadis itu masih menimbang banyak hal, terutama baginya sahabat jadi cinta itu adalah hal tertabu.
“Ekhem!? Oke kayaknya kalian lupa gue ada di sini!” seru Irena cepat. Ia berkacak pinggang, menatap nyalang kedua insan itu yang terkekeh sesaat.
“Sebenernya mungkin lo terlahir untuk jadi kacang,” kelakar Candra. Melantarkan Irena tersenyum kecil, tetapi tangan kanannya segera menghujani pukulan tepat ke bahu bidang Candra. Lelaki itu hanya bisa tersenyum melihat Irena yang mengesah kesal. Ia membiarkan bahunya menjadi objek pelampiasan suasana hati Irena yang makin memburuk—tanpa sengaja kausa candaannya.
“Heh, udah! Bahu Candra bisa gepeng!” seru Lana, menahan lengan Irena yang masih melayangkan pukulan.
Gadis dengan kulit putih meta itu merengut tatkala Lana berhasil menghentikan aktivitas—yang ajaibnya dapat membuat dirinya kian membaik tiap hantamannya.
“Sekali lagi!” pintanya memelas.
“Gak! Kalau bahunya lebam, gimana? Ngaco lo ih. Candra tuh atlet, kalau cedera—”
“Biarin, Lan,” sela Candra. Membuat Lana mendelik beberapa saat, “selama itu bisa buat suasana hatinya membaik.”
Irena melonggok ke Candra yang melempar senyuman. Entah kenapa ia tak suka saat dirinya tertangkap basah sedang tidak baik-baik saja. Jadi ia sekadar memalingkan roman dari keduanya. Bibir mungilnya itu mulai terbuka kecil, “Maaf,” cicitnya.
Candra menyengguk maklum, sedang Lana jelas saja heran. Keningnya membentuk kerutan dalam, tetapi dua insan di hadapannya tak lekas buka suara.
“Kalian bisa jelasin suasana macam apa ini?”
Candra serta Irena tergelak singkat. Membuat kerutan di glabela Lana kian kentara.
“Udaah, lupain aja. Mending sekarang kita masuk daripada diseret Guru Bledek ke BK,” ujar Irena cepat lantas menyeret lengan kedua sahabatnya.
Mendengar itu, Lana kontan saja mengangguk dan membiarkan diri terseret masuk, “Kalau ini sih, gue setuju pake 'banget'!”
🌻
“Lo serius berangkat bareng Lana?!”
Varen mengangguk bangga dengan senyuman menyebalkan khasnya. Arkian, lelaki itu terus menaik-turunkan sepasang alisnya, melantarkan Septhian meringis jijik kala menyaksikannya.
“Lana iya-in gitu aja?”
Varen kembali menganggut.
“Tumben banget,” ucap Septhian lagi.
“Emang kalau biasanya kenapa?” Varen mengerutkan keningnya. Bingung dengan apa yang Septhian ucapkan beberapa saat lalu.
“As you know, di sini Lana punya gelar sendiri, ‘kan? 'Murid Unggulan Tercantik'. Nah, Lana tuh terkenal sama sikapnya yang dingin, tapi ramah. Lo tahu maksud gue, ‘kan?”
Varen mangut-mangut. Ain-nya menerawang ke segala arah. Berpikir.
“Lagian semua orang menolak buat perjuangin Lana, sih. Wajar aja, rival mereka gak main-main! Ini Candra, woy. Candra Arkatama!”
Varen terkekeh tertahan. Mengejek Candra yang sering dipuja-puja oleh para siswi di sekolah mereka ini. Membuat dua netra Septhian membola sempurna.
“Kok lo ketawa, sih?!” pekiknya heran.
“Emang apa hebatnya Candra yang dibangga-banggain Glare High School?” sindir Varen yang masih mengembangkan senyumnya itu. Netra Septhian kian mendelik.
“Wahh ... lo gak tahu?!” Septhian menggeleng dramatis, “Dia udah pinter, rajin, berbakti sama guru ataupun orang tuanya. Punya banyak prestasi. Pinter basket! Ganteng, sederhana, cowok baik-baik, dan sebagainya dan sebagainya.
Oh ya ... ada satu hal yang paling penting—”
“Apa?” Raut Varen sudah berubah sepenuhnya.
“Lana nyaman sama dia, Ren. Baru cowok itu yang berhasil luluhin hati Lana!”
Varen berdecak, membenarkan posisi duduknya dengan cepat dan menatap Septhian nyalang, “Lo gimana, sih? Dukung gue atau Candra?!”
“Ya ... elo.” Varen mengelokkan irasnya cepat, berdecak lirih. “gue, kan sebagai sahabat yang baik cuma ingetin lo biar gak santai dan menganggap Candra itu hal sepele!”
“Hm!”
“Tapi lo gak usah insecure. Sekarang Candra udah dapet lawan yang setimpal—lo, jadi lo gak perlu ragu lagi.”
Varen masih memalingkan wajahnya, “Iyaa, gue ngerti.”
“Jangan ngerti, ngerti aja, Ren. Buktiin! Dapetin Lana secepatnya!”
“Lo kira Lana apaan di'dapetin'? Sembako?" desis Varen sinis.
“Ya enggak, Ren. Tapi itu dah kemajuan besar lo bisa anter dia. Nih, ya, buat pengingat ... Lana tuh beda dari cewek lain. Lo harus—“
“—Selalu berpikir out of the box, right? I got it," serobot Varen dingin, masih sedikit dongkol.
Septhian menyeringai. Gegas menyenderkan punggung ke bangku di belakangnya, “Proof it, Ren. If you can get her.”
“I'll proof it!” gerutu Varen. Tetap memalingkan roman. Dia membenci ini, ketika seseorang membandingkan dirinya dengan Candra Arkatama yang bukanlah suatu penghalang besar. Baginya.
Ia akan membuktikannya. Ia bersungguh-sungguh.
🌻
Telah dua jam berselang selepas bel masuk bergaung. Para murid ada pada kelasnya masing-masing, tak terkecuali Lana atau pun Candra. XI MIPA 02.
Entah kebetulan atau apa Candra, Lana, dan Irena ini sebaris bersaf. Hingga terkadang, mereka adalah kelompok yang baik dalam ulangan harian. Yaa ... pastinya kalian tahu ke mana arah kerja sama tadi. Mereka—lebih ke Irena-Lana— akan saling bertukar jawaban. Maka tak heran bila jawaban mereka nyaris sekala sama.
Karena rasa malasnya yang tak terbendung—Irena—, alhasil perempuan cerdik tetapi licik itu menyogok Lana agar memberinya sontekan. Dasar Lana, ia tak kuat hati menolak semangkuk mie ayam yang sangat menggiurkan tersebut.
Entah menggunakan jampi-jampi apa, tetapi para guru tak curiga atau juga marah akan kesamaan tersebut. Mungkin lantaran sikap unik Irena, mereka angkat tangan seketika.
Seperti hari ini misalnya.
“HAH?! Bapak belom pernah kecipratan kuah pedes waktu makan, ya?” pekik Irena cepat.
Pak Kumis hanya menganga. Tak mengerti maksud dari murid absurdnya tersebut yang tengah siaga untuk melakukan kayang.
“Sakit, Pak! Perih! Kayak denger kabar ulangan dadakan!” jeritnya tersedan-sedan. “Bapak jahat banget sama Iren, padahal Iren belom belajar apapuun!” sambungnya sok dramatis. Menyisakan tawa pada murid yang ada di sana, menyaksikan.
“Ulangan dadakan kalau dikabarin dulu namanya bukan dadakan, dong! Plis ... gue gak ngerti jalan pikiran lo yang suram!” geram Oyu—Oyusana Kaluna. Perempuan dengan kacamata merah muda yang mencolok, juga scarf berwarna putih yang melingkari lehernya. Selebgram estetik yang hanya pencitraan. Kepribadiannya berbanding berbalik dengan dirinya yang di sosial media—nan kalem dan super anggun.
“Terserah, Yu. Yang utama sekarang, kita demo biar Pak Lele menghentikan penjajahan ini!” pekik Irena, masih sama kerasnya.
Semuanya hanya bergeming, yang berarti secara tak langsung menolak gagasan gila Irena barusan. Dara itu berdecak sekeras mungkin, kesal. Mau dia melompat, jungkir balik, ataupun salto; tidak ada gunanya. Mereka—seluruh murid di kelasnya telah memilih untuk pasrah.
“Lan!” seru Irena tanpa keraguan pada Lana yang tengah fokus pada selembar kertas ulangan hariannya. Irena mendudukkan tubuhnya dengan kepala yang aktif menoleh ke segala arah, mengecek keadaan. Aman, pikirnya.
Pak Kumis masih berada di sudut kanan ruangan. Masih ada sekitar 5,24 detik untuknya mendapat beberapa jawaban pilihan ganda.
“Hm?” bisik Lana.
Irena giliran menatap kertas ulangannya, menghafalkan nomor-nomor yang belum ia tahu jawabannya secepat kilat, “Bagi jawaban nomor empat, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh—“
“Sebelas, dua belas, tiga belas; bukan, Irena?”
Irena segera menegakkan tubuhnya, bersamaan dengannya yang menelan ludah.
“Ehm, iya, Pak! Irena lagi semangat kencengin lemak perut.” Irena meringis. Terlebih ketika Pak Kumis menatapnya setajam silet.
Ia meneruskan acara ringisannya, bersilih terkekeh. Untuk meyakinkan Pak Kumis lebih lanjut, Irena merenggangkan tubuhnya ke kanan-kiri dengan brutal. Yang kemudian membuat Pak Kumis beranjak dari hadapannya beberapa langkah.
“Sekali lagi Bapak melihat anda mencoba untuk menyontek kembali ....” Irena menelan ludah kedua kalinya. “bapak akan memanggil Guru bimbingan konseling kalian kemari secepatnya.”.
Irena menghela napas sekuat tenaga, sama halnya dengan Lana yang takut ikut terjerat. Kini ia menertawakan kenyataan Pak Kumis yang terlalu berbaik hati dan tidak tegas padanya atau seluruh murid Glare High School. Kesempatan Pak Kumis disia-siakannya. Dia lebih memilih untuk mencoba menyontek kali kedua.
“Yoshhh ... seneng banget gue,” pekik Irena dengan senyuman alami tanpa bahan buatan. Tadi, dengan kenekatan tingkat dewanya, ia berhasil menyelundupkan buku LKS Sejarah di balik lacinya. Tentu ia senang karena dengan keberaniannya, ia berhasil membuat nilainya di atas delapan puluh. Yaah, walau itu hanya perkiraannya semata.
“Sampe kapan lo mau nyontek? Otak lo kasihan, Ren, kalau gak di pake! Mubazir!” gerutu Lana.
Lana memang bukan sejenis orang yang suka ikut campur atau pun mencomel, tetapi kali ini menyangkut masa depan Irena. Jadi ia harus berani turun tangan guna menasihati sahabat unik bin ajaib-nya itu.
“Mau mubazir, kek, mubazor ... gak ada gunanya belajar tapi nilainya tetep jelek!” bela Irena pada dirinya sendiri, tanpa menyindir siapapun. Namun—
“OHHH?! LO NYINDIR GUE?” serobot Oyu, serentak dengan suara decitan kursi di belakangnya lantaran ia berdiri dalam satu gerakan.
“Oh, kesindir? Baguslah.”
“LO YA!”
Tahu-tahu saja di depan jendela kelas mereka, berjalan sesosok pria dengan tali rotan tebal di tangannya. Membuat Irena maupun Oyu yang melihatnya lekas terduduk kembali. Mereka rela damai dalam sekejap banding harus terbungkam oleh kayu rotan Si 'Satpol PP' Sekolah alias Guru Bledek tersayang mereka.
“E-e gue minta maaf, Ren. Udah teriak-teriak,” desis Oyu sungguh-sungguh.
“Gue juga," balas Irena cepat, menganggut secepat kilat.
Lana terkikik. Pemandangan seperti ini sungguh jarang terjadi. Mungkin hanya Guru Bledek yang sanggup menyatukan kedua insan tersebut dalam hitungan detik.