Lana membuka ain-nya secekat mungkin di kali pertamanya mendengar suara alarm digital. Ia menggeliat kecil, beranjak dari ranjang dan lekas mandi tanpa mengulur waktu. Seusai selesai membersihkan diri, ia buru-buru mengenakan setelan jas seragamnya. Beralih memulas wajahnya dengan bedak dan lip balm, yang awalnya termasuk hal yang sangat ia hindari—tetapi justru masuk kategori kebiasaannya setiap pagi. Salahkanlah Irena ataupun Mama tercintanya, Olena. Akibat keduanya, Lana mengenal bahkan mulai menyukai dunia wanita yang ternyata tidak buruk juga.
Lana beranjak keluar dari kamar dan melesat ke dapur tersayangnya. Mencomot roti isi cokelat yang disiapkan Olena ketika tahu Lana sudah selesai membersihkan diri.
Lantas bersilih menyeluk sakunya, mencari sesuatu dari sana.
“M-maa! Mama liat Sertraline Lana, nggak?” jerit Lana dari meja makan.
“NGGAAK!” jerit Olena sebagai jawaban.
“Aduuh, trus gimana, ya? Lana Cuma punya itu!”
“YA KAMU TARUH DI MANA?”
“L-lana lupaa ... mungkin bener-bener ketinggalan di suatu tempat.” Pikiran Lana terarah ke satu tempat yang dikunjunginya kemarin.
“UDAH BERANGKAT DULU AJA, UDAH JAM SEGINI!”
Mendengar itu, Lana jadi panik bukan makin. Mungkin ia terlalu lama belajar Fisika di pagi itu. Ia jadi berhamburan pada rak sepatu keluarga kecilnya. Menyambar sepatu dan menali asal tali pada atas sepatunya, tergesa-gesa.
Hari masih pagi dan baskara belum cukup tinggi. Langit belum secerah itu, kelam. Pun rembulan masih samar-samar terlihat. Namun, Lana berlagak seperti hendak terlambat saja. Karena benci keramaian, Lana harus memastikan ia datang sebelum jam enam pagi sebab saat itulah sekolah sepi juga anti crowded-crowded-an club.
“Maa ... Paa ... Lana pesen ojek, ya!” seru Lana pada kedua orang tuanya—yang entah ada di sudut ruang mana, seraya membenarkan posisi kedua kaos kaki setinggi betisnya.
“Ya ... Hati-hati!” sahut Olena.
“Jangan pulang telat!” timpal Sena, Ayahnya.
“Yoo!” balas wanodya penuh prestasi akademik itu kala berjalan perlahan menuju teras rumahnya.
Lana mengaktifkan ponselnya, membuka aplikasi ojek online yang biasa mengantarkannya ke mana pun akibat fakta kendaraan keluarga mereka yang terbatas. Memakan banyak waktu jika Sena harus mengantar Lana, mengingat arah keduanya jauh berbeda.
Baru akan menekan tombol 'searching of driver', suara deruman mesin berhenti di muka rumahnya—membuatnya terkejut. Lana menurunkan gawainya, mendapati Varen tersenyum manis padanya. Lelaki itu sudah siap dengan setelan seragam—jas hitam, kemeja putih polos, dan celana panjang hitam— beserta tas sekolahnya.
Lana yang membisu itu menoleh ke belakang. Otaknya sibuk memikirkan kemungkinan lain mengapa Varen ada di sini kedua kalinya.
Apa Varen ingin menemui Kakaknya? Ah, atau Mamanya? Ayah? Eh tapi kalaupun iya, untuk apa memangnya?
Lana menelan ludah. Menuruni jalan tanjakan dari paving itu pelan-pelan. Bukan karena sok kalem, tetapi jalanan yang telah berlumut itu licin selepas hujan. Lantaran musim pancaroba, semalam hujan deras.
Lana menghela napas lalu menentang Varen yang kini tepat di hadapannya. “Cari siapa?” tanyanya.
“Lo.”
Lana memasang ekspresi kagetnya, “Gue?” tunjuk Lana pada dirinya sendiri, heran.
“Ayo.” Varen menepuk jok motor di belakangnya dua kali. Kembali melempar senyuman. Ia tampak amat tampan, terlebih ketika menyugar surainya.
“Maksud lo?”
“Keburu siang, loh~” ujar Varen gemas, tetapi memaksakan satu senyuman.
Mulut Lana melongo beberapa detik, ia mengangguk samar. Mengerti maksud Varen yang tahu-tahu berada di sini. Tak mau langsung mengiyakan, Lana berdehem lirih. Dia hendak sok jual mahal seperti tokoh heroine dalam novel yang di bacanya belum lama ini.
“Gue udah pesen ojek.”
“Bohong.”
Lana mendelik beberapa detik, “Ih bener. Udah OTW. Mobil avanza,” kelit Lana berusaha terdengar meyakinkan. Tanpa kata, tahu-tahu saja Varen menyambar ponsel gadis itu yang tampak lebih cantik dari biasanya. Laki-laki itu segera tersenyum setelah melihat yang tertera di ponsel Lana.
“Bukti lo bohong.” Lana mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Kehabisan kata-kata. “Ayo berangkat. Gue gak minta ongkos, kok.”
Lana tersenyum lebar—dalam hati. Selain sangat gemar mie ayam, Lana juga tak bisa menolak yang namanya 'Gratisan'. Selain itu, kapan lagi dia akan diantar oleh orang yang dia kagumi?
“... Gue mau izin dulu.” Lana membalikkan badannya, berniat izin pada kedua orang tua kalau hari ini dia tidak pergi dengan ojek online, semacam. Namun ....
“Gak perlu. Gue udah izin,” serobot Varen.
Lana membalikkan badannya cepat-cepat, menatap Varen lurus-lurus tepat ke netranya. “Serius? Kok bisa?!"
“Beneran ... ayo.”
Lana masih bergeming di tempat. Merasa bingung dengan suasana yang tercipta di sekitarnya. Ditatapnya Varen lekat-lekat, tetapi ia tak menemukan kebohongan di sana. Ia tak bisa menyembunyikan kerutan dalam pada keningnya.
“Cepet sayang, keburu siang!" jerit Olena yang berdiri tak jauh dari pintu utama, mengintip keduanya sejak tadi. Di belakangnya, terdapat Sena yang melakukan hal yang sama. Beliau bahkan belum memakai celana panjang, tetapi berhubung telah penasaran, bagaimana lagi?
Lana menautkan kedua alisnya, berbalik dan menatap Olena tajam-tajam. “Mama?!” seru Lana yang jelas tak suka.
“Udah, cepet berangkat!” titah Olena, menggerakkan telapak tangannya seolah sedang mengusir kucing. Perempuan yang tak kalah uniknya itu terlihat sangat bersemangat.
Desahan lirih tercipta dari mulut gadis itu, tetapi tanpa berlama-lama naik ke atas motor besar tersebut dan memakai helm yang disodorkan Varen. Varen tampak sangat girang, senyumannya tak kunjung memudar.
“Pegangan," bisik Varen ria. Jauh berbeda dengan Lana yang tampak tertekan.
“Gak perlu.”
Dengan sekali jurus, Varen menjalankan motor kesayangannya tersebut. Melesat maju meninggalkan kediaman Lana juga Olena yang sibuk melambaikan tangannya.
Lana meneleng ke kanan-kiri jalan dengan takut-takut. Menelan salivanya samar.
Jujur saja, ia hampir membenci naik motor jika yang mengendarainya bukan Sena ataupun kakak laki-lakinya. Lana bukan ekstrover dengan puluhan teman yang sering ke sana-kemari untuk sekedar bermain dan berwisata. Kalaupun bermain, ia pasti lebih memilih ojek ataupun di antar-jemput Sena. Bukan dijemput oleh temannya semendesak apa pun itu.
Lalu kini?
Ia bahkan tidak mengenal Varen dengan baik.
Semua kabar yang disebarkan oleh anak-anak bisa saja pencitraan, bukan? Bagaimana jika Varen adalah preman? Mafia? Intel?
Lana melotot, dia frustrasi. Sungguh.
Perilaku Varen benar-benar mencurigakan. Dari undangan makan siang yang tiba-tiba, datang tanpa alasan di waktu menjelang malam, kemudian memaksa untuk mengantarkannya.
Oh, atau Varen ingin membuat citra buruk dengannya yang lumayan popular? Apa Varen adalah tokoh-tokoh yang diutus untuk menghancurkan kehidupannya? Bagaimana jika nanti dia—
Lana menggeleng cepat. Menghalau semua pikiran yang tiba-tiba membuncah di benaknya. Sekarang yang pasti, dia tidak boleh membangun kepercayaan apa pun pada Varen. Lebih baik menghindari datangnya rumor bahwa dia memiliki hubungan spesial dengan Varen yang jauh, jauuh lebih popular darinya.
Apa kata semua orang akannya nanti, bukan?
“Awh?!” ringis Lana samar. Akibat ia membuka kaca helm yang melindungi kepalanya itu, angin yang berembus kencang mengacak-acak rambutnya. Lalu poni super menyebalkannya itu berkali-kali mencolok kedua netranya yang sedang tak terlindungi kacamata.
Varen melirik sekilas melalui kaca spion dan hanya terkekeh. Menganggap peristiwa tadi menggemaskan.
Lana berdecak cepat. Menggerakkan tangannya lantas menepuk pundak Varen, “Turunin aku di depan gerbang, ya!”
“Kenapa?”
“Turunin aja.”
Varen tertawa renyah. Membuat Lana mendelik tidak suka. “Turunin aku!”
“Sekalian ... nanggung.”
“Ren!” jerit Lana tak tenang.
Tak punya pilihan, Varen pun menurunkan Lana tepat di depan gerbang. Membuat Lana bernapas selega-leganya. Ia berhasil turun tepat waktu.
“Makasih. Gak usah anterin gue lagi besok,” tegas Lana sembari mendorong kasar helm berwarna putih itu tepat ke dada Varen. Ia lalu membalikkan badan, sedikit puas mendengar ringisan Varen tatkala helm itu menghantam dadanya.
“Eh bentar, bentar!” desak Varen bersamaan dengan tangannya yang menarik Lana mendekat. Varen bergegas membuka tas punggungnya. Setelah tangannya mengacak hampir keseluruhan barangnya, ia berseru kecil. Mengambil satu benda mungil, lalu menempatkannya ke telapak tangan Lana yang digenggamnya.
Lana yang sedari tadi resah—takut seseorang mendapati pemandangan ini, berasak membelalakkan kedua netra. Mendapati satu jepit rambut mungil berbentuk bunga matahari di telapak tangannya. Canary, warna kesukaannya.
“Gue tahu ini bunga kesukaan lo,” celetuk Varen yang menyadarkan Lana dari lamunan sesaatnya.
Lana mengedipkan kedua ain-nya. Menatap jepit yang berhasil membuatnya terpana. “Thanks.”
Gadis itu berdehem samar. Menahan diri untuk tidak tersenyum. Ia mengulum bibirnya, gelagapan. Sesungguhnya, dalam hati dia sangat senang mendapatkannya. Mendapatkan jepitan itu. Baru kali ini, ada orang—selain Candra—yang sepeka ini padanya, berhubung poni depannya yang selalu mencolok matanya ketika mendapat kesempatan.
“Gak ada komen, gitu?” pancing Varen seraya terkekeh.
“Emang gue anak kecil?” cibir Lana sembari tersenyum. Ah... senyumnya bersikeras keluar juga.
“Lo kan pantes pake apa aja.” Senyuman kembali tersimpul di birai manis Lana. “Semangat belajar. Jangan mikirin gue sepanjang pelajaran.”
Lana membeliak cepat, "Dih. Gak minat," cetusnya. Meski bibir tipisnya masih mengembangkan senyuman.
Entah kebetulan atau bagaimana, Irena dan Candra datang bersamaan. Irena dengan sopir pribadinya, sedang Candra dengan motor matic merah tuanya. Pandangan keduanya serentak terarah ke kedua insan yang sedang mengobrol ringan. Tepat di tepi gerbang sekolah. Kedua orang yang mereka cintai berada di sana.
Keduanya merengut saat sadar satu fakta. Mereka tidak sedang bersama. Tidak dengan Lana, atau juga Varen.
Irena yang memandangi keduanya dari balik jendela hanya dapat mendesah kecil. Sorotan getir muncul pada netranya, ada rasa sakit yang menyempil dalam lubuk hatinya. “... Gue cemburu,” akunya lirih.
Sama halnya dengan Irena, Candra merasa resah sendiri. Gelak tawa dari bibir Lana terlihat sangat cantik. Segalanya serasa pahit dan lara. Ia kesal akan kenyataan jika tawa itu bukan untuknya. Tawa itu bukan karena candaannya. Tawa itu tercipta oleh kelakar murahan dari lelaki sok tampan—Varen.
“Apa definisi cemburu itu gue saat ini?” gumamnya lirih.
Tahu-tahu mobil putih melesat pergi dari hadapan Candra yang menghentikan motornya. Meninggalkan Irena yang meremas kedua tali tas di punggungnya, mengunyah bibirnya resah. Sama. Tatapannya tetap pada kedua insan yang masih bersama.
Candra tersenyum pedih kala menyadarinya. Benar baru menyadarinya.
“Ternyata sama. Dia, gue cemburu.”
🌻
“Heiii!” pekik Irena. Memicu Lana juga Varen untuk berpaling bersamaan. Kala Lana memandang Irena yang berjalan cepat ke arahnya, ia dengan cepat tersenyum. Namun pandangan Irena yang sesungguhnya terarah pada Varen yang sudah memalingkan wajahnya.
“Hai," sapanya. Berjalan mendekati Irena, tetapi Irena justru mendekati Varen, mengabaikannya.
“Ren ... semalem lo di mana? Kok gak ada di rumah?”
“Restoran. Gue bosen di rumah baru. Kalau di sana, kan, gue bisa ngemil sampe mampus.”
Irena mangut-mangut mengerti, masih tak acuh pada Lana yang mengurungkan niatnya untuk menyapa Irena kedua kali.
“Masuk bareng, yuk!” ajak Irena, memeluk lengan Varen yang masih menggenggam helm. Cekatan, Varen menepis tangan Irena—membuat dara itu mendelik sesaat.
“Gak perlu. Gue mau ke perpus dulu.”
“Yaaa ... gue temenin.”
“Enggak, Ren. Nanti gue malah ngacangin lo,” tolak Varen kedua kalinya. “Gue juga lagi gak mau diganggu,” serobot Varen sebelum Irena mencari alasan lain.
Gadis itu—Irena— menunduk, menggigit bibirnya kuat-kuat. Pandangannya memburam, berkaca-kaca. Ia terus menahan kemungkinan akan menangis. Padahal, Irena hanya ingin memberi hadiah sebagai ucapan selamat datang kala berdua saja. Namun ia menahannya, ia tak boleh menangis hanya karena penolakan yang masih dianggap masuk akal.
“Gue pergi dulu, ya. Lo nggak apa-apa, 'kan, Ren?”
Irena mengangguk ragu. Menatap Varen lurus-lurus. Mengetahui Irena yang baik-baik saja, lelaki tersenyum tipis.
“Bye, Lan,” pamit Varen yang kemudian menjalankan kembali motornya ke parkiran sekolah. Menghilang cepat dan hanya menyisakan asap dari knalpotnya.
Irena mendengus kesal, menoleh ke Lana yang menatapnya juga. Tatapan Irena amat tajam, “Lo berangkat bareng dia?” tunjuk Irena pada arah di mana Varen menghilang di balik gedung.
“Gue? Enggak,” sangkal Lana cepat. Takut kalau-kalau Irena akan menggodainya yang memiliki gebetan, atau pun berita macam-macam tersebar ke berbagai penjuru. Padahal buka itu maksud Irena.
“Terus tadi berduaan kenapa? Ngapain? Gimana bisa ngomong di depan gerbang?” berondong Irena, membuat Lana menggaruk tengkuknya dua kali. “Gimana kalau Candra tahu? Dia bakal cemburu, Lan!” Lana mendelik, tetapi akhirnya ia hanya menggelengkan kepala. Menarik lengan Irena untuk berjalan beriringan. Saling rangkul pundak, memasuki halaman sekolah.
“Gimana hubungan lo sama Candra? Masa lo gantung dia?” seru Irena tak terima, membuat beberapa orang menoleh lantaran nama Candra disebut kuat-kuat.
“Candra tuh temenn!” tegas Lana kemudian, kala keadaan tak begitu ramai.
“Huhhh... sampe kapan lo mau gantung hubungan lo itu?”
Lana tertawa hambar, menghela napas lelah. “Gue pertegas ya, Irena sayang! Te-men,” tekan Lana tajam.
Sama lelahnya, Irena mendengkus, “Oke, terserah lo.”
Irena mendesah lagi tatkala mengingat satu hal genting yang membuatnya segera menanyakannya pada Lana, “Hari ini ada PR, gak?”
“Ada. Fisika."
“Salinin punya lo, dong—kalau ada. Gue kasih mie ayam double size dari biasanya. Plus tambahan pangsit. Gimana?”
“Astagaa, Ren. Sampe kapan lo mau nyontek? Kalau otak lo berhenti berfungsi, gimana?”
“Sumpah lo tega banget. Otak gue kan lagi hiatus! Gue lagi males ... gue janji ini yang terakhir!”
“Lo kira apaan hiatus, hiatus,” desis Lana.
“Contekin, ya?”
“Gak.”
“Ya?”
“Brisik, Ren!”
“Okey, gue anggep iya!”