Pagi itu, —masih di hari yang sama, beberapa jam menjelang jam istirahat—terasa dingin dan sejuk. Angin memaksa untuk terus berembus melalui celah-celah ventilasi di kelas yang mendadak saja sepi. Membelai lembut pipi Lana nan menidurkan tendas di atas meja bangku.
Ketika Lana mengubah posisi kepalanya ke kanan, barulah ia sadar Candra terus memandanginya. Tatapan lelaki itu menerawang. Melihat Lana yang bertanya-tanya akan apa yang dilakukannya, Candra kembali menatap depan. Meneruskan catatannya di atas lembar kosong lainnya.
Tak jarang, Candra terdengar menembuskan napas. Mendorong dara itu untuk terus menatapnya. Sadar bahwa Candra tengah menyerana, Lana meraih penggaris besinya. Menggoleng lengan pemuda itu dengan mistar yang kerap kali membantunya memanggil Candra ataupun Irena secara tidak langsung. Sebab program sekolah satu bangku satu orang, jarak bangku ke bangku lain bisa dibilang cukup jauh. Jadi Lana tak mungkin menggerakkan tangannya untuk menyentuh lengan Candra, kalaupun dia mau.
“Can ... kenapa?” tanya Lana setengah berbisik.
Candra mengangkat kepalanya. Tersenyum simpul, “Gue laper.”
“Ooh. Nanti istirahat nge-mie ayam, yuk! Gue jajakin. Tanpa daun bawang.”
Roman Lana berhasil mengusir jauh perasaan murung yang sempat menyelubunginya. Lelaki itu menjadi jauh lebih baik.
Candra pun lekas mengiyakannya, menciptakan senyuman ria dari bibir Lana.
“Gue juga, gue ikut!” seru Irena yang memang menguping pembicaraan keduanya lantaran penasaran.
“Iyaa.”
“Tapi gue maunya makan di kelas aja, gak mau di taman,” desisnya kuat-kuat.
“Iyaaa ....” balas Lana berusaha sabar.
“Tapi gue—“
“Barang siapa yang berbisik-bisik di tengah pelajaran saya?” sentak Pak Kumis dengan garang.
Bukan julukan dari para murid, melainkan nama guru Sejarah itu memang Pak Kumis. Entah kenapa Ibunya bisa menamainya Kumis. Boleh jadi ketika mengandung, Ibunya sempat mengidam untuk merenggut kumis tetangga. Entah lah.
Irena melotot cepat. Ia selalu tak suka jika ucapannya dipotong seenaknya, “Astagaa Pak Leleee ... kan bosen diem aja. Tuhan nyiptain mulut buat apa, hayo? Ngomong, 'kan, Pak?” Irena terkekeh samar, menyibakkan rambutnya dengan genit, “Iya tahu, Pak. Iren emang keren.”
“Kerenan juga gue,” timpal Oyu lirih.
Pak Kumis membalikkan badannya ke arah mereka—para murid. Beliau hafal betul akan keduanya yang selalu membuat ulah. Terutama Irena Jasinda. “Kamu, bukan, Irena?!”
“Siapa lagi emangnya, Pak? Si Oyu narsis nan najis?” tanya Irena balik, berasak terkekeh.
Oyu yang masih mencari filter Instagram itu membanting ponselnya ke atas meja dengan cepat dan berangasan, “GULA IREN! LO GANGGU MOOD GUE BUAT FOTO-FOTO!”
“Dih, peduli gue apa?”
“Heh! Berani ya, kalian?” raung Pak Kumis, heran karena mereka justru debat sendiri dan mengabaikan keberadaannya. Ia baru menyesal akan kenyataan di mana ia terlalu baik selama ini, terutama kelas Lana.
“Terserah Bapak, deh. Udah seret aja Iren ke gudang, Pak. Iren lagi gabut.”
Lana dan Candra hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala akan pertengkaran rutin antara Irena-Oyu-Pak Kumis. Selalu saja pertengkaran itu terlaksana pada celah pelajaran Sejarah. Hingga hampir keseluruhan anak lain memanfaatkan suasana untuk memotret keadaan, terlebih para Seksi Jurnalistik. Mereka memang menyukai pertikaian.
Pak Kumis menarik napas panjang arkian mengembuskannya lembut. Angkat tangan. Sia-sia saja untuk menghukum mereka—Irena-Oyu. Mereka tak akan jera. Lebih-lebih Ibunda Oyu yang gemar turun tangan dan membereskan semua bak dalam satu jentikan.
Kesudahannya, Pak Kumis memilih untuk menyambung mata pelajarannya yang sungguh membosankan—seperti kebanyakan pelajaran Sejarah lainnya. Irena mendengkus dan memilih tertidur; kecewa lantaran tidak dilempar ke gudang seperti yang ia pinta, mengacangkan Oyu yang setia mencerabih. Bibirnya sampai berbusa.
Lana memilih mencoret-coret catatannya. Hari ini semangat belajarnya meluap gara-gara perutnya yang mendadak saja meronta minta diisi. Karena Candra adalah murid idaman, ia memperhatikan satu huruf pun yang keluar dari bibir pecah-pecah milik Pak Kumis. Ia meringkas sekaligus mencatat materi yang Pak Kumis sampaikan. Materi baru, mengingat baru saja mereka melaksanakan Ulangan Harian yang ketiga.
“Can, pinjem catetan.” Lana buru-buru berjalan mendekati meja Candra, lalu segera kembali ke bangku dengan buku catatan biru di tangannya.
Irena menoleh cepat, tersenyum dan mengangkat buku catatannya tinggi-tinggi. Memasang wajah memelas di hadapan laki-laki dingin itu. “Catetin, Can. Tangan gue lagi mati rasa.”
“Mati rasa bisa megang kek gitu? Pfftt, you must be kidding!” sindir Oyu, memulai perdebatan.
“Gue—“
Ucapan Candra terhenti oleh suara nada dering singkat dari ponselnya sendiri. Hal itu membuatnya kaget setengah mati dan ia kontan menyembunyikan ponselnya.
Ponsel boleh dimainkan, kecuali pada mata pelajaran Pak Kumis yang orangnya amat kolot pun kuno. Barangkali terpengaruh oleh mata pelajaran yang digemarinya tersebut. Selain pelajarannya yang membosankan, gaya hidup Pak Kumis pun sangat membosankan. Anti modern-modern club. Maka dari itu ponsel tak diperbolehkan aktif saat pelajarannya. Jika melanggar, hukumannya tentu disita sampai semester berikutnya. Bila menyontek masih ada toleransi, tetapi tidak untuk membawa ponsel di pelajarannya.
Keuntungannya, pendengaran Pak Kumis ini kurang baik. Seperti tadi contohnya: jelas-jelas Irena menjerit lumayan keras, tetapi Pak Kumis menganggap bahwa ada yang tengah berbisik.
“Oyu, please shut up!” bentak Irena pada akhirnya.
“YOU SHUT UP!”
“NO, YOUU!”
Candra bergeming. Menulikan rungu dari seruan demi seruan yang Irena juga Oyu serukan. Berasak memandangi gawai di tangan kanan yang ia sembunyikan pada bawah meja. Entah kenapa, pemuda itu kentara sangat penasaran dengan isi pesan tadi.
Candra bangkit lalu tegak cepat diikuti suara decitan dari kursinya. Nanap, semua orang mendadak menoleh padanya dengan berbagai ekspresi; tak terkecuali Irena yang hendak bangkit menjambak surai Oyu. Pak Kumis ikut melonggok seraya menggaruk rambutnya lembut. Heran kenapa para murid yang hendak ditegurnya jadi bungkam secara tiba-tiba.
“Pak, saya izin ke toilet, ya?” jerit Candra agar guru dengan sebutan Pak Lele itu mendengarnya.
“Baiklah. Bapak pinta jangan berlama-lama,” pesan Pak Kumis, wali kelas dari XI MIPA 02 yang terkenal akan gaya bicaranya nan kuno. Yang berbeda 180° dari anak muridnya yang mayoritasnya absurd—tetapi anehnya populer dan punya banyak prestasi.
Candra menunduk takzim hingga kemudian melesat menuju toilet dengan ponsel di saku jasnya. Pikirannya melayang ke mana-mana guna memikirkan siapa yang kira-kira menghubunginya di tengah jam pelajaran seperti ini.
Mungkin kah ... gadis dari kelas IPS di hari itu yang selalu ditemuinya di rooftop?
🌻
“Candra tumben banget ke toilet?” ujar Lana lirih. Merasa tak tenang lebih lagi seharian ini Candra terus-menerus berdiam diri. Tak seperti biasanya yang selalu tegas untuk memerintah Irena-Oyu—duo perusak kelas— untuk diam dan tenang.
“Buang air besar, kali. Masih normal,” timpal Irena. “Eh, Lan! Catetin doong!” pekiknya cepat.
“Nggak,” tegas Lana. Berasak memandangi buku tulisnya dan lanjut mencatat materi.
“Satu porsi mie ayam?” tawar gadis itu.
Lana menggeleng cepat. Kali ini dia tidak boleh luluh akan godaan Irena. Semenggiurkan apa pun itu, “Gak.”
“Dua porsi mie ayam dobel pangsit?”
Lana berdehem singkat. Sok membenarkan posisi dasinya lantaran kedua kakinya yang mulai bergetar tidak tenang. Ia telah melawan hukum alam.
“... Gak."
“Tiga porsi—“
“Oke, deal!”
Irena tertawa puas, menyeringai lebar, “Good girl.”
CHATROOM
| Varen
:
Oy, oy!
Istirahat pertama. Jangan lupa
| Candra:
Bisa gak, gak usah chat gue seenaknya?
| Varen:
Chill broow
Lagian kalo gw punya no Lana, gw gabakal chat lo juga
Lo di mana?
| Candra:
Toilet
| Varen:
Toilet?
Pelajaran siapa emangnya?
Pak Kumis? Kwk
| Candra:
Brisik
Udh gw mw blk
| Varen:
Knapa?
Temenin gw bentar
| Candra:
Sejarah jauh lebih baik dari lo
| Varen:
Eh jan off dulu!
Kirim no nya Lana, okee?
| Candra:
Kalau lo bisa dapet no gw, kenapa no Lana harus minta gw?
| Varen:
Kan minta sama pawangnya lebih seru
| Candra:
Fuck off
| Varen:
Parah lo songongnya kebangetan
Btw sampein salam sayang gw yang tuluss buat Lana ya?
| Candra:
Ogah
| Varen:
Sumpah lo perhitungan banget!
| Candra:
Perhitungan?
Srry, emang lo sp dan prnh buat ap ke gw?
Candra menyalakan mode jangan ganggu lalu gegas mematikan daya ponselnya. Keluar dari kamar mandi setelah membasuh tangan, dan dibuat terperanjat ketika mendapati Varen di hadapannya.
“Gue kangen lo.”
Candra menaikkan satu alisnya dengan cepat, memasang raut dingin, “Gue pasti salah denger.”
Varen terkekeh. Ia selalu senang tatkala berhasil membuat lelaki tampan tersebut gusar. Sedang Candra memutar bola matanya sinis. Mengegah menjauh tanpa kata.
“Mau kemana lo?” seru Varen yang terus berjalan mengikuti Candra. "Kelas gue lagi bebas. Ngantin, yuk.” Candra masih membisu. “Ya udaah, gue tahu lo anak teladan pake 'banget' yang anti ngantin di tengah jam pelajaraan ... kalau gitu main TOD yuk!”
Candra masih terus melangkah menjauh.
“DOD?”
“TOT? Bentar aja deh,” desak Varen mulai tak bersabar.
“Gimana kalau jadi rival gue?"
Candra sontak menghentikan langkahnya. Berbalik dan menatap Varen dengan amat tajam dan dingin. Terpancar kemarahan yang begitu besar dari embusan napas yang dikeluarkannya. “Udah? Gue harus balik ke kelas. Ada kata lain yang lo ucapin, gue tonjok rahang lo,” desisnya lantas berlalu.
“Can, gue suka debat sama lo! Ayo jadi rival buat dapetin Lana!” jerit Varen pada koridor yang untungnya sepi itu. Jadi keduanya tak mendapat saksi-saksi yang mungkin akan mengguncangkan seisi dunia akan percakapan ambigu mereka.
Candra mendengus. Laki-laki itu menghentikan langkahnya kedua kali. Cepat-cepat memutar arah.
“Lo nantangin gue?” tanya Candra setengah menyentak, sementara Varen sekadar tertawa sarkas.
“Harusnya lo denger, sih. Gue males ngulang soalnya.”
“Lo sama pacar lo sama aja, ya? Mulut gak bisa dikontrol,” cela Candra. Berusaha tak emosi dan tenggelam ke suasana. Karena kalau pun itu terjadi, wajah Varen tak lagi akan utuh dan enak dipandang.
“Pacar? Ooh ... Lana?"
“Irena!”
Dengan ekspresi yang sama menyebalkannya, Varen menggeleng cepat, “Dia bukan pacar gue.”
Candra mendengkus kasar. Menyesal sebab merespons pemuda gila dengan wajah super tampan itu. Bukannya berhenti, Varen justru makin menjadi.
“Ayo, Can, jadi rival gue! Siapa cepat, dia dapat Lana. Tapi jangan pake taruhan, gak baik,” seru Varen lagi.
“Maupun pake taruhan ataupun gak, gue gak bakalan tertarik.”
“Serius?” goda Varen. Mengembangkan senyum miring yang membuat Candra benar-benar berhasrat menonjok wajah mulus itu. Lengan Candra terkepal kuat sampai kelima jemarinya memutih. Namun ia mengatur napasnya, berupaya tetap berkepala dingin.
“Lo ngarep banget, ya, dapetin Lana?”
“Iya, lah. Gue kan suka. Makannya gue perjuangin, bukan tungguin. Ups?!” Lagi-lagi lelaki itu tergelak penuh sarkasme.
“Lo beneran pengen gue tonjok?” geram Candra. Matanya mendelik sempurna, termakan amarahnya.
“Makannya, yok, rivalan. Katanya lo suka bersaing, ‘kan?” Varen menepuk-nepuk bahu Candra. Membuat Candra menghempaskan lengannya secepat mungkin dengan rampus.
“Gue gak tertarik,” desis Candra. “Lagian apa pun itu, gue akan pastiin Lana suka sama gue. Bukan lo,” tekannya lagi arkian benar-benar pergi dari Varen.
“Inget, Can. Terlalu percaya diri adalah musuh terbesarmu!” jerit Varen yang setelahnya terkekeh samar.