Read More >>"> Denganmu Berbeda (#4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Denganmu Berbeda
MENU
About Us  

“Tunggu apa lagi, sih? Skuy!” seru Irena telah mendahului mereka. Mobilnya tadi membantu ketiganya memasuki kediaman Varen yang besarnya nyaris menyamai gedung Glare High School—yang bisa dibilang amat besar tersebut. Mereka hanya perlu berjalan kurang dari semenit, melewati jalan setapak berbatu yang membelah hamparan rumput hijau. Nan jauh lebih asri dari rumput-rumput pada halaman rumah Lana. Seluruh tanaman di sini pasti terawat dengan sangat baik. 

Lain halnya dengan Irena yang semangat empat lima, Candra hanya mematung di tempat. Senandika mengatakan tidak baik jika masuk ke dalam rumah Varen, anak baru itu. Kalau saja dia boleh menolak, Candra pasti sudah menarik Lana pergi jauh-jauh sedari tadi.

Lana mengangkat kedua bahunya cuek dan memutuskan berjalan masuk. Namun, gadis itu harus menghentikan langkahnya dengan paksa ketika Candra menarik tangannya kuat-kuat. Tubuhnya bahkan tertarik mundur beberapa langkah. 

“Kenapa, Can?”

“Jangan masuk. Nonton bioskop aja, yuk,” ajak lelaki itu. 

Lana kontan menautkan kedua alisnya, menanyakan pertanyaan yang sama, “Kenapa?”

“Oh, atau jalan-jalan? Makan mie ayam sepuasnya? Aku bawa voucher—”

“HEH! Masuk! Ditunggu, loh,” jerit Irena yang sudah berdiri tepat di depan pintu. Ia segera berkacak pinggang kala mendapati Candra yang menggenggam erat telapak tangan Lana. “Nggak. Gak ada pacaran hari ini!” desis Irena. 

“Pasal mana yang melarang aku sama Lana pacaran?” protes Candra yang jelas tidak setuju. 

“Jangan ngaco, deh. Gue bukan pacar lo,” bantah Lana, tetapi tak kunjung melepas genggaman Candra darinya. Mereka saling pandang beberapa saat. Lana mengisyaratkan untuk masuk saja, sedang Candra tetap kukuh ingin angkat kaki.

“Gak langsung masuk, nih? Kenapa?” celetuk seseorang yang sekonyong-konyong muncul di hadapan mereka bertiga.

Siapa lagi kalau bukan Varen? Manusia tertampan se-Glare High School, yang dari fisik sampai sifatnya super boyfriend-able. Kedatangannya melengserkan posisi Candra yang menduduki peringkat satu most wanted. Mendadak saja, semua siswi pindah haluan pada Varen. Mungkin memang tidak semuanya, tetapi presentasinya bahkan sebanyak 60an%.

“Oh, hai!” sapa Varen seraya melambaikan tangannya pada Lana—nan berdiri lumayan jauh darinya. Lana menganga. Menengok ke kanan-kiri, memastikan apa Varen benar-benar melambaikan tangan ke arahnya. 

“Ayo, masuk aja!” sambut Varen seramah mungkin.

🌻

Sepanjang makan tadi, Lana benar-benar tidak dapat fokus. 

Mengapa? Karena rupanya dari dekat, Varen memang sangat lah tampan. Lana yang dicap sebagai gadis tercuek di kelasnya saja sampai salah fokus. Namun, bukan perempuan namanya kalau tidak bisa jaga perasaan; Lana bisa saja menyembunyikan rasa kagumnya. 

Setelah selesai makan, mengobrol singkat dan bahas sana-sini—akhirnya ketiganya keluar dari ruang makan. Menuju halaman rumah Varen yang kian diamati kian indah saja; lantas pamit untuk bertolak. Kebetulan Varen sekeluarga pun hendak singgah ke restoran mereka guna menyiapkan banyak hal—termasuk pembukaan restoran yang akan terlaksana esok tengah hari.

Mendadak saja, di sela kegiatannya untuk melempar pandangan pada pekarangan, netra Lana menangkap keberadaan mobil putih yang persis seperti kemarin. Amat mirip meski ia tahu mobil semacam tak hanya satu di dunia ini. Mobil itu terparkir di halaman rumah Varen. Bersejajar dengan beberapa mobil mewah lainnya di atas permukaan beton yang sederhana.

Hal itu membuat Lana mengernyitkan dahinya. Dia berpikir, itu mobil yang waktu itu bukan, sih? Tapi ... masa iya?

“Kenapa, Lan?” Varen tersenyum manis, hal yang menyapa Lana pertama kali kala melirik padanya. 

 

Lana menggeleng dengan kaku, mendadak ia gelagapan. “Nggak, nggak apa-apa.”

Gadis itu gegas berjalan menyusul Irena yang lumayan jauh di depan, merasa kikuk lantaran berhadapan dengan Varen. Baru ingin mengeluh bahwa ingin lekas pulang secepat mungkin—Irena tiba-tiba berbalik dengan raut wajah yang sangat tidak mengenakkan. Lana segera menelan ludahnya.

Pasti ini tidak akan baik.

“Lan ....” Irena membasahi bibirnya dengan cepat. “Maaf ... gue ada acara sama Candra. Lo pulang sendiri, ya?” sambung Irena.

Lana mengerjapkan matanya beberapa kali. Lantas, tanpa butuh waktu lama ia tersenyum setipis mungkin, “Nggak apa-apa. Gue juga mau mampir ke cafe dulu, kok.”

“Bener nggak apa-apa, Lan?” Candra tampak tidak tenang. Namun Lana yang masih tersenyum itu hanya mengangguk.

 

“Hati-hati,” ingat Lana. 

Mereka serempak mengangguk, arkian lekas pergi dengan mobil Irena tanpa berbasa-basi lagi. Mobil Mercedes Benz E-Class E400 AMG itu melaju cepat. Hanya menyisakan jejak tanah becek sisa hujan beberapa jam lalu.

Pada akhirnya, Lana hanya bisa mendesah kecil. Berjalan lesuh keluar dari rumah Varen. Seorang diri.

Selain pendiam, kadang Lana ini sangat sensitif. Dia akan menangis karena hal sepele, seperti saat ini misalnya. Saat ditinggal kedua sahabatnya begitu saja—padahal pergi ke rumah Varen bukan keinginannya.

'Sudah jatuh tertimpa panci' mungkin jadi peribahasanya sekarang. Ia sukses ditinggal oleh sahabatnya dengan keadaan benar-benar murni tidak membawa uang.

Lalu sekarang?

Tubuhnya justru jatuh begitu saja akibat salah pijakan dan terantuk batu. Lebih sialnya lagi, kaki Lana terjebak dalam got di sepanjang jalan tadi. Sedikit untung, selokannya tidak berisi air kotor juga lumayan dalam, jadi syukurlah kaki kanannya yang terjebak itu tidak basah atau kotor. Hanya terasa sakit dan perih. 

Di tengah acara mengumpatnya Lana, terdengar suara derap langkah kaki cepat ke arahnya. Ia refleks menengok ke belakang. Dan menemukan Varen yang mendatanginya.

Lana merengut samar, karena dia kira orang yang menghampirinya adalah Candra. Dia hanya tidak suka ditinggal begitu saja, padahal Candra biasanya sangat-sangat peka padanya.

“Lo nggak apa-apa, 'kan?” tanya Varen panik. Wajah Lana memerah, dia sungguh malu Varen menatapnya dalam keadaan kacau seperti ini. “Sesakit itu ya, sampe nangis?"

Untuk menutupi kegengsiannya, Lana menggeleng cepat. “Gue gak nang─” 

Ah ... Lana lupa. Dia sedang menangis sekarang meski bukan sebab peristiwa jatuhnya.

“Lo diem aja, ya,” titah Varen. Kemudian pemuda itu menarik tubuh Lana keluar dari got tadi dengan sangat lembut. Entah bagaimana caranya. “Bisa berdiri?”

Lana mengangguk. 

Varen tersenyum dan gegas memeriksa tubuh Lana lebih lanjut. Lelaki itu dibuatnya mendelik saat tahu-tahu kaki Lana yang luka mengeluarkan darah. Terlihat lumayan parah dari dugaannya. 

“Sakit ya?!”

Lana hanya membisu, memandang Varen takjub. Wanodya tersebut sungguh kagum akan kecekatan Varen kala menolongnya saat ini. Sepertinya benar ungkapan Irena, ia mulai tertarik padanya.

“Lo tunggu di sini, ya,” pinta Varen yang kini berlari ke mobilnya. Meninggalkan gadis itu yang masih berusaha mencerna kenapa ia sendiri membiarkan Varen peduli padanya.

Setelah kembali, tangan Varen telah membawa kotak P3K dengan napas memburu. Tentu saja akibat baru saja berlari secepat kilat. Varen tak akan membiarkan Lana menunggunya lama-lama.

Lalu, tatkala Varen hendak meneteskan obat merah atas luka pada tungkai Lana—gadis manis itu langsung merebutnya begitu saja.

“Gue aja.” Lantas, selang beberapa detik, Lana meneteskan obat cair itu tanpa berlama-lama lagi. Iras gadis itu terlihat datar, seolah merasa biasa saja dengan luka-luka itu.

Keunikan Lana yang ke sekian, ia sangat suka mengobati lukanya seorang diri.

Varen yang masih terduduk di hadapan Lana lekas menempelkan satu plester di atas luka kecil Lana tadi, sebelum Lana mengambil alih. Varen sudah tulus ingin membantu, jadi setidaknya ia harus campur tangan walau sekejap. 

Plesternya lucu, bermotif bunga matahari. Melihat itu, senyum manis mengembang di wajah cantik Lana. Mempercantik wajahnya. “Makasih.” 

Varen mengangguk antusias. Namun itu tak lama sebelum kerutan muncul di glabelanya, “Lo ... gak pulang sama mereka?” tanya Varen dengan hati-hati. Waspada kalau-kalau salah bicara.

“Ehm, ya. Irena ada urusan katanya.” Lana menunduk, bibirnya kembali merengut dan wajahnya suram seketika—meski ia telah coba untuk menyembunyikannya.

“Dih dasar Irena. Egois,” desis Varen yang ikut merasa kesal, tetapi Lana hanya menanggapinya dengan senyuman samar. “Ya udah pulang bareng gue. Tapi ini bukan tawaran.”

Varen menarik Lana tanpa membiarkan gadis itu membalas ucapannya. Lana pun menurut tanpa menolak dengan kasar, karena bagaimana pun ia bahkan tak tahu kini sedang berpijak di mana—jalan apa, pusat atau tepi kota.

Hingga keduanya sampai di depan mobil keluarga Varen, Lana mematung dan menolak untuk masuk secara serta-merta. 

“Kok gak masuk?”

“... Gue gak enak sama keluarga lo,” cicit Lana jujur. Merasa sungkan.

“Gak perlu. Mereka malah yang suruh gue hampirin lo tadi. Eh ... gue malah liat lo jatuh.”

Varen tersenyum manis ketika Lana masih terlihat murung. “Tenang. Orang tua gue tuh gak jahat. Gak gigit," canda Varen yang entah kenapa sontak menghangatkan hati Lana.

 

Salah satu jendela mobil terbuka tiba-tiba, lantas muncullah Ibu Varen yang tersenyum padanya. “Ayo Sayang, keburu sore. Nanti kalau dicari Mama kamu gimana?” Lana hanya tersenyum dan menggeleng sopan. “Kita mau ke restaurant, kok, jadi gak ngerepotin. Sekalian, 'kan? Sejalan.” Ibu Varen terlihat serius ketika mengucapkannya. Malahan mungkin sangat tulus. 

Namun bukannya mengiyakan, Lana tetap terdiam. Masih bimbang. Hingga tanpa kata lagi, Varen membuka pintu di depannya. Mendorong tubuh Lana masuk, setelah itu ia sendiri berlari ke sisi lain dan terduduk tepat di sebelah gadis itu yang akhirnya setuju.

Lana tidak setegang tadi akibat sepanjang acara makan beberapa saat lalu, mereka sudah berbincang-bincang ringan. Basa-basi khas orang tua dan anak muda. Nama dan informasi-informasi kecil mengenai mereka sendiri lah yang mereka bicarakan. Jadi rasa canggung di hati Lana perlahan pergi. 

Mereka masih mengobrol ringan sampai detik ini. Seputar keadaan sekolah Lana dan Varen yang dulunya juga tempat Mama Varen menimba ilmu. Semua percakapan seru itu terpaksa terhenti setelah mobil mewah mereka tiba tepat di muka rumah Lana. 

Lana yang tak berniat berlama-lama gegas turun dari mobil. Tentu saja tak lupa berterima kasih. Arkian, ia berlari kecil menaiki dataran tanjakan. Melekati pintu rumahnya setelah melambai singkat. 

Varen tersenyum. Menatap Lana dari balik jendela mobilnya yang terus melaju menjauh. “Mah, dia cewek yang kemarin Varen omongin. Cantik, ya?”

“Banget, Ren. Dia juga sopan. Mama suka.”

“Apalagi Papa,” timpal Papa Varen yang entah kenapa mengundang tawa kedua anggota keluarga lainnya.

🌻

Irena menarik lengan Candra buru-buru. Pandangannya terarah ke sana-kemari, menciptakan embusan napas lelah dari Candra yang kentara penat. Entah ke mana tujuan Irena, tetapi yang pasti, mereka tengah berada di Mall pusat kota. 

Hanya satu kalimat yang Irena ucapkan tadi—saat masih berdiri di halaman rumah Varen, “Penting Can, lo mesti bantu gue. Plis!”

Candra berdecak kesal ketika mereka berdua malah berdiri di depan toko baju dan sepatu khusus laki-laki dengan price tag yang tidak kaleng-kaleng. 

Apalagi ini?

“Ren ... plis. Lo mau ngapain bawa gue ke sini?!”

“Varen kan baru dateng, gue mesti kasih dia hadiah selamat datang. Dan ... gue tau, kok, lo itu cowok yang fashionable dan bisa diandelin," tukas Irena lalu menarik tangan Candra kembali. 

Kemudian dengan tak disangka-sangka, dengan cepat Candra menepis tangan gadis itu. Membuat Irena memelotot. “Ren, lo tinggalin Lana di tempat itu karena ini?”

Irena terdiam sejenak, tetapi kemudian memanggut.

“Lo kenapa, sih? Demi orang baru itu lo ninggalin sahabat kita sendirian?” Candra menggeleng prihatin. “Gila,” maki laki-laki itu kasar. Bergegas untuk meninggalkan Irena yang terdiam membatu.

Namun, bukan Irena jikalau menyerah dalam percobaan pertama. Gadis itu mencebik kesal seraya berlari membuntuti Candra yang masih memasang wajah dingin nan ketusnya.

“Dia bukan orang baru, Can! Gue udah lama kenal dia. Yaaa, walau gak selama gue kenal Lana, sih.”

Candra makin mempercepat langkahnya.

“Can! Plis gue butuh lo! Gue harus kasih dia sesuatu malam ini juga!” jerit Irena. Masih berlari mengejar Candra dengan jarak lumayan jauh itu. Ia tak mengindahkan tatapan orang-orang di sekitarnya yang menatapnya sinis karena sudah membuat keadaan menjadi ricuh akibat teriakannya yang mengganggu.

Sudah pernah kita bahas, bukan? Irena itu egois.

Tak emas, bungkal diasah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dream of Being a Villainess
865      484     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Aditya
1161      473     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
12197      1916     4     
Romance
Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Di saat aku hampir menyerah, laki-laki itu datang ke dalam kehidupanku. Laki-laki itu memberikan warna di hari-hariku yang monokromatik. Warna merah, kuning, hijau, dan bahkan hitam. Ya, hitam. Karena ternyata laki-laki itu menyimpan rahasia yang kelam. Sebegitu kelamnya hingga merubah nasib banyak orang.
Ghea
418      268     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
The Secret
335      217     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
KataKu Dalam Hati Season 1
3535      1069     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
A Day With Sergio
1080      523     2     
Romance
Nightmare
391      264     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Kesempatan
16769      2684     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Lazy Boy
4191      1114     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...