Loading...
Logo TinLit
Read Story - Denganmu Berbeda
MENU
About Us  

“Tunggu apa lagi, sih? Skuy!” seru Irena telah mendahului mereka. Mobilnya tadi membantu ketiganya memasuki kediaman Varen yang besarnya nyaris menyamai gedung Glare High School—yang bisa dibilang amat besar tersebut. Mereka hanya perlu berjalan kurang dari semenit, melewati jalan setapak berbatu yang membelah hamparan rumput hijau. Nan jauh lebih asri dari rumput-rumput pada halaman rumah Lana. Seluruh tanaman di sini pasti terawat dengan sangat baik. 

Lain halnya dengan Irena yang semangat empat lima, Candra hanya mematung di tempat. Senandika mengatakan tidak baik jika masuk ke dalam rumah Varen, anak baru itu. Kalau saja dia boleh menolak, Candra pasti sudah menarik Lana pergi jauh-jauh sedari tadi.

Lana mengangkat kedua bahunya cuek dan memutuskan berjalan masuk. Namun, gadis itu harus menghentikan langkahnya dengan paksa ketika Candra menarik tangannya kuat-kuat. Tubuhnya bahkan tertarik mundur beberapa langkah. 

“Kenapa, Can?”

“Jangan masuk. Nonton bioskop aja, yuk,” ajak lelaki itu. 

Lana kontan menautkan kedua alisnya, menanyakan pertanyaan yang sama, “Kenapa?”

“Oh, atau jalan-jalan? Makan mie ayam sepuasnya? Aku bawa voucher—”

“HEH! Masuk! Ditunggu, loh,” jerit Irena yang sudah berdiri tepat di depan pintu. Ia segera berkacak pinggang kala mendapati Candra yang menggenggam erat telapak tangan Lana. “Nggak. Gak ada pacaran hari ini!” desis Irena. 

“Pasal mana yang melarang aku sama Lana pacaran?” protes Candra yang jelas tidak setuju. 

“Jangan ngaco, deh. Gue bukan pacar lo,” bantah Lana, tetapi tak kunjung melepas genggaman Candra darinya. Mereka saling pandang beberapa saat. Lana mengisyaratkan untuk masuk saja, sedang Candra tetap kukuh ingin angkat kaki.

“Gak langsung masuk, nih? Kenapa?” celetuk seseorang yang sekonyong-konyong muncul di hadapan mereka bertiga.

Siapa lagi kalau bukan Varen? Manusia tertampan se-Glare High School, yang dari fisik sampai sifatnya super boyfriend-able. Kedatangannya melengserkan posisi Candra yang menduduki peringkat satu most wanted. Mendadak saja, semua siswi pindah haluan pada Varen. Mungkin memang tidak semuanya, tetapi presentasinya bahkan sebanyak 60an%.

“Oh, hai!” sapa Varen seraya melambaikan tangannya pada Lana—nan berdiri lumayan jauh darinya. Lana menganga. Menengok ke kanan-kiri, memastikan apa Varen benar-benar melambaikan tangan ke arahnya. 

“Ayo, masuk aja!” sambut Varen seramah mungkin.

🌻

Sepanjang makan tadi, Lana benar-benar tidak dapat fokus. 

Mengapa? Karena rupanya dari dekat, Varen memang sangat lah tampan. Lana yang dicap sebagai gadis tercuek di kelasnya saja sampai salah fokus. Namun, bukan perempuan namanya kalau tidak bisa jaga perasaan; Lana bisa saja menyembunyikan rasa kagumnya. 

Setelah selesai makan, mengobrol singkat dan bahas sana-sini—akhirnya ketiganya keluar dari ruang makan. Menuju halaman rumah Varen yang kian diamati kian indah saja; lantas pamit untuk bertolak. Kebetulan Varen sekeluarga pun hendak singgah ke restoran mereka guna menyiapkan banyak hal—termasuk pembukaan restoran yang akan terlaksana esok tengah hari.

Mendadak saja, di sela kegiatannya untuk melempar pandangan pada pekarangan, netra Lana menangkap keberadaan mobil putih yang persis seperti kemarin. Amat mirip meski ia tahu mobil semacam tak hanya satu di dunia ini. Mobil itu terparkir di halaman rumah Varen. Bersejajar dengan beberapa mobil mewah lainnya di atas permukaan beton yang sederhana.

Hal itu membuat Lana mengernyitkan dahinya. Dia berpikir, itu mobil yang waktu itu bukan, sih? Tapi ... masa iya?

“Kenapa, Lan?” Varen tersenyum manis, hal yang menyapa Lana pertama kali kala melirik padanya. 

 

Lana menggeleng dengan kaku, mendadak ia gelagapan. “Nggak, nggak apa-apa.”

Gadis itu gegas berjalan menyusul Irena yang lumayan jauh di depan, merasa kikuk lantaran berhadapan dengan Varen. Baru ingin mengeluh bahwa ingin lekas pulang secepat mungkin—Irena tiba-tiba berbalik dengan raut wajah yang sangat tidak mengenakkan. Lana segera menelan ludahnya.

Pasti ini tidak akan baik.

“Lan ....” Irena membasahi bibirnya dengan cepat. “Maaf ... gue ada acara sama Candra. Lo pulang sendiri, ya?” sambung Irena.

Lana mengerjapkan matanya beberapa kali. Lantas, tanpa butuh waktu lama ia tersenyum setipis mungkin, “Nggak apa-apa. Gue juga mau mampir ke cafe dulu, kok.”

“Bener nggak apa-apa, Lan?” Candra tampak tidak tenang. Namun Lana yang masih tersenyum itu hanya mengangguk.

 

“Hati-hati,” ingat Lana. 

Mereka serempak mengangguk, arkian lekas pergi dengan mobil Irena tanpa berbasa-basi lagi. Mobil Mercedes Benz E-Class E400 AMG itu melaju cepat. Hanya menyisakan jejak tanah becek sisa hujan beberapa jam lalu.

Pada akhirnya, Lana hanya bisa mendesah kecil. Berjalan lesuh keluar dari rumah Varen. Seorang diri.

Selain pendiam, kadang Lana ini sangat sensitif. Dia akan menangis karena hal sepele, seperti saat ini misalnya. Saat ditinggal kedua sahabatnya begitu saja—padahal pergi ke rumah Varen bukan keinginannya.

'Sudah jatuh tertimpa panci' mungkin jadi peribahasanya sekarang. Ia sukses ditinggal oleh sahabatnya dengan keadaan benar-benar murni tidak membawa uang.

Lalu sekarang?

Tubuhnya justru jatuh begitu saja akibat salah pijakan dan terantuk batu. Lebih sialnya lagi, kaki Lana terjebak dalam got di sepanjang jalan tadi. Sedikit untung, selokannya tidak berisi air kotor juga lumayan dalam, jadi syukurlah kaki kanannya yang terjebak itu tidak basah atau kotor. Hanya terasa sakit dan perih. 

Di tengah acara mengumpatnya Lana, terdengar suara derap langkah kaki cepat ke arahnya. Ia refleks menengok ke belakang. Dan menemukan Varen yang mendatanginya.

Lana merengut samar, karena dia kira orang yang menghampirinya adalah Candra. Dia hanya tidak suka ditinggal begitu saja, padahal Candra biasanya sangat-sangat peka padanya.

“Lo nggak apa-apa, 'kan?” tanya Varen panik. Wajah Lana memerah, dia sungguh malu Varen menatapnya dalam keadaan kacau seperti ini. “Sesakit itu ya, sampe nangis?"

Untuk menutupi kegengsiannya, Lana menggeleng cepat. “Gue gak nang─” 

Ah ... Lana lupa. Dia sedang menangis sekarang meski bukan sebab peristiwa jatuhnya.

“Lo diem aja, ya,” titah Varen. Kemudian pemuda itu menarik tubuh Lana keluar dari got tadi dengan sangat lembut. Entah bagaimana caranya. “Bisa berdiri?”

Lana mengangguk. 

Varen tersenyum dan gegas memeriksa tubuh Lana lebih lanjut. Lelaki itu dibuatnya mendelik saat tahu-tahu kaki Lana yang luka mengeluarkan darah. Terlihat lumayan parah dari dugaannya. 

“Sakit ya?!”

Lana hanya membisu, memandang Varen takjub. Wanodya tersebut sungguh kagum akan kecekatan Varen kala menolongnya saat ini. Sepertinya benar ungkapan Irena, ia mulai tertarik padanya.

“Lo tunggu di sini, ya,” pinta Varen yang kini berlari ke mobilnya. Meninggalkan gadis itu yang masih berusaha mencerna kenapa ia sendiri membiarkan Varen peduli padanya.

Setelah kembali, tangan Varen telah membawa kotak P3K dengan napas memburu. Tentu saja akibat baru saja berlari secepat kilat. Varen tak akan membiarkan Lana menunggunya lama-lama.

Lalu, tatkala Varen hendak meneteskan obat merah atas luka pada tungkai Lana—gadis manis itu langsung merebutnya begitu saja.

“Gue aja.” Lantas, selang beberapa detik, Lana meneteskan obat cair itu tanpa berlama-lama lagi. Iras gadis itu terlihat datar, seolah merasa biasa saja dengan luka-luka itu.

Keunikan Lana yang ke sekian, ia sangat suka mengobati lukanya seorang diri.

Varen yang masih terduduk di hadapan Lana lekas menempelkan satu plester di atas luka kecil Lana tadi, sebelum Lana mengambil alih. Varen sudah tulus ingin membantu, jadi setidaknya ia harus campur tangan walau sekejap. 

Plesternya lucu, bermotif bunga matahari. Melihat itu, senyum manis mengembang di wajah cantik Lana. Mempercantik wajahnya. “Makasih.” 

Varen mengangguk antusias. Namun itu tak lama sebelum kerutan muncul di glabelanya, “Lo ... gak pulang sama mereka?” tanya Varen dengan hati-hati. Waspada kalau-kalau salah bicara.

“Ehm, ya. Irena ada urusan katanya.” Lana menunduk, bibirnya kembali merengut dan wajahnya suram seketika—meski ia telah coba untuk menyembunyikannya.

“Dih dasar Irena. Egois,” desis Varen yang ikut merasa kesal, tetapi Lana hanya menanggapinya dengan senyuman samar. “Ya udah pulang bareng gue. Tapi ini bukan tawaran.”

Varen menarik Lana tanpa membiarkan gadis itu membalas ucapannya. Lana pun menurut tanpa menolak dengan kasar, karena bagaimana pun ia bahkan tak tahu kini sedang berpijak di mana—jalan apa, pusat atau tepi kota.

Hingga keduanya sampai di depan mobil keluarga Varen, Lana mematung dan menolak untuk masuk secara serta-merta. 

“Kok gak masuk?”

“... Gue gak enak sama keluarga lo,” cicit Lana jujur. Merasa sungkan.

“Gak perlu. Mereka malah yang suruh gue hampirin lo tadi. Eh ... gue malah liat lo jatuh.”

Varen tersenyum manis ketika Lana masih terlihat murung. “Tenang. Orang tua gue tuh gak jahat. Gak gigit," canda Varen yang entah kenapa sontak menghangatkan hati Lana.

 

Salah satu jendela mobil terbuka tiba-tiba, lantas muncullah Ibu Varen yang tersenyum padanya. “Ayo Sayang, keburu sore. Nanti kalau dicari Mama kamu gimana?” Lana hanya tersenyum dan menggeleng sopan. “Kita mau ke restaurant, kok, jadi gak ngerepotin. Sekalian, 'kan? Sejalan.” Ibu Varen terlihat serius ketika mengucapkannya. Malahan mungkin sangat tulus. 

Namun bukannya mengiyakan, Lana tetap terdiam. Masih bimbang. Hingga tanpa kata lagi, Varen membuka pintu di depannya. Mendorong tubuh Lana masuk, setelah itu ia sendiri berlari ke sisi lain dan terduduk tepat di sebelah gadis itu yang akhirnya setuju.

Lana tidak setegang tadi akibat sepanjang acara makan beberapa saat lalu, mereka sudah berbincang-bincang ringan. Basa-basi khas orang tua dan anak muda. Nama dan informasi-informasi kecil mengenai mereka sendiri lah yang mereka bicarakan. Jadi rasa canggung di hati Lana perlahan pergi. 

Mereka masih mengobrol ringan sampai detik ini. Seputar keadaan sekolah Lana dan Varen yang dulunya juga tempat Mama Varen menimba ilmu. Semua percakapan seru itu terpaksa terhenti setelah mobil mewah mereka tiba tepat di muka rumah Lana. 

Lana yang tak berniat berlama-lama gegas turun dari mobil. Tentu saja tak lupa berterima kasih. Arkian, ia berlari kecil menaiki dataran tanjakan. Melekati pintu rumahnya setelah melambai singkat. 

Varen tersenyum. Menatap Lana dari balik jendela mobilnya yang terus melaju menjauh. “Mah, dia cewek yang kemarin Varen omongin. Cantik, ya?”

“Banget, Ren. Dia juga sopan. Mama suka.”

“Apalagi Papa,” timpal Papa Varen yang entah kenapa mengundang tawa kedua anggota keluarga lainnya.

🌻

Irena menarik lengan Candra buru-buru. Pandangannya terarah ke sana-kemari, menciptakan embusan napas lelah dari Candra yang kentara penat. Entah ke mana tujuan Irena, tetapi yang pasti, mereka tengah berada di Mall pusat kota. 

Hanya satu kalimat yang Irena ucapkan tadi—saat masih berdiri di halaman rumah Varen, “Penting Can, lo mesti bantu gue. Plis!”

Candra berdecak kesal ketika mereka berdua malah berdiri di depan toko baju dan sepatu khusus laki-laki dengan price tag yang tidak kaleng-kaleng. 

Apalagi ini?

“Ren ... plis. Lo mau ngapain bawa gue ke sini?!”

“Varen kan baru dateng, gue mesti kasih dia hadiah selamat datang. Dan ... gue tau, kok, lo itu cowok yang fashionable dan bisa diandelin," tukas Irena lalu menarik tangan Candra kembali. 

Kemudian dengan tak disangka-sangka, dengan cepat Candra menepis tangan gadis itu. Membuat Irena memelotot. “Ren, lo tinggalin Lana di tempat itu karena ini?”

Irena terdiam sejenak, tetapi kemudian memanggut.

“Lo kenapa, sih? Demi orang baru itu lo ninggalin sahabat kita sendirian?” Candra menggeleng prihatin. “Gila,” maki laki-laki itu kasar. Bergegas untuk meninggalkan Irena yang terdiam membatu.

Namun, bukan Irena jikalau menyerah dalam percobaan pertama. Gadis itu mencebik kesal seraya berlari membuntuti Candra yang masih memasang wajah dingin nan ketusnya.

“Dia bukan orang baru, Can! Gue udah lama kenal dia. Yaaa, walau gak selama gue kenal Lana, sih.”

Candra makin mempercepat langkahnya.

“Can! Plis gue butuh lo! Gue harus kasih dia sesuatu malam ini juga!” jerit Irena. Masih berlari mengejar Candra dengan jarak lumayan jauh itu. Ia tak mengindahkan tatapan orang-orang di sekitarnya yang menatapnya sinis karena sudah membuat keadaan menjadi ricuh akibat teriakannya yang mengganggu.

Sudah pernah kita bahas, bukan? Irena itu egois.

Tak emas, bungkal diasah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Zona Elegi
534      349     0     
Inspirational
Tertimpa rumor tak sedap soal pekerjaannya, Hans terpaksa berhenti mengabadikan momen-momen pernikahan dan banting setir jadi fotografer di rumah duka. Hans kemudian berjumpa dengan Ellie, gadis yang menurutnya menyebalkan dan super idealis. Janji pada sang nenek mengantar Ellie menekuni pekerjaan sebagai perias jenazah, profesi yang ditakuti banyak orang. Sama-sama bekerja di rumah duka, Hans...
Dream of Being a Villainess
1422      809     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Tasbih Cinta dari Anatolia
86      82     1     
Romance
Di antara doa dan takdir, ada perjalanan hati yang tak terduga… Ayra Safiyyah, seorang akademisi muda dari Indonesia, datang ke Turki bukan hanya untuk penelitian, tetapi juga untuk menemukan jawaban atas kegelisahan hatinya. Di Kayseri, ia bertemu dengan Mustafa Ghaziy, seorang pengrajin tasbih yang menjalani hidup dengan kesederhanaan dan ketulusan. Di balik butiran tasbih yang diukirny...
When You're Here
2391      1075     3     
Romance
Mose cinta Allona. Allona cinta Gamaliel yang kini menjadi kekasih Vanya. Ini kisah tentang Allona yang hanya bisa mengagumi dan berharap Gamaliel menyadari kehadirannya. Hingga suatu saat, Allona diberi kesempatan untuk kenal Gamaliel lebih lama dan saat itu juga Gamaliel memintanya untuk menjadi kekasihnya, walau statusnya baru saja putus dari Vanya. Apa yang membuat Gamaliel tiba-tiba mengin...
KEPINGAN KATA
518      331     0     
Inspirational
Ternyata jenjang SMA tuh nggak seseram apa yang dibayangkan Hanum. Dia pasti bisa melalui masa-masa SMA. Apalagi, katanya, masa-masa SMA adalah masa yang indah. Jadi, Hanum pasti bisa melaluinya. Iya, kan? Siapapun, tolong yakinkan Hanum!
Dikejar Deretan Mantan
545      330     4     
Humor
Dikejar Deretan Mantan (Kalau begini kapan aku bertemu jodoh?) Hidup Ghita awalnya tenang-tenang saja. Kehidupannya mulai terusik kala munculnya satu persatu mantan bak belatung nangka. Prinsip Ghita, mantan itu pantangan. Ide menikah muncul bagai jelangkung sebagai solusi. Hingga kehadiran dua pria potensial yang membuatnya kelimpungan. Axelsen, atau Adnan. Ke mana hati berlabuh, saat ken...
U&O
21072      2108     5     
Romance
U Untuk Ulin Dan O untuk Ovan, Berteman dari kecil tidak membuat Rullinda dapat memahami Tovano dengan sepenuhnya, dia justru ingin melepaskan diri dari pertemanan aneh itu. Namun siapa yang menyangkah jika usahanya melepaskan diri justru membuatnya menyadari sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing.
Asoy Geboy
6137      1703     2     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
Aku Sakit
5635      1528     30     
Romance
Siapa sangka, Bella Natalia, cewek remaja introvert dan tidak memiliki banyak teman di sekolah mendadak populer setelah mengikuti audisi menyanyi di sekolahnya. Bahkah, seorang Dani Christian, cowok terpopuler di Bernadette tertarik pada Bella. Namun, bagaimana dengan Vanessa, sahabat terbaik Bella yang lebih dulu naksir cowok itu? Bella tidak ingin kehilangan sahabat terbaik, tapi dia sendiri...
The Last Blooming Flower
9088      2592     1     
Romance
Di ambang putus asa mencari kakaknya yang 20 tahun hilang, Sora bertemu Darren, seorang doktor psikologi yang memiliki liontin hati milik Ian—kakak Sora yang hilang. Sora pun mulai menerka bahwa Darren ada kunci untuk menemukan Ian. Namun sayangnya Darren memiliki kondisi yang membuatnya tidak bisa merasakan emosi. Sehingga Sora meragukan segala hal tentangnya. Terlebih, lelaki itu seperti beru...