Setelah Candra kembali dengan belanjaan kecilnya, mereka berdua—Lana dan Candra—terduduk di taman seperti biasa untuk menghabiskan waktu istirahat. Salah satu alasan utama menguntungkannya yakni karena taman adalah tempat yang sepi tetapi asri.
Saat ini mereka berdua tertawa lepas karena satu hal. Mungkin oleh percakapan tidak jelas ala mereka yang anehnya selalu bertahan lama. Walau Candra tipikal dingin, ia tak sukar tersenyum ataupun tertawa lepas seperti ini. Apalagi ketika di sanding dara ini. Bawaannya senyum-senyum sendiri.
Kendati makanan keduanya sukses raib, mereka masih saja mendebatkan hal tidak penting tadi,
“Hiihh! Enak mie ayam sama daun bawang, lah! Seger!”
Candra menggeleng, “Gak. Daun bawang pedes.”
“Pedes?” Lana melongo, tetapi cepat-cepat menyengguk.
“Iya-iya terserah. Selera lo emang aneh.”
Candra tertawa samar. Memandangi Lana yang beralih menatap langit. Pikiran gadis itu menerawang sesaat sebelum tersadar bahwa cuaca sangatlah mendung. Mendadak datang gerimis dan berubah menjadi deras dalam sekejap. Panik, keduanya buru-buru berlari ke sebuah gazebo kayu dekat taman sekolah dengan telapak tangan di atas kepala—meski itu tak memberi efek apa pun. Mereka tetap basah dan tertimpa rinai hujan.
Lepas berhasil mengamankan diri dari serangan langit kelabu, mereka berdiri kaku menghadap derasnya hujan yang sesekali menyapa iras mereka dengan kasar. Gadis dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya tersebut menghela napas kasar. Inilah yang membuatnya selalu membenci musim hujan.
“Basah, ya?”
Lana mengangguk, seluruh seragam atasannya sukses basah kuyup. Lana memang tidak dapat berlari dengan baik. Tadi, ia sempat tertinggal di bawah derasnya hujan sampai-sampai Candra harus berbalik untuk gegas menariknya guna meneduh di gazebo tersebut.
“Jas lo mana?” Candra menanyakan jas sekolah mereka yang harusnya membalut atasan putih polos milik Lana, yang untungnya cukup tebal.
“Kelas. Tadi gue gerah,” terangnya pelan.
Tangan Lana sibuk mengelap kacamata bulat ber-frame hitam dengan dasi hitam yang melingkari lehernya. Selain selalu ditimpa air dan menjatuhkan banyak sampah daun, ini juga yang Lana benci. Kacamatanya pasti basah dan susah dikeringkan. Dan meski menggunakan kacamata, Lana bukanlah sosok yang culun atau terlihat konyol ketika mengenakannya. Justru benda itu bisa jadi daya tariknya tersendiri. Objek dengan lensa cekung itu menyempurnakan wajah cantiknya.
Candra berdecak kesal. Bergegas melepas jas hitamnya dan menyampirkannya ke bahu Lana dengan lembut.
“Jangan sakit. Nanti gue juga sakit.”
Mendengar pernyataan itu, Lana tertawa kecil, “Makasih,” balasnya. Masih memeluk raganya sendiri. Cuaca benar-benar gampang berubah. Beberapa menit lalu ia sungguh merasa gerah, tetapi sekarang udara menjelma menjadi sesuatu yang dapat membekukan tubuhnya.
“Masih dingin?”
Lana tersenyum tipis seraya menggeleng, “Enggak kok.”
Dasar Lana, berbohong bukanlah dirinya. Bibirnya sampai-sampai membiru, dampak dari dinginnya angin yang sekonyong-konyong terasa membunuhnya perlahan. Kemudian mendadak saja tanpa kata, Candra menarik gadis itu ke dalam dekapannya.
“Eh, apa sih, Can?!” seru Lana yang jelas terkejut.
Sementara Candra membisu, menautkan dua lengannya di belakang punggung Lana.
“Candra! Lepas, gak?” jerit Lana. Berusaha mengalahkan suara rintik hujan yang jatuh dalam tempo cepat.
“Hukuman karna lo udah bohong.”
“Engh ... tapi gak pelukan juga. Ini sekolah bukan bioskop!” ketus Lana seraya terus berusaha mendorong tubuh Candra menjauh. Namun, Candra masih bergeming di tempat. Seakan sangat nyaman dengan posisi tersebut.
“Siapa bilang di bioskop doang yang boleh pelukan?”
Lana menelan ludah samar dengan mata yang membeliak. “Gue. Barusan,” ujarnya lirih. “Lepasin, Can! Nanti Guru Bledek dateng! Gue gak mau ya, terjerat kasus atau dicap mesum,” seru Lana lagi.
Maksud Lana barusan adalah Guru Bimbingan Konseling yang galaknya tak perlu ditanya. Suara dari mulutnya sekeras guntur dan sepedas cabai Dragon's Breath kalau mengatai murid-muridnya sendiri. Dan dipastikan ketika pemandangan seperti itu terlihat oleh Guru 'ajaib' tersebut, masa depan mereka mungkin akan sangat-sangat suram.
Rinai hujan berhasil membuat Lana dan Candra tak mendengar bel masuk sekolah. Mereka bahkan tampak tak ada niat sedikit pun untuk menerobos hujan, ataupun berteriak 'meminta pertolongan'.
Terjebak hujan, keduanya pun tertidur di gazebo. Tentu tidak dalam posisi berpelukan. Posisi di mana keduanya terduduk dengan saling bersandar kepala di sisi depan gazebo.
Hingga jam pelajaran usai. Mereka masih di sana. Tertidur.
🌻
Lana mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Mengucek netranya malas. Dia super terkejut saat tahu-tahu terbangun di sebuah mobil dengan harum cokelat yang menyengat. Ia jelas kalang kabut dan gelisah—bahkan berniat menjerit.
Namun, gadis unik itu segera bernapas lega saat sadar siapa pemilik mobil yang dia naiki ini. Terbukti dari sebuah foto khas yang selalu tergantung di sisi depan mobil—dua gadis berseragam putih-biru yang tersenyum manis ke arah kamera.
Tentu saja Irena. Siapa lagi?
Sembari menguap lebar, Lana menoleh ke arah kanan. Di mana terdapat Candra yang masih tertidur dengan sangat nyenyak. Entah bagaimana cara Irena memindahkan Lana dan Candra yang tadinya masih berada dalam gazebo.
“Bangun lo?” tanya Irena yang sedikit membuatnya terkejut.
Malas menjawab, Lana hanya menyahut dengan gumaman. Atensinya kini pada jendela di sebelahnya, mengamati bahu jalan. Namun dengan cepat kedua alisnya bertaut, “Ini bukan arah rumah gue!”
“Gue tau. Siapa juga yang mau nganter lo pulang? Huahahaha,” seru Irena dengan tawa yang sok dibesar-besarkan. Matanya sibuk meneliti home page Instagram-nya. Berkelana di dunia maya yang memuakkan—bagi Lana.
“Yang bener, heh! Lo mau bawa kita ke mana?”
“Kita? Lo aja kali—”
“Ren, serius! Udah basi!”
Irena menghela napas, merotasikan bola matanya. “Makan siang. Gue, lo, Candra, anak baru, sama keluarganya. Okey?" terang Irena yang membuat Lana mematung sebentar dengan kedua netra yang mendelik.
“Kenapa? Jangan bilang lo lupa sama anak baru yang gue bilang pas istirahat kedua tadi.”
Lana menghembuskan napas dengan berat, “Harus banget, ya, tanpa nanya dulu gitu?” Lana masih melotot kesal. Pandangannya tetap pada jendela berkaca film tebal yang entah kenapa menarik baginya untuk dilihat.
“Ya maaf. Gak tega bangunin lo. Habisnya lo cute banget kalau tidur!” Irena malah balik menyalahkannya dan tergelak.
“Gak lucu! Gue mau pulang!” rengek Lana cepat.
“Tenang, Lan. Di sana ada mie ayam, kok, hehe. Lagian kenapa juga sih lo kayak gak suka gitu? Anak baru asyik, kok. Dia juga ada niatan mau kenalan sama lo. Karena kemungkinan besar bakal lo tolak, gue culik lo, lah.”
Lana kembali menautkan kedua alisnya, “Ada niatan mau kenalan sama gue? Kenapa?”
“Bodo. Gue gak ngerti. Tanya sendiri aja. Okeh?”
‘Irena sialan. Mau nolak juga gimana? Udah diculik guenya,’ batin Lana dengan wajah yang masih tertekuk dalam.
Tak lama kemudian, mobil berhenti. Ketiganya pun keluar dengan bantuan sopir pribadi Irena yang menjadi tersangka pelaku 'penculikan' Lana juga Candra.
“Di mana ini? Aku di mana?” tanya Candra.
“Kayak orang amnesia aja,” keluh Irena lirih, “Ini rumah temen gue. Anak baru!” terang Irena dengan antusias. Melantarkan Candra mendelik selama beberapa detik.
“Anak baru ...?”
Flasback
Candra memasuki kantin dengan langkah lambat, melewati para siswi yang melempar senyum padanya. Suasana kantin ternyata sungguh ramai, lebih lagi pada satu meja makan di ujung sana. Seperti manusia yang mudah penasaran, Candra menoleh sekejap pada meja itu dengan kedua netra yang memicing.
Seorang laki-laki tampan terduduk di tengah meja itu, tengah tersenyum manis menghadap orang-orang yang mengerubunginya. Banyak siswi-siswi menghujani pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Laki-laki itu tampak sabar menjawab satu-persatu pertanyaan ada dan terlihat tidak terganggu akannya.
Mungkin laki-laki itu menikmati ketenaran sekejapnya, pikir Candra.
Di tengah acara mengintipnya Candra, salah satu murid menengok ke arahnya, “Hei Populer! Kenalin, nih. Anak baru. Kelas Gue. Gans, 'kan?” celetuk Septhian lumayan keras yang masih pada posisinya. Memasang senyuman miringnya.
Septhian ini murid kelas sebelah Candra, Lana, dan Irena yang adalah ketua kelas XI MIPA 03. Walau mereka kerap bersama, tetapi semua tahu kalau sikap Septhian pada Candra hanya topeng belaka. Juara kelas itu menganggap bahwa Candra rival terburuknya.
Candra membisu, menatap anak baru yang dimaksud Septhian dengan intens selama beberapa saat. “Oh,” respons Candra dingin yang kemudian berlalu.
Namun, sebuah suara membuat langkahnya terhenti, “Candra Arkatama, ya? Ketua kelas XI MIPA 02?”
Dengan mulut yang masih terkatup, Candra melonggok ke belakang—arah suara. Rupanya anak baru itu yang menanyakan pertanyaan barusan. Candra menatapnya tajam, tetapi anak baru itu menatapnya penuh senyuman.
Netra Candra menyipit ke arah papan nama anak baru itu, 'Varen Michiafelly' tercetak jelas di papan namanya.
“Varen! Varen Michiavelly. 'V'! Yang bordir typo!” terang Varen, anak baru itu. Sedang Candra masih terdiam, tetapi sudah dalam posisi menghadap Varen sepenuhnya.
“Gue cuma mau nanya sesuatu ... ada waktu?”
Candra menggeleng cepat. Segera memilih makanan ringan pesanan Lana.
“Please, ini penting.” Varen semakin melangkah mendekati Candra. “Ini mendesak!” ucapnya lagi.
“Mendesak langsung bilang aja,” balas Candra yang tidak acuh itu.
“Lo dari kelas XI MIPA 02, 'kan? Kelas lo satu-satunya yang belum gue cek. Apa ada cewek rambut berombak, warnanya coklat kehitaman gitu?" ujar Varen pada akhirnya. Terlampau to-the-point rupanya.
Candra berpikir sesaat. Ciri-ciri rambut itu banyak yang menyamai, “Kurang spesifik.”
“Ehmm ... tingginya sebahu gue! Cantik. Kulit kuning langsat. Engh ....” Candra ikut mengerutkan keningnya tatkala melihat Varen yang tampak sangat serius untuk mengingat-ingat. “Punya mata sama hidung pokoknya,” lanjut Varen dengan senyuman tengilnya.
“Serius gak lo?” sentak Candra dingin.
“Serius, kok. Bener. Ada?”
Candra kembali terdiam. Perempuan dengan ciri seperti itu di kelasnya ada dua. Lana dan Irena. Pikirannya menguat akibat rata-rata siswi di kelasnya hampir semuanya bertinggi badan di bawah rata-rata. Juga bagi Candra, hanya Irena dan Lana lah yang cantik.
“Buat apa tanya-tanya?” tanya Candra sewot.
“Salah ya, menanyakan siapa masa depanku?” jawabnya frontal.
Candra memutar bola matanya malas. Jengah, “Irena. Irena Jasinda,” ujar Candra yang setelahnya berjalan ke meja pembayaran setelah mengambil cukup banyak makanan ringan.
“Bukan! Irena, mah temen gue. Gak ada lagi, kah?” desak Varen, tetapi lawan bicaranya itu menggeleng cepat.
“Gak. Bagi gue gak ada yang cantik selain Irena.” Setelah menyelesaikan ucapannya, Candra langsung beranjak dari kantin. Meninggalkan semua insan di kantin yang saling berbisik-bisik.
Kenapa dia tidak jujur saja?
Candra hanya takut kehilangan Lana.