Sehari berlalu sejak kejadian aneh kala itu. Lalu kini, Lana sedang duduk di sanding sahabat lama juga terdekatnya, Irena Jasinda—yang pernah disebutnya kaum borjuis.
Irena tak kalah unik, (sedikit) sombong, tetapi pastinya cantik. Atau justru lebih cantik dari Lana. Tinggi tubuhnya setara dengan Lana, meski sedikit lebih ramping. Berkepribadian menyenangkan—sesungguhnya tergantung pada siapa yang di hadapannya.
Kendati Irena diketahui sebagai pribadi yang ramah, semua insan tetap harus waspada dengannya. Ia dikenal dapat berubah menjadi iblis dalam sekejap saat sesuatu berbeda dengan kehendaknya. Memiliki banyak ketidaksukaan yang beragam, juga terkenal akan egoisnya yang mendarah daging. Entah apa alasan mengapa Lana bisa bertahan bersamanya, karena sejauh ini mereka bahkan tak pernah bertengkar sama sekali. Rukun-rukun saja. Kalaupun marahan, bisa jadi hanya di bawah lima menit.
Hobi mereka sama—membaca dan mengoleksi novel. Berhubung Irena kaum konglomerat, jadi tak perlu heran kala ia bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Kapan pun itu.
“Lan ... lo denger, 'kan? Kabar anak baru?” ujar Irena tiba-tiba.
Lana yang masih membisu, terduduk di depan kelasnya pada salah satu bangku panjang itu membalikkan halaman novelnya, “Nggak tuh. Emang ada?”
“Sumpah, gak denger? Gila, ya? Padahal semuanya heboh, loh, sama tuh anak!" Irena membuka ponselnya dengan cepat. "Ini nih orangnya—”
Lana cepat-cepat menyingkirkan ponsel Irena dari hadapannya, membuat gadis itu menautkan kedua alis tebalnya.
“Kalau gue lihat, gue enggak akan kaget, dong? Biar gue yang liat langsung,” urainya saat Irena hendak memperlihatkan wajah si Anak Baru.
Irena sebatas mengangguk, menaruh ponselnya kembali. “Pokoknya ganteng, lah. Gue jamin 100%”
Lana mengangguk-angguk meski atensinya masih pada buku tebal di genggamannya.
.
“Lo tau gak, anak baru tuh siapanya gue?” tanya Irena lagi dengan suara yang terdengar antusias. Lana terdiam untuk mengalihkan perhatiannya kembali, tetapi karena menolak untuk berpikir ia menggeleng.
“Gak tahu. Gak ngerti,” ucapnya malas.
“Dia temen gue. Orang tuanya sama orang tua gue tuh kayak sahabatan gitu ... intinya gue dekeet banget sama mereka.”
Lana menaikkan satu alisnya samar, “Oh. Gitu,” timpalnya malas.
“Asyik anaknya, Lan. Pinter basket, tahu! Tinggi, ganteng ... hhh ... tipeku, lah.”
“Cowok basket?” Lana mendengus sesaat, “Nggak tertarik.”
Lana adalah salah satu dari ratusan ribu manusia yang membenci olahraga. Mungkin karena olahraga adalah kegiatan di mana ia akan berkeringat atau dikelilingi orang-orang yang mandi keringat. Yang pastinya tidak menyenangkan juga tidak nyaman. Entahlah, intinya Lana membenci olahraga.
“Lo resek banget kalau diajak ngobrol!” Irena mencebik kesal. Kedua sepatunya ia hentakkan di atas keramik lantai koridor kelas sekasar mungkin, membuat suara menyebalkan.
Lana tersenyum simpul. Menurunkan buku berharganya dan beralih menatap sahabat di sebelahnya yang masih menekuk wajah.
“Yaah ... Irena-nya ngamuk,” lirih Lana sembari menarik beberapa helai rambut sahabatnya dengan lembut. Salah satu cara super ampuh untuk membuat suasana hati Irena membaik kembali. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, Irena memang unik.
“Jahat lo,” rengek Irena berlagak sok marah. Padahal ia telah memaafkan Lana ketika gadis itu mulai memainkan helai-helai rambutnya selembut mungkin.
“Jahat dari mana?”
“Ya, pokoknya jahat!”
“Enggak, ah!”
Irena mendelik tajam, mencebik. “Jadi lo mau membenarkan kalau kacangin sahabat itu perbuatan terpuji?!”
“Ck, Irena apaan, sih?” Lana sedikit menjaga jarak dari sahabatnya.
“Gak, ‘kan?”
“Ya siapa juga yang kacangin? Bukannya udah gue jawab?”
Keduanya meneruskan percekcokan tanpa arti dan seperti abai akan kenyataan bahwa ada yang menatap keduanya dari jauh. Bukan mereka lebih tepatnya, hanya Lana.
Di tengah keributan dari Lana dan Irena, Candra Arkatama—sahabat mereka juga—, duduk begitu saja di tengah keduanya tanpa mengucapkan apa pun. Maksudnya melerai, tetapi Candra malar-malar membuat keduanya kian kesal.
“Can! Tangan gue kenapa kudu di tindihin gini, heh! Sakit!” pekik Irena, mendorong rampus Candra menjauh. Lana yang pendiam masih membisu, walau Candra tahu gadis itu tak kalah kesalnya. Yaaa, namanya juga pendiam. Lana lebih memilih memandang novelnya kembali.
“Lan, temenin gue ngantin, ya?” pinta Candra dengan suara netral.
Candra adalah salah satu teman terdekat Lana. Belum lama saling mengenal, memang. Namun, setiap saat selalu lengket dengannya. Keduanya bak sepaket. Sama halnya dengan Lana, Candra juga bukan dari keluarga berada. Dia dari keluarga sederhana seperti Lana yang selalu apa adanya. Kendati begitu, jangan salah! Candra ini termasuk good boy most wanted di sekolahnya. Gelar itu sangat didukung oleh parasnya yang sungguh tampan.
Sayangnya, karena beberapa alasan sampai kini ia tak memiliki pacar. Salah satu alasan utamanya, lantaran ia yang masih setia menanti Lana.
“Gak, ah. Penuh.”
Candra hendak meraih dan menarik novel yang dipegang erat Lana, tapi gadis itu sudah siap siaga jika Candra akan menariknya seperti saat ini. Maka Lana menarik buku di tangannya menjauh dari Candra dengan gerakan yang cekat.
“Kan! Resek lo emang. Nih novel gue cicil sebulan, astagaa! Sobek, ganti lo!" desis Lana kesal.
Candra paham, Lana sedang dalam suasana hati yang buruk. Maka, ia harus menggunakan cara lain yang halus.
“Temenin.” Candra masih menatapnya. Pokoknya kali ini pemuda tersebut berambisi untuk membuat Lana mau menemaninya lagi setelah sekian lama.
“Enggak,” ketus Lana.
“Besok-besok gak gue jajakin mie ayam ini ...?” Lana langsung mendelik. Gadis itu berdehem sebentar dan segera berdiri, menepuk-nepuk pelan roknya sebagai pengalihan.
“Ehemm ... kuy kantin,” lirihnya yang tahu-tahu berdiri lalu berjalan mendahului Candra.
Wajar saja, wanodya berambut sebahu itu sangat tergila-gila oleh mie ayam. Terlebih, ia adalah oknum yang bulan-bulanan menjadi langganan traktiran Candra. Dua sejoli itu sungguh dekat sehingga tak sedikit yang mengira hubungan mereka ini lebih dari pertemanan. Gadis itu kurang peduli dengan perkiraan banyak orang. Bagi dia, 'Toh, yang asli gue gak.'
Selain dingin, Lana ini orangnya sungguh santai. Anti nething-nething club. Makannya, banyak orang yang nyaman dengannya meski bagi anak-anak Glare High School, Irena lebih sempurna darinya—padahal tidak juga.
Kekurangan Irena? Tentunya ada. Ia tak begitu unggul dalam pendidikan. Juga terkadang mulutnya tidak sadar ketika mengata-ngatai orang dengan ucapan menyakitkan.
“Can? Lan?! Kok gue ditinggal? Kebiasaan kalian berdua, yee?” pekik Irena dengan kedua netra mengerjap tak percaya. Bibirnya mengerucut kembali.
“Udah sih, Ren. Mending sama gue,” celetuk Satya seraya menaik-turunkan kedua alisnya dengan wajah menyebalkan. Sangat halal untuk ditampar. Lelaki bertubuh berisi itu merupakan salah satu fans berat Irena, selalu ada untuknya meski Irena sekala kasar menghadapinya.
“Sama lo?!” Irena mendelik, “mending hari ini lo gak usik gue kalau lo gak mau berakhir di liang lahat hari ini juga!” Setelah menyerukan itu, Irena berlalu ke kelas dengan perasaan dongkol.
🌻
Kini Candra dan Lana berjalan beriringan dengan suasana super hening. Karena begitulah ketika mereka bersama; Candra yang dingin dan kaku bingung harus memulai percakapan dengan bagaimana, kalau Lana ... ya kurang peduli. Ketika diam, gadis itu akan betah berdiam diri sampai empat puluh hari empat puluh malam sekalipun. Sampai di titik ada yang mengajaknya bicara.
Namun, beda kasus lagi kala dirinya bersama Candra. Lana mengerti bingung-setengah-matinya Candra mencari topik, maka ia pasti selalu memulai percakapan.
“Gimana basket?” tanya Lana yang memulai basa-basi khas dirinya. Yang memang sangatlah BASI.
Dengan tangan yang sibuk membelai tengkuknya, Candra menjawab, “Biasa.”
Lana mengangguk kaku lalu menatap depan, di mana kantin berada tak jauh dari mereka. Lantas, setelah mendapati kantin yang amat ramai juga berdesakan, Lana buru-buru melesat dan berdiri di belakang tubuh Candra seperti telah melihat penampakan sebelumnya.
Selain benci lingkungan kotor, Lana membenci keramaian. Dia mengidap fobia lainnya, enoclophobia.
Mengerti apa yang tengah terjadi, Candra hanya menghela napas. Dia tak bisa memaksa Lana masuk ke sana karena yang ada nantinya mereka berdua justru berada di UKS, bukannya kantin. Meskipun penyakitnya tidak separah itu, tetapi menghindari tempat ramai sedikit efektif baginya, bukan? Maka dari itu ia kerap menyendiri dan berkutat pada dunia fantasinya.
“Tunggu di taman, ya, kayak biasa. Lo mau apa? Mie ayam?” ujar Candra yang memang dingin-dingin peka. Super peka, serius.
Lana menggeleng, tersenyum tipis, “Gue jadi gak mood makan mie ayam. Makanan ringan aja, Can. Makasih.”
“Ya udah gue ke kantin dulu, ya?” pamit Candra yang masih melonggok ke belakang, di mana Lana masih berdiri di sana. Lana menyengguk cepat lantas membalikkan badan, meninggalkan area kantin.
Aneh. Kendati telah lima belas menit terlewat selepas bel, kantin masih penuh. Biasanya kantin akan lengang atau sepi sehingga ia bisa leluasa ke sana, membeli beberapa mangkok mie ayam.
Lana memang tak tahu kalau-kalau di dalam kantin ada laki-laki kala itu. Si anak baru yang jadi buah bibir seluruh murid Glare High School. Anak baru sekaligus sosok yang menatapnya aneh saat itu tanpa alasan yang jelas.