"Hah?"

Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih?

"Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian.

Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."Read More >>"> Let's See!! (Melupa Bersama) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let's See!!
MENU
About Us  

"Ara, Oji udah nunggu tuh!"

Teriakan sang mama dari ruang tamu membuat Ara menyudahi aksi dandannya di depan cermin. Ara bukan tipe cewek yang kalau dandan memakan waktu lama, dia bahkan bisa bersiap hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit.

Apalagi kalau jalannya sama Oji, pake baju tidur pun jadi. Gak usah pake dipoles bedak.

Tapi kali ini beda, jerawat merah muncul tiba-tiba di pipi kanannya. Jerawat yang sedang dalam tahap meradang, yang kalau dipegang sakit banget. Bedak yang dipakainya tak bisa menutupi bengkak kemerahan itu, kalau semakin ditambah Ara malah takut jerawatnya makin meradang.

Akhirnya terpaksa ia menempelkan acneplast untuk sedikit menyamarkan bengkak merah itu, sekaligus melindunginya dari debu yang mungkin menempel. Meskipun dia tahu apa yang akan Oji katakan saat melihatnya.

"Pipi lo bolong?"

Tuh kan.

"Iya, kena tembak. Abis tempur di Ukraina." Jawab Ara dengan nada datar.

Oji terkekeh sambil mengkode agar sahabatnya itu mengikutinya keluar.

Cowok itu menyerahkan helm biru muda yang biasa Ara pakai sementara ia mulai memundurkan motornya.

"Mau kemana kita?" Tanya Ara setelah memakai helm.

"Bukit blueberry." Jawab Oji dengan nada khas film kartun Dora.

Ara memutar bola matanya membuat Oji tertawa seketika.

Meskipun masih bingung dengan Oji yang tadi malam mengajaknya pergi dengan tiba-tiba, cewek itu tetap saja mengiyakan.

Hari minggunya yang biasanya tak boleh diganggu kini kembali direcoki Oji. Tapi tak mengapa. Kali ini Ara senang. Karena setidaknya Oji mengajaknya ke suatu tempat, bukan mengganggunya maskeran atau meminta menemaninya memberi makan kelinci. Hewan yang gak Ara suka.

"Siap?" Tanya Oji setelah Ara duduk diboncengannya. Berpegangan pada pundaknya dengan semangat.

"Let's go!!"

***

"Lo kenapa gak bilang sih kalo kita mau kesini?" Tanya Ara disela-sela keseriusannya menapaki pematang sawah dengan perlahan.

Bogor.

Tempat tinggal kakek nenek Oji yang juga merupakan tempat yang dulu sering dikunjungi orang tua mereka memang selalu jadi pelarian disaat mereka penat akan hiruk pikuk kota Jakarta.

Sebuah perkampungan yang masih asri dengan sawah dan sungai yang airnya yang jernih, juga udara yang masih terasa segar mengisi rongga hidung saat kita menghirupnya. Amat kontras dengan tempat mereka menetap saat ini.

Suara kendaraan bermotor tak sebising yang terdengar di jalan depan rumah mereka. Bahkan tak banyak dari warga yang memiliki, setidaknya motor saja. Mereka yang memilikinya pun hanya sebatas menggunakannya ketika akan pergi ke tempat yang agak jauh atau ketika harus mengangkut banyak barang saja.

Selebihnya mereka lebih sering berjalan kaki sambil sesekali bertegur sapa dengan warga lain dengan bahasa daerah yang kental.

Oji berjalan memimpin dengan tangan kanan yang terulur dibelakangnya. Menjadi pegangan untuk Ara agar tidak jatuh ke sawah yang padinya mulai menguning itu.

"Awas pelan-pelan, Ra." Katanya saat mereka harus melompati sebuah batu.

"Tau gini gue pake celana panjang."

Ara menyibakkan dressnya yang ditempeli rumput kering yang menyangkut.

"Apa sih? Ngomel mulu." Oji sudah melepaskan pegangannya ketika sudah berada di area yang sedikit lebih luas daripada pematang sawah yang mereka lalui.

Disanalah berdiri sebuah saung kecil tanpa dinding penghalang yang disekitarnya terdapat beberapa pohon cabe yang buahnya hampir memerah. Hasil tanam kakek selalu berhasil, apapun itu. Beda dengan Oji, menanam kecambah aja belum tentu tumbuh.

Oji melepaskan sepatunya lalu naik dan bersila. Dia bisa melihat hamparan sawah dari setiap sisi saung. Menyaksikan burung-burung terbang disekitar tanaman padi yang sesekali mencuri butiran biji padi lalu setelahnya kembali terbang.

"Terakhir kita kesini kapan ya?"

Ara menerawang, mengingat kapan terakhir mereka ke tempat ini.

"Liburan semester satu pas kelas sepuluh bukan sih?"

"Ah iya, pas gue kena ulat bulu itu." Oji tertawa mengingat kecerobohannya dulu.

"Lama juga ya." Pikir Ara.

Dulu sejak SD mereka sering mengunjungi tempat ini setiap kali ada waktu libur. Iya, mereka dan kedua orangtuanya.

Papanya Oji adalah sahabat baik dari Ayah Ara. Mereka dipertemukan di pondok pesantren tempat mereka belajar dulu dan berlanjut hingga mereka sama-sama mengejar beasiswa di universitas yang sama di Jakarta.

Menjadi yatim piatu sejak kecil membuat Ayah Ara menganggap kakek dan nenek Oji seperti orang tuanya sendiri, apalagi mereka juga hanya memiliki seorang anak. Kehadiran Ayah Ara yang sering menginap membuat rumahnya terasa lebih ramai.

Ara dan Oji bahkan sudah hapal sekali jalanan di desa ini, saking seringnya mereka diajak mengunjungi kakek oleh orang tua mereka.

Dan selama hampir dua tahun ini mereka tak pernah mengunjunginya lagi. Itu karena kakek dan nenek yang lebih sering berkunjung ke Jakarta dengan dijemput Papa Oji. Selain karena pekerjaan yang tidak mungkin ditinggal, juga sekalian memudahkan nenek yang saat ini dalam masa pengobatan osteoporosisnya menjalani terapi dengan lebih mudah.

Oji melirik Ara yang menggaruk betisnya. Pasti cewek itu merasa gatal karena kakinya terkena daun padi saat mereka berjalan tadi. Atau mungkin digigit nyamuk.

"Nih, gue bawa kayu putih. Atau mau gue yang olesin?"

Ara mendelik sambil mengambil mengambil botol hijau itu dari tangan Oji.

"Enak aja. Gue pikir tadi lo mau ajak gue makan di restoran burger yang baru buka itu, yang lagi viral. Soalnya kemaren gue denger Danu mau kesana." Katanya sambil mengolesi kakinya yang gatal dengan minyak tadi.

"Nggak lah, ngapain. Kita tuh butuh tempat yang seger, biar otak sama hati kita ikutan seger."

"Elo. Bukan kita. Gue sih tiap hari seger."

"Apaan? Orang tuh kepala isinya si kapten gak peka doang. Refresh dong."

Ara melempar botol kecil itu ke dada Oji.

"Kayak lo udah di refresh aja. Masih gagal move on aja sok banget lo."

Oji memanyunkan bibirnya.

"Udah ah, ngapain bahas itu sih. Kita tuh kesini healing. Lupain dulu masalah cinta-cintaan lah." Kata Oji sambil membuka jaketnya, memberikannya pada Ara untuk menutupi kakinya agar tak kena gigit nyamuk lagi.

Setelahnya mereka membuka kotak makan pemberian nenek sebelum mereka pergi kesini. Melihat cucunya datang, nenek dengan segera menyiapkan makanan kesukaan sang cucu. Nasi liwet.

Oji selalu lahap makan kalau disajikan nasi liwet di piringnya. Dengan apapun lauknya kalau nasinya liwet, itu cowok akan makan sampai perutnya terasa penuh.

Dan saat melihat isi kotak makan di depannya, matanya sontak melebar. Seolah menemukan harta karun.

Ara yang tak tahan melihat wajah berbinar sahabatnya itu lantas tertawa sebelum akhirnya ikut menikmati nasi liwet buatan nenek bersama Oji.

Hampir dua jam mereka menghabiskan waktu di tempat itu. Mengenang semua masa yang telah lewat dengan canda, tawa, bahkan kadang mereka termenung mengingat kenyataan bahwa semua itu tak bisa lagi terulang.

Waktu ternyata begitu cepat berjalan. Rasanya masih baru kemarin Ara menemani Oji mencari belalang sementara orang tua mereka menunggu di saung sambil bercengkerama.

Oji juga masih ingat betul lucunya Ara yang belepotan lumpur karena terjatuh ke sawah saat mengejarnya. Bocah cewek yang senang sekali dikuncir dua itu tak terima rambutnya disamakan dengan tanduk kerbau yang sedang membajak sawah.

Atau satu sore ketika liburan terakhir mereka setelah kelulusan sekolah menengah pertamanya, sebelum kembali pulang. Disana, dipematang sawah yang padinya mulai tinggi Ara berdiri girang menemani Oji menerbangkan layangan. Ayah Ara mengabadikan momen itu dengan kamera ponselnya. Lalu cewek itu meminjamnya untuk mengambil foto selfie bersama Oji.

Ara berdiri di depan, sementara Oji dibelakangnya sedikit menjulurkan kepalanya di bahu kanan Ara. Tangan kanan Ara menyentuh pipi kanan Oji. Mereka mengatakan 'cis' bersamaan hingga deretan giginya terlihat diantara senyum lebar yang mereka perlihatkan.

Kejadian itu terekam jelas oleh kamera ponsel canggih pada jamannya. Satu waktu yang mencoba dihentikan untuk kemudian menjadi bukti akan sebuah kenangan yang pernah ada, dengan sejuta cerita dibaliknya. Tercetak dalam selembar kertas yang masing-masing menempelnya di dinding kamar tanpa pernah sekalipun dilepas, tertutupi, atau bahkan diganti oleh potret manusia yang lain. Setidaknya belum, sampai saat ini.

"Lo kenapa gak ngasih tau pas masih di rumah sih? Kan gue bisa ganti baju dulu."

Oji yang sudah mengenakan kembali jaketnya menatap Ara.

"Ya ampun, masih lo bahas aja."

"Ya kan gue jadi gatel-gatel gini, Ji."

"Tadi gue gak ngeh, sumpah." Oji mengacungkan dua jari tangan kanannya. "Gue salfok sama jerawat lo, gede banget." Lanjutnya sambil terkekeh.

Ara mendorong Oji kesal.

"Ah lo mah."

"Lo kenapa jadi jerawatan gitu, Ra? Lagi jatuh cinta ya?"

Ara mendelik mendengar mada menggoda dari sahabatnya itu.

"Eh, lupa. Lo kan emang tiap hari jatuh cinta, ya. Diam-diam."

Ara melotot lalu memukuli Oji yang terbahak sambil mencoba menghalangi usaha cewek itu untuk menyentuhnya.

"Rese lo."

Oji mulai menguasai dirinya, tak lagi tertawa sebelum Ara benar-benar marah padanya.

Dia berdeham.

"Ra."

"Hm."

"Kalo nanti suatu saat lo udah nemuin cinta lo, kita masih sahabatan kan?"

Ara membalikkan badan, membuat keduanya saling bertatapan. Ara tersenyum. Bersahabat dengan Oji adalah salah satu hal terindah yang ada dihidupnya. Ini gak berlebihan kok. Ara yakin banyak orang yang iri pada persahabatan mereka. Untuk itu ia akan terus menjaganya, semampunya.

"Lo ngomong apaan sih? Kita akan tetap seperti ini sampai kapanpun." Katanya meyakinkan cowok didepannya.

"Gue mau kita tetap kayak gini apapun yang terjadi nanti, Ra."

Ara mengangguk, "Pasti."

"Lo juga jangan lupain gue kalo misal nanti punya pacar lagi, ya." Tambahnya.

"Emang gue pernah lupain lo kalo punya pacar?"

"Enggak sih. Tapi gak tau kalo nanti balikan lagi sama Karenina, kayaknya lo bakal jadi lebih posesif."

Oji mendengus, dipatahkannya tatapan serius pada Ara tadi dengan menatap sawah di depannya.

"Males ah sebut merk lagi. Udah susah-susah dilupain malah diingetin."

Kali ini Ara tertawa puas. "Satu sama." Katanya tepat di depan wajah Oji yang kesal.

Nostalgia sederhana yang mampu membuat mereka sejenak melupa. Tentang cinta yang sulit dipahami. Tentang hidup yang menyimpan banyak misteri.

 

***

 

#TWM23

To be continue..

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Wait! This's Fifty-Fifty, but...
97      87     0     
Romance
Is he coming? Of course, I'm a good girl and a perfect woman. No, all possibilities have the same opportunity.
Heya! That Stalker Boy
534      318     2     
Short Story
Levinka Maharani seorang balerina penggemar musik metallica yang juga seorang mahasiswi di salah satu universitas di Jakarta menghadapi masalah besar saat seorang stalker gila datang dan mengacaukan hidupnya. Apakah Levinka bisa lepas dari jeratan Stalkernya itu? Dan apakah menjadi penguntit adalah cara yang benar untuk mencintai seseorang? Simak kisahnya di Heya! That Stalker Boy
Manuskrip Tanda Tanya
4338      1443     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
My Noona
5381      1253     2     
Romance
Ini bukan cinta segitiga atau bahkan segi empat. Ini adalah garis linear. Kina memendam perasaan pada Gio, sahabat masa kecilnya. Sayangnya, Gio tergila-gila pada Freya, tetangga apartemennya yang 5 tahun lebih tua. Freya sendiri tak bisa melepaskan dirinya dari Brandon, pengacara mapan yang sudah 7 tahun dia pacariwalaupun Brandon sebenarnya tidak pernah menganggap Freya lebih dari kucing peliha...
Sosok Ayah
879      482     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
ARMY or ENEMY?
11893      3919     142     
Fan Fiction
Menyukai idol sudah biasa bagi kita sebagai fans. Lantas bagaimana jika idol yang menyukai kita sebagai fansnya? Itulah yang saat ini terjadi di posisi Azel, anak tunggal kaya raya berdarah Melayu dan Aceh, memiliki kecantikan dan keberuntungan yang membawa dunia iri kepadanya. Khususnya para ARMY di seluruh dunia yang merupakan fandom terbesar dari grup boyband Korea yaitu BTS. Azel merupakan s...
Lost in Drama
1787      689     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
Titip Salam
3144      1264     15     
Romance
Apa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javitri yang mudah bergaul dengan orang di sekelilingnya, membuat dia sering kerepotan karena mendapat banyak titipan untuk teman kosnya. Masalahnya, m...
Raha & Sia
2878      1128     0     
Romance
"Nama saya Sia Tadirana. Umur 17 tahun, siswi kelas 3 SMA. Hobi makan, minum, dan ngemil. Sia nggak punya pacar. Karena bagi Sia, pacaran itu buang-buang waktu." *** "Perkenalkan, nama saya Rahardi. Usia saya 23 tahun, seorang chef di sebuah restoran ternama. Hobi saya memasak, dan kebetulan saya punya pacar yang doyan makan. Namanya Sia Tadirana." Ketik mereka berd...
Le Papillon
2340      1017     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...