Kamu tahu rasanya jatuh cinta?
Kalau iya, tolong jangan sebut Ara kurang kerjaan karena dia betah berlama-lama mengagumi seseorang yang Oji sebut 'Si Kapten' itu yang sama sekali tak pernah mendapat respon.
Ara tak pernah merasakan debaran yang berlebihan jika di dekat cowok sebelumnya, meski Oji sering memeluknya. Dia juga tak pernah merasakan pipinya memanas meskipun Oji sering memujinya dalam banyak hal. Ini hanya ia rasakan ketika di dekat cowok berpredikat kapten basket di sekolahnya saja.
Ini bermula sejak masa orientasi di kelas sepuluh lalu. Ara yang harus terpisah kelompok dengan Oji, harus memberanikan diri mengikuti segala kegiatan tanpa bantuan dari sahabatnya itu. Dan untungnya ada dia. Dia yang menolongnya dari hukuman para anggota OSIS, dia yang membantunya menyelesaikan tugas, juga dia yang selalu sigap saat teman sekelompoknya membutuhkan bantuan.
Ara tahu dia awalnya hanya kagum saja. Tapi lama kelamaan rasa itu berubah. Bukan hanya kagum saja, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia menyukai lawan jenisnya, kalau boleh dibilang.. cinta.
Setiap hari tak pernah Ara lewatkan untuk sekedar mencari keberadaan cowok itu. Kalau Oji butuh berbulan-bulan untuk mendapatkan cintanya, dia jauh lebih lama. Bukan lagi bilangan bulan, tapi tahun. Karena ternyata sampai di kelas dua belas ini cowok itu tak juga meresponnya.
Entah Ara yang memang tak terlihat atau justru cowok itu yang tak peduli pada siapa pun yang menaruh hati untuknya.
"Si kapten lagi."
"Bintang." Ara meralat. Dia menoleh ke sahabatnya yang entah sejak kapan ada disampingnya.
"Lo tahu bintang kan, Ra?"
Ara mengernyit.
"Bintang. Benda langit. Bukan dia." Tunjuk Oji dengan dagunya ke arah lapangan dibawah sana.
"Bintang itu akan kelihatan indah kalo dilihat dari jauh aja. Kalo dari deket mah ya... batu."
Ara mendelik. "Apa tuh maksudnya?"
Oji menyeringai melihat tatapan kesal Ara.
"Gue kasian sama lo, Ra. Jatuh cinta diam-diam sampe tahunan gitu. Gak direspon lagi."
"Biarin."
Ara tahu kemana arah pembicaraan cowok itu. Bukan sekali dua kali dia mengingatkan Ara untuk move on saja daripada terus-terusan galau karena cowok yang gak peka itu.
Seperti perumpamaan tadi, katanya Bintang itu terlihat sempurna karena Ara sendiri tidak mengenal cowok itu. Dan Ara menepisnya. Jadi maksudnya Bintang itu cuma kelihatannya aja sempurna, aslinya enggak, gitu?
No. Ara yakin Bintang nya tidak seperti itu.
Lagian, Oji tahu apa soal Bintang?
"Bintang itu sempurna buat gue. Idaman banget lah."
Oji memutar bola matanya. Siapa kemarin yang bilang kalau Oji jatuh cinta jadi buta tuli? Ara juga sama, ya.
"Gue lebih keren. Titik." Kata Oji sambil melangkah menuju kelas karena bel masuk sudah berbunyi. Ara mengikuti.
"Dih, pede amat."
"Biarin." Balas Oji.
"Buktinya ditinggalin." Timpal Ara yang membuat cowok itu berhenti lalu menghadap Ara.
Ara balas menatapnya menantang.
"Berani ya lo sama gue?"
"Apa? Hah?!"
"Jangan nebeng gue lagi."
"Bodo. Gue kempesin motor lo."
Keributan di depan pintu itu membuat Panji sebagai ketua kelas akhirnya keluar.
"Woyy! Mau masuk kagak? Berantem mulu."
"Tau tuh, udah berantem gitu bentar lagi juga ayang-ayangan lagi." Kata Danu.
"Masuk sana! Berisik katanya."
"Yaudah sana masuk." Kata Ara.
"Lo duluan. Katanya ladies first." Balas Oji.
"Oh iya." Ara melenggang meninggalkan Oji yang menggeleng dibelakangnya.
Kenapa dia betah berteman sama cewek macam Ara sih?
***
Ara baru keluar dari area sekolah sekitar pukul 3, yang jelas saja sekolah sudah amat sepi. Hanya tersisa beberapa orang saja yang juga tengah bersiap meninggalkan area sekolah setelah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Ini untuk pertama kalinya lagi dia pulang dengan menaiki angkutan umum sendirian. Biasanya dia naik angkutan umum bersama Oji. Itu pun kalau cowok itu gak bawa motor ke sekolah, selebihnya ya di bonceng Oji. Eh, kecuali kalau Oji lagi punya pacar, biasanya Ara nebeng Naya yang juga bawa motor sendiri ke sekolah.
"Tau gini gue gak usah sok-sokan bantuin bu Rahmi beresin perpustakaan." Dumelnya sambil berjalan menuju halte.
Tadi Ara sempat menawarkan diri untuk membantu Bu Rahmi, penjaga perpustakaan, menyusun buku-buku ke rak yang baru saja dibersihkan. Ara melakukannya karena Oji mengabari kalau dia ada rapat OSIS sebentar, jadi daripada nunggu sambil bengong lebih baik sambil membantu Bu Rahmi. Lumayan nanti bisa pinjem novel gratis.
Dan setelah membantu merapikan perpustakaan hingga selesai, Oji tak kunjung datang.
Bukan, Oji bukan ninggalin Ara. Dia gak benar-benar nggak mau ditebengin Ara.
Cowok itu beberapa menit lalu mengirimi Ara chat yang bilang kalau dia harus pergi kerumah Kean untuk menyelesaikan proposal disana. Jadi mau gak mau Ara harus pulang sendiri.
Tau gitu Ara pulang saja dari tadi. Menunggu angkutan umum di jam segini bukan hal yang mudah. Kalau saja ponselnya tak mati, pasti Ara sudah memesan ojek online. Jangankan untuk memesan ojek, untuk membalas chat Oji saja gak sempat. Ara menatap langit yang mulai mendung, berharap awan-awan itu tak segera menumpahkan air ke permukaan bumi.
Rabu kelabu. Yeah, menyebalkan.
Ara menghentakkan kaki sebelum akhirnya dia duduk dibangku panjang disana. Matanya sesekali melihat ke kiri dan kanan, mencari seseorang yang mungkin di kenalnya untuk dimintai tolong.
Nihil. Dari semua anggota ekskul basket yang keluar dari gerbang, tak satu pun Ara kenal. Apalagi mereka pergi ke arah yang berlawanan dengan rumah Ara. Dia semakin merengut saat dilihatnya gerbang yang mulai ditutup, itu artinya memang sudah tak ada lagi orang disana.
"Gimana caranya gue pulang.." rengeknya.
Dia membenamkan wajah di kedua telapak tangannya. Sejenak sebelum suara gerbang dibuka menyapa telinganya. Ara menegakan badannya.
Disana, seseorang tengah mendekat kearah halte tempatnya duduk sambil mendorong motor besarnya. Seseorang yang masih mengenakan seragam basket yang dilapisi jaket hitam dan tas ransel dipunggungnya. Seseorang yang tak pernah luput dari perhatian Ara selama ini.
Bintang.
Ara kemudian berdiri setibanya cowok itu tepat didepannya. Matanya membulat saat cowok itu tersenyum ke arahnya. Benar-benar ke arahnya.
Sejenak Ara melirik sisi kiri dan kanannya, tidak ada siapa-siapa kan? Hanya ada Ara kan? Itu berarti Bintang memang senyum ke Ara kan? Bukan apa-apa, Ara cuma takut ge-er aja.
"Emm.. gue ikut neduh juga ya, mulai hujan nih."
"Eh. Iya. Boleh." Ara merutuki mulutnya yang terbata hanya untuk mengucapkan dua kata itu saja.
Ini kali pertama Ara sedekat ini dengan Bintang. Ya, meskipun dekat dalam artian jaraknya saja. Kalau soal kenal sih rasanya masih jauh banget. Eh, emang Bintang kenal ya sama Ara?
"Kenapa baru pulang, Ra?"
"Hah?"
"Eh, nama lo Ara kan ya? Takutnya gue salah." Bintang menggaruk pelipisnya.
Ara tersenyum. "Iya, gue Ara."
Kalau ada Oji, sudah bisa dipastikan cowok itu akan terbahak melihat ekspresi wajah dari sahabatnya itu.
"Gue takut salah orang mau nyapa dari tadi. Jadi kenapa baru pulang?"
"Tadi bantuin Bu Rahmi dulu. Lo abis basket?"
Pertanyaan bodoh, Ra. Sudah jelas-jelas Bintang masih memakai seragam basket.
"Iya, udah mepet mau tanding nih, jadi agak sering latihannya." Ara mengangguk.
"Lo nunggu jemputan?"
"Enggak. Nunggu angkot, kalo ada."
Bintang mengambil helm yang dia simpan diatas motor saat hujan turun semakin deras.
"Jam segini gak bakal ada angkot lewat. Ojek online aja." Katanya.
"Hp gue abis batre. Lagian hujan juga, ntar aja nunggu Oji, siapa tahu dia kesini."
"Lo sama Oji pacaran?"
"Enggak."
Ara menutup mulutnya. Lagi-lagi merutuk, kenapa dia harus menjawab secepat itu coba?
Untungnya Bintang tak merasa aneh, dia justru tersenyum. Senyum yang lagi-lagi membuat Ara semakin menyukai cowok itu.
"Kalian deket banget ya, dari dulu gue liat kalian kemana-mana berdua terus. Gue kira kalian pacaran." Bintang terkekeh.
"Gue sama dia udah bersahabat dari kecil, dari bayi malah." Ara tertawa mengingat hal itu.
"Keren dong, Ra. Susah lho punya hubungan persahabatan yang awet gitu. Gue jadi iri."
Ara memberanikan diri menatap Bintang. "Apaan sih?"
Keduanya tertawa pelan.
Beberapa saat keduanya hanya diam menyaksikan tetesan air hujan yang semakin deras.
"Lo masih takut petir, Ra?" Tanya Bintang tiba-tiba.
Ara menatap Bintang tak percaya. Cowok itu masih mengingatnya?
Dulu waktu MOS, Bintang jadi ketua kelompok Ara. Saat kegiatan camping yang menjadi penghujung kegiatan itu dilaksanakan, hujan turun sangat deras disertai petir. Untungnya acara berlangsung di lapangan belakang sekolah, jadi mereka bisa berteduh diruang kelas yang lebih aman.
Menyadari Oji yang tak ada disampingnya, Ara menutup kedua telinganya sambil merapat ke dinding bersama yang lain. Bintang yang menyadari rona pucat di wajah Ara lantas mendekat lalu merengkuhnya.
"Gak apa-apa. Jangan takut." Katanya sambil mengusap pelan bahu Ara.
Pikiran Ara yang kembali terlempar ke masa awal pertemuannya dengan Bintang menciptakan hening untuk beberapa saat. Ia masih sedikit tak menyangka kalau Bintang masih mengingatnya. Setahunya, Bintang itu cowok yang cuek, ia bahkan sering kali tak peduli pada siapapun yang mencoba mencuri perhatiannya.
"Ra?"
"Eh." Ara menoleh cepat. Bintang menatapnya dengan alis terangkat.
"Lo gak apa-apa?"
Ara menggeleng sambil tersenyum tipis. "Enggak."
Ara memalingkan wajahnya ke arah lain. Kemana saja asal jangan ke cowok yang lama ditaksirnya itu. Mengingat kejadian itu ternyata mampu membuat semburat merah di wajah Ara muncul. Dan dia tak ingin Bintang melihatnya. Alasan kegerahan ditengah hujan deras akan jadi alasan terbodoh kalau sampai cowok itu bertanya.
Hujan yang tidak diharapkan Ara nyatanya membawa kesempatan bagus bagi Ara. Untuk pertama kalinya sejak MOS berakhir, akhirnya dia bisa berada sedekat ini dengan Bintang. Bahkan mengobrol, yang Ara yakini sebagai basa-basi saja ditengah keduanya yang terjebak hujan. Tapi sungguh tak apa-apa.
Pun bagi Bintang, ia tersenyum tipis saat menyadari sesuatu. Ada satu kesempatan bagus untuknya. Ya, hanya untuknya.
***
#TWM23
To be continue..