Ara paling gak suka kalau minggu paginya diganggu oleh siapapun. Maskeran, luluran, bahkan mencuci sepatu sekolah sudah menjadi jadwal wajibnya setiap minggu pagi. Selesai mencuci sepatu tadi rencananya Ara mau mencoba masker wajah yang baru ia beli sebelum akhirnya datang seorang Oji mengacaukan jadwalnya.
Oji itu sahabat Ara satu-satunya dari kecil. Serius, mereka sudah berteman sejak di taman kanak-kanak atau mungkin bahkan dari sebelumnya. Kedua orang tua mereka yang juga berteman membuat keduanya jadi sering bertemu dan bersama hingga sekarang.
Ara mendelik melihat cowok itu nyengir di depan pintu kamarnya.
"Hai."
Sambil mengaduk masker berwarna hijau Ara melangkah keluar. Meski sudah bersahabat lama, tapi dia tak pernah mengijinkan cowok itu masuk kamarnya.
Oji mengekor Ara hingga duduk di sofa depan televisi yang menyala.
"Kenapa?" Tanya Ara malas.
"Dih, emang gue gak boleh ya kesini?"
Ara menghela nafas.
"Bukan gitu. Lo kan tau jadwal gue padet kalo pagi."
Oji mencebik sambil menoyor pelan cewek yang masih mengaduk maskernya itu. "Alah, maskeran aja dibilang sibuk."
Tapi kemudian cowok itu meminta maaf dengan isyarat dua jarinya saat Ara melotot kearahnya.
Ara mulai mengoleskan masker dengan kuas ke wajahnya dengan Oji yang memerhatikan disebelahnya.
"Adem ya?"
Ara mengangguk.
"Mau nyoba dong."
Ara memutar badannya menghadap Oji yang kini menyandar di sofa. Ia mengaduk kembali maskernya sebelum kemudian dioleskan ke wajah cowok itu.
"Kalo sering maskeran gini wajah gue bisa jadi ganteng gak, Ra?"
"Enggak."
Oji yang sudah melotot kembali memejamkan mata saat melihat wajah datar Ara dibalik masker hijau.
"Lo kan udah ganteng."
"Eh iya."
"Kata nyokap lo."
Kini giliran Oji yang mendelik.
"Dah selesai."
Keduanya lantas menyandar di sofa berdampingan sambil menonton kartun.
Sebetulnya Ara penasaran kenapa Oji datang sepagi ini kerumahnya. Biasanya cowok itu memilih main basket dengan anak komplek hingga matahari mulai terik. Tapi mungkin Ara akan menanyakannya nanti setelah maskernya kering.
"Ra."
"Hmm." Sahut Ara tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji.
"Hah?"
Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Saking kagetnya masker diwajahnya sampai terasa retak. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih?
"Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian.
Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
"Ini lo lagi nembak gue apa gimana? Lo kenapa sih, Ji?" Tanya Ara tertahan, menjaga agar maskernya tidak retak.
Oji membuka matanya lalu duduk tegak menghadap Ara.
"Ini tuh seandainya, Ra. Sepuluh tahun kedepan kan masih lama. Siapa tahu kita udah nemuin jodoh dalam waktu segitu lamanya. Tapi kalo belum, ya.. kita nikah aja."
Lucu. Ara tertawa. Cowok yang biasanya percaya diri dalam urusan cinta ini entah kenapa tiba-tiba terdengar pesimis begini.
"Lo kan punya pacar."
Oji itu orangnya ramah, gampang akrab dan jago membuat suasana jadi seru. Bahkan orang yang baru dikenalnya saja akan dengan mudah mengobrol dengannya. Didukung dengan postur tubuh tinggi yang meskipun tidak atletis, tapi penampilannya selalu terlihat rapi. Cowok itu terlihat ideal untuk disebut most wanted boy.
Tidak heran jika Oji banyak digemari cewek di sekolahnya. Bahkan beberapa pernah jadi pacar Oji yang sialnya harus putus karena orang ketiga. Ya, entah kenapa dari semua kisah cintanya Oji selalu berakhir karena orang ketiga.
Saat ini juga Oji punya pacar, namanya Karenina. Cewek yang Oji suka sejak kelas sebelas itu ternyata membalas cintanya. Ya, meskipun Oji harus menunggu selama satu semester dulu agar cewek itu membalas cintanya.
Ara ingat. Bukannya semalam Oji pergi dengan Karenina?
"Ji, semalem jadi jalan sama Nina?"
Oji mengangguk.
"Terus?"
"Dia putusin gue." Dari nadanya saja terdengar kalau Oji memang sangat patah hati.
"Kok bisa?"
Oji menghela nafas. Bercerita pada gadis ini adalah hal yang tepat. Oji tahu itu. Karena setiap ada masalah, gadis itu selau jadi tujuannya.
"Gue emang ditakdirkan buat jadi korban kali ya, Ra?"
Dalam diam Ara memandangi cowok didepannya. Cowok yang selalu jadi warna terang dihidupnya itu selalu saja jadi kelabu dalam kisah merah mudanya.
Tangan kanan Ara tergerak mengusap bahu Oji. Bahu kecil yang dulu sering menggendongnya dengan kesusahan itu kini terasa lebih kokoh.
"Gue yakin akan ada saatnya lo bahagia. Dengan siapapun itu, gue selalu berdoa agar sahabat gue yang paling gue sayang ini bahagia."
Dua senyum itu beradu. Saling menguatkan, saling memahami satu sama lain.
Ini yang Oji butuhkan.
"Jadi gue harus berburu lagi nih setelah ini?"
Kembali jadi Oji yang seutuhnya.
"Berburu mulu. Gak ada yang mau buru gue gitu?" Dumel Ara sambil melepaskan maskernya yang mengelupas.
"Lagian kok tahan banget sih jadi pemujanya si kapten."
Ara menonjok lengan Oji. "Gue kan setia."
Oji tertawa. "Ra, gue aja yang setia ditikung mulu."
Benar juga. Kadang Oji dan Ara memang merasa pantas ditakdirkan bersahabat. Sama-sama sering jadi korban bully waktu kecil, punya hobby aneh yang sama, bahkan punya kesamaan kisah cinta yang selalu gagal jadi membuat mereka semakin dekat saja.
"Iya deh gue setuju." Kata Ara pada akhirnya.
"Apaan?"
"Sepuluh tahun kedepan kalau kita masih sama-sama jomblo lo lamar gue."
Oji dan Ara saling pandang. Senyum di bibir mereka semakin melebar hingga berubah jadi tawa. Menertawakan kisah masing-masing juga pernyataan gila mereka yang entah akan terjadi atau tidak.
Oji hanya berharap kisah cintanya tak lagi gagal. Dan Ara yang berharap kalau cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
Sepuluh tahun kedepan.. let's see!!