Terik, sinar mataharinya sampai memenuhi seisi bumi. Namun, di saat yang sama pula anginnya berembus dan menerbangkan rambut Kanaya yang terurai. Setelah sibuk mencari-cari, akhirnya dia menemukannya. Vincent sedang duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu. Sengaja dia duduk di samping restoran, karena itu satu-satunya tempat istirahat yang aman dari teriknya matahari. Dia membuka kacamatanya, membiarkan rambut hitamnya yang basah karena keringat sembari mengisap satu batang rokok yang ia selipkan di jari tangannya.
Vincent menghela napas, wajahnya terlihat tidak senang. Bukan tanpa alasan, melainkan karena Kanaya yang duduk di sebelahnya.
“Aku sedang merokok. Asapnya akan mengenaimu,” ujarnya datar.
“Kau mengkhawatirkan aku? Itu manis sekali, tapi aku tidak apa-apa. Kau bisa merokok dengan nyaman.”
Jawaban gadis itu membuatnya kesal, tapi dia tak berniat untuk pergi. Walau begitu, Vincent tetap mematikan rokoknya. “Ada apa?” tanyanya.
Kanaya menebar senyum. “Aku ingin mengucapkan terima kasih.”
“Terima kasih untuk apa?”
“Untuk yang tadi malam. Berkatmu aku jadi sampai di rumah lebih cepat dan juga tidak kelaparan. Ah, lalu terima kasih juga untuk uang yang kau berikan waktu itu,” ujar Kanaya sambil tersenyum senang.
“Uang?”
“Iya, uang kembalian yang tak kau ambil waktu itu.”
Vincent tampak baru mengerti. Dia mengangguk samar. Walau setelahnya dia kembali tak bersuara.
“Jadi, bagaimana aku membalasnya?”
Vincent bersandar di tembok, dia melipat kedua lengannya di depan dada sambil menutup mata. “Tidak usah di balas.”
“Tidak bisa begitu, aku tak ingin menambah utangku. Bagaimana kalau besok kutraktir makan siang?”
“Tidak perlu. Lagi pula aku mendapatkan makan siang di sini.”
“Kalau makan malam?”
“Tidak.”
“Sarapan?”
“Tidak! Kita bukan teman dan kita juga tidak dekat. Jadi, tidak ada alasan bagimu untuk melakukan hal-hal seperti itu.”
Kanaya mengerutkan kening. Jawaban Vincent memanglah yang terburuk. “Bukankah sudah kubilang kalau aku ingin berterima kasih.”
“Bukankah sudah kubilang juga bahwa itu tidak perlu.”
Kanaya mendengus. “Kenapa kau begitu? Jika menurutmu kita bukan teman, sekarang mari berteman! Apa kau sama sekali tidak tahu, betapa buruknya kita saat menolak niat baik seseorang.”
Vincent mendesah kasar, “kenapa kau berisik sekali? Lebih baik kau kembali dan tinggalkan aku sendiri.”
Kanaya tidak menjawabnya. Pemuda di sebelahnya ini sedang membangun tembok tinggi nan keras. Alih-alih sedih, Kanaya malah mengulum senyum. Mengingat bahwa ini tak akan mudah. Dia memandangi Vincent, pemuda itu masih pada posisinya. Bulu matanya yang lentik saat ia memejamkan mata itu terlihat jelas. Mungkin karena ini masih siang, maka garis-garis halus di wajahnya pun terlihat. Lagi-lagi Kanaya mengakuinya, Vincent memang tampan. Celakanya, dia malah berdebar. Kanaya sempat menahannya, tapi akhirnya dia tertawa juga. Tawa kecil yang ternyata membuat Vincent tersentak. “Haha, ya ampun. Baru kali ini aku berdebar bukan karena jatuh tempoku,” ujar Kanaya dengan suara kecil.
Vincent membuka matanya perlahan, dengan tatapan bingung ia memandang Kanaya. “Apa yang kau tertawakan?”
“Ah, tidak ada. Oh, bisa aku meminjam ponselmu sebentar?”
Vincent menautkan alisnya. “Untuk apa?”
“Menghubungi temanku, aku takut dia pulang lebih dulu karena aku menghilang begitu saja.”
“Kenapa tidak memakai ponselmu sendiri?”
“Ponselku mati. Ayolah, aku hanya ingin menghubungi temanku, aku tidak akan mencurinya!”
Walau sebenarnya enggan, pada akhirnya Vincent tetap meminjamkan ponselnya. Setidaknya dia sedikit lega karena Kanaya berhenti mengajaknya makan siang atau semacamnya. Wajah Kanaya tampak berseri saat itu. Kedua pipinya memerah. Sejujurnya Vincent pun menganggapnya gadis yang cantik, lalu ini adalah pertama kalinya Vincent membiarkan seorang gadis mengajaknya berbicara terlalu sering, bahkan sampai meminjamkan ponsel.
Kanaya menempelkan ponsel Vincent di dekat telinganya. Netra dua warna itu tak lepas dari Kanaya. Mungkin saja setelah menghubungi temannya dia akan pergi, pikir Vincent. Lalu, tak lama ada sesuatu yang bergetar di balik saku jins Kanaya. Itu adalah ponselnya.
“Temanku tak mengangkat teleponnya,” ujar Kanaya mengembalikan ponsel pada Vincent.
“Kau bilang ponselmu mati.”
Kanaya tertawa masam, “ternyata masih hidup, tapi baterainya benar-benar hampir habis.”
Vincent tak mengerti apa yang di pikirkan oleh gadis ini. Ya, apa pun itu, jelas itu bukan urusannya. Awalnya, dia ingin kembali ke posisinya tadi, memejamkan mata sejenak sambil bersandar. Namun, saat Kanaya beranjak, entah mengapa dia jadi sedikit panik. Gadis ini akan pergi. Itulah yang terbesit di pikirannya. Jika saja dia tak bisa mengontrol diri, mungkin pertanyaan ‘kau mau ke mana?’ akan terucap dari mulutnya.
“Aku akan kembali ke dalam. Temanku mungkin belum pulang,” tukas gadis itu.
Vincent hanya meliriknya sekilas. “Ya,” jawabnya singkat.
“Sampai bertemu lagi, aku akan menghubungimu.” Kanaya melambaikan tangan sembari berlalu.
Vincent hanya diam, yang dia lakukan hanya memandangi Kanaya. Rasanya sedikit sedih, tapi bahkan Vincent sendiri malu mengakui itu. Dia mengambil satu batang rokok lagi dan menyalakannya. Sembari mengisap dan mengembuskan asap rokoknya, dia mulai berpikir. Ada rasa menyesal yang tak kunjung hilang. Rasanya aneh dan membuat tak nyaman.
“Kenapa aku tidak terima saja ajakannya tadi? Lalu, kenapa juga aku jadi menyesal seperti ini?” gumamnya.
Matahari ternyata masih terik. Tentu saja cahayanya tak akan mengenai Vincent di sana. Namun, dia dapat melihat jalanan menjadi sangat terang karena sinarnya. Vincent kembali berpikir, gadis itu masih di dalam restoran. Haruskah dia masuk dan bilang bahwa dia menerima ajakannya? Dia tentu akan melakukan hal itu kalau besok adalah hari kematiannya.
Vincent menutup setengah wajahnya dengan telapak tangan. Pikirannya itu telah membuatnya merasa malu. Bisa-bisanya dia kacau hanya karena seorang gadis yang bahkan baru dia kenal belum lama ini. Namun, ada satu yang benar-benar mengganggunya saat ini. “Apa maksudnya dia akan menghubungiku?”
***
Awalnya Vincent hanya akan menghabiskan satu batang rokok, tapi pikirannya yang berantakkan malah membuatnya menghabiskan empat batang rokok. Dia melangkah pelan, masuk kembali ke restoran. Gadis itu sudah pulang, batinnya.
Vincent mengembuskan napas kasar. Ini seperti bukan dirinya. Tidak perlu memikirkan hal-hal aneh, yang harus dia lakukan hanya menyelesaikan pekerjaannya dan pulang pukul lima sore. Bekerja di sif pagi membuat otaknya sedikit lelah.
Restorannya sudah tak terlalu ramai seperti tadi. Para pegawai juga terlihat lebih santai, itu terlihat saat mereka bisa memegang ponsel mereka masing-masing.
Hari ini pun sama melelahkan seperti biasanya. Vincent memarkirkan sepeda motornya di halaman rumah. Rumah minimalis yang tampak mewah di segala sisi itu dimasuki Vincent tanpa suara. Untuk beberapa saat, laki-laki yang sudah melepaskan alas kaki itu pun bersandar di sofa tinggi berwarna cokelat muda. Dari balik jendela dia bisa melihat, langit mulai gelap. Vincent menghela napas, menatapi ruangan yang begitu sepi itu. Setiap hari selalu begitu. Kemudian, dua mata yang berbeda warna itu pun menjadi sayu, terlihat begitu lelah. Mungkin mandi akan membuat kepala lebih segar, pikirnya. Vincent tak pernah membiarkan dirinya merenung terlalu lama, karena itu akan membuat dirinya terlihat menyedihkan. Vincent beranjak, seraya melonggarkan tubuhnya yang terasa sedikit kaku. Netranya melirik ponsel yang bergetar di atas meja kaca itu, kemudian alisnya mengernyit. Hampir tidak ada yang menghubunginya selama ini karena dia tak pernah memberikan kontaknya pada siapa pun.
Sebuah pesan.
Vin, kau sedang apa? Kau sudah pulang bekerja ‘kan?
Hei, aku benar-benar ingin mengucapkan terima kasih. Biarkan aku menraktirmu makan, ya.
Jangan menolak!
Aku akan ke tempatmu bekerja besok, pukul lima sore.
Aku menunggu di tempat yang tadi. Sampai ketemu besok!
Untuk beberapa saat, Vincent menatapi layar ponselnya. Kemudian, dia mendesah pelan. “Dia mencuri nomorku dengan cara yang licik,” gumamnya.