Aromanya manis dan menyegarkan. Kanaya bisa menghirupnya dari belakang sini. Vin mengendarai motornya pelan, tetes demi tetes air hujan yang kecil masih menerpa wajah Kanaya, membuatnya basah dan beku.
Rasanya betul-betul nyaman. Hingga Kanaya tak menyadari kalau mereka sudah berada di depan gerbang rumah kosnya.
“Terima kasih sudah mengantarku.”
Vin hanya mengangguk pelan, tapi wajahnya tetap saja datar. Dia sengaja menunggu, karena Kanaya bahkan belum juga bergeming dari hadapannya. “Ada apa? Kenapa kau tak masuk?”
Kanaya memanyunkan bibir. Wajahnya terlihat sedih, membuat Vin kebingungan. “Nasi gorengku ... aku meninggalkannya di halte tadi,” ujar Kanaya dengan tampang yang lesu.
“Nasi goreng?”
Kanaya menganggukkan kepala, dia masih memanyunkan bibirnya. “Iya, itu makan malamku.”
Vin menatapnya, gadis itu terlihat sangat sedih hanya karena makanannya ketinggalan. Vin melihat arlojinya, pukul 22.20, dan hujan masih turun walau rintiknya mengecil. Dia menghela napas. “Masuklah! Aku akan membelikanmu makanan.”
***
Mata Kanaya terpaku menatap jam dinding. Jarum detiknya terus bergerak, jarum panjangnya sudah berada di angka sebelas dan jarum menitnya sudah hampir menuju angka dua. Kanaya masih duduk di sofa, bahkan dengan rambut yang masih lembap di puncak kepalanya. Dia mendesah pelan, mungkin Vin hanya bercanda padanya. Tidak ada alasan bagi Kanaya untuk menunggu pemuda asing hanya karena dia berkata ingin membelikan makanan. Bagaimana pun, hubungan mereka hanya sebatas pertemuan tak di sengaja beberapa kali.
Kanaya terkekeh sejenak, berpikir betapa konyolnya saat dia malah duduk di sofa dan menunggu Vin. Bukankah harusnya dia berbenah dan bersiap untuk tidur. Apalagi setelah tadi dia habis terkena hujan. Sesuatu hal yang tak ia mengerti itu telah membuatnya berharap. Tidak, dia tidak berharap akan makanannya, dia mengharapkan sesuatu yang lain. Sekarang sudah pukul 23.15. Dia mengerti, tidak akan ada yang terjadi malam ini.
Kanaya beranjak, ia harus mengganti pakaian dan membersihkan dirinya. Bahkan, baju yang tadinya terkena hujan kini sudah mengering di tubuhnya. Bisa-bisa dia demam lagi jika di biarkan terlalu lama.
Kanaya mulai letih, dia melenggang pergi, mengusap-usap rambutnya dan menuju kamar mandi. Namun, di saat itu pula ia mendengar pintu rumahnya di ketuk berulang kali. Dia tak ingin mengira-ngira, tapi tak bisa dipungkiri bahwa jantungnya berdebar lagi. Dia pun berlari kecil, seakan ingin cepat-cepat membuka pintu.
Wajah Vin masih sama, rambut hitamnya tampak basah, begitu pula dengan seluruh permukaan wajahnya. Dia berdiri di depan pintu rumah Kanaya, jaket jins dan sepatunya ikut basah. Dia pasti kedinginan, tangannya sedikit bergetar saat memberikan kantong plastik pada Kanaya.
“Kedainya ramai, aku harus menunggu cukup lama. Lalu, aku tak tahu selera makanmu, jadi aku memesan yang pedas. Aku juga membelikan es jeruk untuk berjaga-jaga jika kau kepedasan.”
“Kau betul-betul membelikan aku makanan,” ucap Kanaya terkejut, walau begitu dia tetap menerima kantong plastik yang berisi makanan itu.
Vin mengerutkan kening. “Apa kau pikir aku laki-laki yang suka berbohong?”
“Bukan seperti itu, kupikir kau hanya bercanda tadi.”
Vin diam sejenak, ditatapnya gadis itu dari atas hingga ke bawah. “Kau belum mengganti bajumu?”
“Ah, belum,” jawab Kanaya terkesiap.
“Apa kau tidak kedinginan?”
“Ah, itu ... aku kedinginan, aku akan segera mengganti bajuku.”
“Ya, terserah kau. Aku akan pulang.” Vin segera berbalik, tapi Kanaya mencegahnya.
“Itu ... terima kasih atas makanannya, Vin.”
Vin tak menjawab, dia hanya memberikan sebuah anggukan kecil. Saat dia berbalik dan ingin melangkahkan kaki, kembali Kanaya mencegahnya. Kali ini dia menoleh dengan wajah yang tertekuk. “Ada apa lagi?”
“Sepertinya kita belum berkenalan dengan benar. Jadi, perkenalkan ...,” Kanaya mengulurkan tangan kanannya. “Aku Kanaya,” lanjutnya sambil tersenyum simpul.
Awalnya Vin hanya akan mengabaikannya. Namun, saat melihat mata Kanaya yang berbinar itu, seakan memohon agar Vin membalas jabatan tangannya, akhirnya dia melakukannya. Dia membalas uluran tangan Kanaya dan berkata, “Vin ... Vincent.”
“Oh, itu nama yang bagus.”
Vin segera melepas tangannya dan berkacak pinggang. “Sudahlah, apa aku boleh pulang sekarang?”
Wajahnya yang tampak kesal itu anehnya malah membuat Kanaya tertawa. “Iya, kau boleh pulang. Terima kasih banyak dan berhati-hatilah!”
Saat itu yang di rasakan Kanaya hanyalah perasaan menyenangkan. Dia tidak memberikan hal yang istimewa, hanya sebuah hal kecil. Namun, itu cukup untuk membuat Kanaya dipusingkan karenanya.
Saat satu suapan nasi goreng itu masuk ke dalam mulutnya, dia berdebar, begitu pula dengan suapan-suapan berikutnya. “Oh, ini benar-benar pedas.” Kanaya mengibaskan tangannya di depan wajah karena rasa pedas itu. Kemudian dia meneguk es jeruknya. Dia mendesah pelan, lalu tertawa kecil. “Astaga, dia benar-benar membuatku jatuh cinta.”
***
Vincent membuka jaket jinsnya yang basah, lalu meletakkannya di dalam mesin cuci. Kaus hitam yang ia kenakan terasa lembap, tapi ia tak melepaskannya. Dia duduk sambil menyalakan sebatang rokok di sofa ruang tamu.
Sambil mengembuskan asap, dia pun beringsut untuk berbaring, menatap langit-langit dengan pikiran yang menerawang. Kata-kata gadis itu, dia terus memikirkannya. Tidak ada yang istimewa dari perkataannya, hanya sebuah kalimat kecil yang cukup membuat kepalanya pusing hingga kini. Pertanyaan itu, dia sudah mendapatkan jawabannya. Mengapa sesuatu yang berbeda itu terlihat menarik?
Vincent memejamkan mata, suaranya terus bergema, wajahnya yang di penuhi rintik hujan dengan rambut cokelat sedikit basah, lalu dia berkata sambil tersenyum kecil.
“Sesuatu yang berbeda itu terlihat menarik. Itu karena kau memiliki apa yang tidak orang lain miliki. Kau menonjol, di antara mereka yang biasa saja. Jadi, kenapa kau berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang aneh?”
“Ya, dia benar. Kenapa mereka menganggap ini aneh? Kenapa aku menganggap mata ini aneh?”
Vincent tertawa kecil sambil menutupi wajahnya. Dia gadis yang aneh.
"Ah, siapa tadi namanya? Kanaya? Itukah namanya?"
Dia memiliki satu hal yang membuatnya berbeda dengan orang lain, yaitu ketulusan. Kata-katanya bukan pujian, bukan pula buatan. Gadis itu mengatakannya berdasarkan apa yang ia lihat dan rasakan. Itulah ketulusan yang Vincent maksud. Ya, ini jadi sedikit menyenangkan.