“Kau belum pergi?”
Adelia menggeleng. “Nanti. Aku akan pergi setelah anak itu datang.”
Kanaya membawa nampan kosong di etalase. Sudah pukul tiga sore, sepertinya Mira terlambat. Gadis itu juga datang terlambat saat pertama kali. Karena Adelia ada kelas sore, maka Mira tentu saja akan menggantikannya hingga malam nanti. Begitulah risiko menjadi part time di sini. Sejak satu minggu terakhir, hari ini menjadi yang kedua kalinya mereka berjaga bersama. Entahlah, Kanaya hanya merasa tak cocok dengan gadis yang bernama Mira itu.
Pintu kaca itu berderit sangat pelan. Seorang gadis dengan wajah kecil dan cantik masuk dengan senyum di wajahnya. Dia agak pendek, memiliki rambut pirang panjang yang lurus, tahi lalat di bawah mata kirinya dan kulit yang putih.
“Maaf, aku terlambat karena jalanan macet,” ujarnya.
“Iya, tidak apa-apa.” Adelia menjawab. Mira segera berjalan menuju loker di belakang dan menunjukkan senyum manisnya saat melewati Kanaya. Dia begitu kecil dan cantik, maka tak ada yang bisa Kanaya berikan selain membalas senyumannya.
“Karena aku sudah datang. Adelia sudah boleh pergi, kau ada kelas sore ‘kan? Sebenarnya aku sudah berangkat dari tadi, tapi aku di antar pacarku, dia memakai mobilnya. Kalian tahu sendiri jalanan di luar sering macet di jam seperti ini, jadi aku tidak bisa datang tepat waktu.” Sambil mengenakan celemek, Mira terus berbicara dengan wajahnya yang polos.
Saat itu, Kanaya dan Adelia hanya saling memandang.
“Ya, tidak apa-apa, lagi pula aku tidak sedang terburu-buru.”
“Ah, baiklah. Apakah kuliah itu enak? Aku sedang merencanakan untuk mendaftar kuliah tahun depan. Sebenarnya aku agak malas, tapi keluarga pacarku yang menawarkan itu.” Mira bercerita panjang, lagi-lagi dengan senyum polos di wajahnya.
“Biasa saja. Kuliah itu bukan tentang enak atau tidak, tapi tentang niat. Kalau kau malas, lebih baik tidak usah kuliah, daripada kau terpaksa.”
“Haha, itu benar, tapi ini kan sebuah kesempatan. Kuliah gratis, loh. Sebenarnya aku bisa saja kuliah dengan uangku sendiri. Aku tak mempunyai pengeluaran apa pun selain kebutuhanku, dan juga kedua orang tuaku itu mampu, kok. Akan tetapi, selagi keluarga pacarku menawarkan, maka aku akan memanfaatkannya sebaik mungkin.” Senyum mengembang di wajahnya yang kecil saat mengatakan itu.
Adelia mengembuskan napas. Sifat Mira tidaklah sepolos wajahnya itu. “Ya, kau benar. Selagi kalian masih pacaran, manfaatkanlah kesempatan itu. Jadi, uangmu bisa kau tabungkan.”
“Ah, agak sulit bagiku untuk menabung karena aku itu sebenarnya orang yang boros, haha.”
“Tapi, jika kau tidak menabung, itu akan membuat kau lebih kesulitan nantinya.”
“... Kenapa begitu?”
“Jika kalian putus, maka kau akan membayar kuliahmu sendiri nantinya. Bukankah saat ini kalian masih pacaran, belum suami istri 'kan? Itu hanya saranku, menabunglah untuk berjaga-jaga, hal terburuknya, mereka bisa saja meminta uang kuliah yang mereka keluarkan untukmu suatu saat nanti.” Adelia menjinjing tasnya, “nah, aku pulang dulu, Nay.” Adelia melenggang pergi begitu saja. Untuk seorang perempuan, dia cukup bersikap masa bodoh.
Jujur saja, Kanaya ingin tertawa, tapi dia tak mungkin melakukannya saat Mira saja sedang berusaha menyembunyikan rasa malunya. Inilah mengapa dia menganggap Mira tak cocok dengannya. Kepribadian Mira yang suka memamerkan hidupnya yang menyenangkan itu sangat berbanding terbalik dengan Kanaya. Ini ambigu, bukan berarti Kanaya iri atau membenci itu. Namun, Kanaya hanya bingung, bagaimana caranya dia menghadapi Mira dan kepribadiannya.
“Haha, Adelia sangat kaku, ya ‘kan?”
“Tidak juga. Dia hanya realistis.”
“Ah, begitu. Oh ya, Kanaya ... kenapa kau tak kuliah juga?”
Kanaya menoleh, wajahnya sedikit ragu. “Hm, dananya belum cukup. Masih ada banyak hal yang harus kuutamakan.”
Mira mengangguk, “lalu, apa kau punya pacar?”
“Pacar? Tidak, aku belum punya pacar.”
Mira tersenyum kecut, “kenapa? Padahal kau gadis yang cantik, kenapa kau tidak punya pacar?”
“Haha, masih belum, bukannya tidak punya.”
“Oh, kau sudah ada calonnya, ya?”
Kenapa dia sangat ingin tahu, membuatku tak nyaman saja. Kanaya hanya tersenyum simpul, sepertinya itu sudah cukup untuk menjawab rasa penasaran Mira. Kanaya lebih memilih pergi, menata roti-roti yang sudah tertata, hanya untuk menghindari Mira. Saat itu, Kanaya hanya berharap ada banyak pelanggan yang datang, agar dia fokus melayani pelanggan saja.
“Kanaya, nanti kenalkan padaku, ya, calon pacarmu itu. Aku juga akan memperkenalkan pacarku padamu. Oh ya, apa kau ada mantan pacar yang masih mengejarmu hingga kini?”
Kanaya mengembuskan napas kasar. Kenapa dia harus memperkenalkan orang yang akan menjadi pacarnya pada gadis itu. Melarikan diri dari pandangannya ternyata tak bisa menghindar sepenuhnya darinya. Tentu saja, ini hanya toko roti yang tak terlalu luas. Lagi pula, sedang tak ada pelanggan sekarang. Dengan malas, Kanaya menjawab, “mantan? Tidak ada mantanku yang seperti itu.”
“Ah, enak sekali. Oh, kau punya mantan ‘kan? Maksudku kau pernah berpacaran ‘kan sebelumnya?”
Kanaya menoleh memamerkan senyum lebar alias senyum menahan kekesalan yang membuat kedua matanya menyipit. “Tentu saja pernah, Mira. Memangnya ada apa dengan mantanmu?”
“Mantanku itu sedikit gila, dia terus mengejarku bahkan setelah putus. Untung saja pacarku yang sekarang itu lebih baik darinya, dia lebih tampan dan jauh lebih kaya, jadi mantanku mundur dengan sendirinya. Dia itu laki-laki terbodoh yang pernah aku temui. Dia bahkan rela putus dengan pacarnya dulu hanya untuk menjadi pacarku, haha.”
Manusia itu memiliki batas kesabaran, bukankah begitu? Entah itu sabar dalam menjalani hidup atau pun sabar menghadapi manusia lainnya. Kanaya hanya bisa tersenyum kecut, bagaimana bisa Mira berbicara seperti itu dengan wajahnya yang polos. Bahkan, dia menyempatkan dirinya untuk bertanya sarkastis pada Kanaya.
“Oh, itu mengerikan, Mira.”
“Iya, dia mengerikan. Kau mau lihat bagaimana orangnya tidak? Aku masih memiliki beberapa fotonya di ponselku ... ah, sebentar.” Mira mengeluarkan ponsel dan berjalan menghampiri Kanaya yang berjongkok di dekat etalase roti.
“Tidak usah, tidak perlu memperlihatkannya padaku.”
“Tidak apa-apa, kau harus melihatnya, dia tampan juga, siapa tahu kau tertarik, haha.”
“Apa?”
Mira menjulurkan layar ponselnya pada Kanaya, di sana terpampang sebuah potret laki-laki yang sedang tersenyum. Dia lumayan tampan, dan cukup untuk membuat Kanaya terkejut.
“Ini mantanmu?”
“Iya, ada apa? Jangan bilang kau benar-benar tertarik, haha.”
Kanaya kembali mengembuskan napas, entah sudah ke berapa kalinya. “Haha, apa kau bercanda? Dia bukan tipeku. Lalu, aku juga tak menyukai laki-laki bekas.”
Gadis gila ini, ternyata dia selingkuhan pacarku dulu, ya.