Kota ini terkenal panas. Di tengah-tengah padatnya aktivitas, deretan gedung yang mempunyai beberapa pintu ruko itu terbuka lebar. Dari pangkal hingga ke ujung, semua ruko di huni oleh orang-orang yang menjual dagangan mereka. Ada berbagai macam. Toko roti Adelia dan toko elektronik itu juga termasuk di dalamnya. Lalu, tak sampai lima belas menit berkendara, akan terlihat sebuah mal megah yang berdiri tegak. Di sinilah surga belanja, jika banyak uang, pastinya.
Kanaya tidak melewati deretan toko-toko itu. Dia berputar, menelusuri jalanan aspal sedikit berbatu dan melewati lorong demi lorong agar lebih cepat sampai ke rumahnya. Selain itu, dia sengaja agar tak terlihat oleh Adelia. Jalan pintas ini menembus ke mana-mana. Di sepanjang lorong, ada banyak kos-kosan dan penginapan. Kebanyakan penghuninya adalah para pekerja toko yang hemat ongkos. Ya, termasuk juga dirinya.
Kanaya tak bersuara, bukan tanpa alasan, itu karena dia berpikir bahwa perjalanan hari ini begitu sia-sia. Satu hal yang diketahuinya, pemuda itu memang tidak ada di toko elektronik itu. Padahal dia sudah berdebar menantikan pertemuan kedua dengan pemuda itu.
Gadis itu mengerutkan dahi, matahari rasanya sudah berada satu jengkal di atas kepala. Ini pertanda bahwa petang atau pun malam akan turun hujan. Kanaya sudah hampir sampai, tapi dia malah berbelok sejenak ke minimarket. Tenggorokannya begitu kering, bahkan terasa sakit saat menelan ludah. Setelah membayar sebotol minuman dingin, dia duduk sebentar di kursi teras minimarket. Kanaya bertopang dagu, menerawang orang yang sedang lalu lalang di jalanan lorong yang berbatu. Tenggorokannya sudah tak lagi kering seperti tadi. Air minumnya juga sudah kosong setengahnya. Rasanya enggan untuk pulang, karena di rumah terasa membosankan.
Orang-orang ke sana kemari dengan wajah yang percaya diri, ada yang memakai pakaian bagus, ada juga yang berpakaian biasa. Sebagiannya ada yang berdandan sangat cantik, seakan dia membalut seluruh tubuhnya dengan barang-barang yang mahal. Ada yang tampak lusuh dan tertekan sepanjang jalan. Melihat semua itu, Kanaya hanya memikirkan satu hal. Adakah di antara orang-orang itu yang juga memiliki utang sepertinya?
Kanaya mengembuskan napas kasar, ia meneguk lagi air minumnya, lalu menyandarkan punggungnya di bangku kecil warna hitam itu. Yang terlihat hanya langit-langit minimarket yang berlumut. Akhir bulan masih sangat lama, ini baru satu minggu sejak bulan berganti dan saldo di rekening sudah sangat menipis. “Miris,” gumamnya.
Ia termenung cukup lama. Tak tahu berapa banyak orang yang keluar masuk minimarket selagi ia merenung. Matanya mulai sayu, ia mengejap, kemudian tersadar saat melihat awan hitam yang berjalan. Langit sudah teduh. Kanaya mengecek ponselnya, sudah pukul dua lewat sepuluh. Waktu berjalan begitu cepat. Ia beranjak, tapi pemandangan di dekat kakinya itu malah mengurungkan niatnya. Ada bocah perempuan yang sedang duduk di bawah kursi sambil melamun. Bocah itu terlihat lesu, sambil duduk di teras minimarket yang dingin, dia melamun. Tampilannya sedikit mengkhawatirkan. Mata Kanaya menangkap wajahnya yang kusam, pakaiannya lusuh dan dia sedang memegang sebuah kantong plastik hitam.
Bocah itu mendongak, memiringkan kepala dan membuat wajah penasaran. “Kak, apa di ponsel itu ada film kartunnya?” tanya bocah itu tiba-tiba.
Kanaya tertegun. Ia langsung saja memandang ponsel yang sedang ia genggam di tangannya. “Film kartun?” dia mengulangi. Bocah kecil itu mengangguk-angguk dengan mulut terkatup. Tersirat rasa getir saat itu, tapi Kanaya hanya tersenyum kecut dan berkata, “Ya, tentu saja ada. Apa kau mau melihatnya?”
Mata bocah itu berbinar. Wajahnya semringah. “Apa boleh?” tanyanya lagi.
Kanaya mengangguk, ia beranjak dari bangkunya dan duduk di lantai, bersebelahan dengan bocah itu tepatnya. “Kau mau lihat kartun apa memangnya?” tanya Kanaya menunjukkan ponselnya.
“Apa saja,” jawabnya senang.
Kanaya tersenyum, kali ini ada rasa terharu di senyumnya. Ia membuka youtube, memperlihatkan film-film kartun padanya. Luar biasa senangnya bocah itu, matanya yang sayu terus berbinar dan wajah kusamnya terus tersenyum. Hanya dengan menonton kartun saja, bocah kecil ini sudah seperti mendapatkan kebahagiaannya sendiri.
“Kau sendirian?” tanya Kanaya.
Anak itu menggeleng, “tidak, itu ada Ibuku.” Dia menunjuk seorang wanita paruh baya di pinggir jalan. Wanita itu sibuk mencari-cari sesuatu di tempat sampah sembari menggendong balita di punggungnya. Pemandangan itu membuat Kanaya mengerutkan kening, bagaimana mereka hidup seperti itu? Apa mereka bisa makan dengan baik?
“Apa kalian punya rumah?”
Anak kecil itu memajukan bibir tanpa mengalihkan pandangannya. “Gubuk, kami punya sebuah gubuk.”
“Gubuk? Dimana?”
Anak itu menunjuk ke suatu arah. “Di sebelah sana, Kak.”
Kanaya memanjangkan lehernya sebentar untuk melihat arah yang ditunjuk anak kecil itu. Lalu, Kanaya mengalihkan pandangannya, menatap bocah kecil yang sedang tertawa melihat film di ponsel Kanaya. Perasaannya gamang, sesuatu seakan meledak dari kepalanya saking banyaknya yang ia pikirkan. Namun, seketika ia tersadar, ia memiringkan kepala, jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul dua lewat empat puluh lima menit. Ia harus segera pulang. “Ah, maaf ya. Kakak ambil ponselnya, karena Kakak ingin pulang.” Kanaya tersenyum pada bocah itu sembari mengambil ponselnya. Bocah itu sedikit terpaku dan memanyunkan bibir, tapi akhirnya mengiakan.
“Apa nanti Kakak ke sini lagi?” tanyanya.
Kanaya sedikit berpikir, dia tersenyum kecut sambil menjawab, "tentu saja."
***
Porsi kebahagiaan orang itu sungguh berbeda-beda. Anak kecil itu mungkin berumur sebelas tahun, dia tak mempunyai ponsel atau pun televisi di rumahnya, dia tidur di dalam gerobak yang biasa di bawa oleh sang Ibu, mencari sesuatu yang bisa di jual dan dijadikan uang. Ya, walaupun anak itu berkata mempunyai sebuah gubuk, hal yang bagus agar mereka tidak kehujanan saat istirahat. Anak kecil itu tidak menuntut apa pun, dia hanya ingin menonton film kartun, lalu dia sudah sangat bahagia. Mereka mungkin saja tak mempunyai utang, tapi mereka tetap kesusahan setiap harinya. Kanaya mendongak, menatap langit yang teduh karena mendung. Setidaknya dia masih mempunyai ponsel.
Rasa getir itu kemudian membaik seiring ia memikirkan anak itu. Dia berjalan pelan, melangkah santai karena matahari sudah tak terik lagi. Kanaya sudah sampai di depan rumah kosnya. Mengingat bagaimana panasnya cuaca tadi, tentu saja semua pakaian yang ia jemur kering sempurna. Ia mengangkatnya, menaruhnya di sofa ruang tamu sebelum akhirnya ia merebahkan diri di samping jemurannya. Tubuhnya letih, begitu pula dengan pikirannya. Tak ada lagi niat untuk mencari pemuda itu, toh itu tidak akan berhasil. Mungkin saja mereka tak akan bertemu lagi.
Kanaya mengganti kaus putih dan celana jinsnya dengan daster selutut berwarna hijau muda. Sementara rambutnya masih di biarkan di kucir kuda. Ia duduk bersandar di sofa sembari melipat pakaian. Sesekali ia melihat ponselnya untuk mengecek pesanan ayam goreng pedasnya yang baru saja ia pesan. Kanaya memesannya, karena perutnya mungkin tak bisa lagi mengonsumsi mi instan untuk kali ini.
Kanaya mendesah pelan, ia menoleh sedikit, melihat dari jendela yang gordennya tersikap. Langit di luar semakin gelap, hampir terlihat seperti malam.
Dengan rasa enggan, Kanaya mengambil satu persatu pakaiannya dan melipatnya. Matanya mulai sayu walau perutnya terus berbunyi. Lalu, ia terkesiap saat mendengar lagu Black Catcher dari Vicke Blanka berdengung di ponselnya.
“Hallo.” Kanaya menjawab lesu. Terdengar suara lantang dari seberang sana yang seketika membuat tubuh Kanaya seperti disetrum. “Ya, maafkan saya. Saya belum ada uang untuk membayarnya, saya minta waktu lagi,” ujar Kanaya pasrah. Sang penelepon sepertinya terus mengoceh dengan nada setengah mengancam.
“Kami tunggu konfirmasi pembayaran anda paling lambat malam ini, karena kalau tidak, denda akan terus berjalan dan tim penagihan kami akan datang ke alamat rumah anda.”
Begitulah pada akhirnya panggilan terputus. Kanaya menyandarkan punggungnya di sofa. Dia sampai mengembuskan napas berkali-kali karena dadanya sesak. Bagaimana jika mereka betul-betul datang ke rumah, di sana hanya ada ibunya. “Ibuku pasti kaget mengetahui aku ada pinjaman seperti itu,” gumamnya pelan. “Jika saja aku tak tertipu. Ais, aplikasi penipu sialan!” tukasnya menahan tangis.
Kanaya merenung, memandangi pakaiannya yang masih menumpuk di atas sofa. Ponselnya pun berdering lagi, tapi bukan panggilan melainkan sebuah pesan. “Kali ini apa?” katanya mengecek ponsel. Belum cukup panggilan tadi, kini si rentenir pula yang mengirim pesan. Ingin rasanya Kanaya melempar ponsel itu, tapi dia sadar, dia tak akan mampu lagi membelinya. Kanaya menelan saliva, tenggorokannya sudah mulai kering lagi, bahkan rasanya lebih panas. Darah dalam tubuhnya berdesir, keputusasaan itu membuat jantungnya berdebar sangat kencang.
Jujur saja, rasanya sesak sekali. Air mata pun bahkan jatuh dengan sendirinya, bersamaan dengan hujan yang mulai turun. Serius, aku ingin mati saja.
Di sela isak tangisnya, terdengar seseorang mengetuk pintu. Kanaya terperanjat, bola matanya mendelik. Ia menghapus air matanya, sambil mengira-ngira siapa yang datang hari itu. Siapa itu? Apa jangan-jangan debt collector?
Kanaya berjalan mengendap, mengintip dari balik kaca jendela. Seketika ia bernapas lega setelah melihat seorang pemuda yang memakai kaus kerah dengan logo ayam pedas. Kanaya membuka pintu, dia sedikit tertegun karena hujannya cukup deras, hingga suara berisik pun tak terhindarkan. Netra Kanaya hanya tertuju pada kantong plastik yang di bawa orang itu. Ia menerimanya, memandangnya dengan perasaan yang masih kacau.
“Terima kasih,” ujar si pengantar makanan.
Seketika Kanaya terpaku, ia masih bisa mendengar jelas walau dengan hujan yang sangat berisik. Ia mendongak, si pengantar makanan sudah berbalik hendak pergi, tapi Kanaya sontak memegang lengannya, membuat si pengantar makanan terkejut, lalu tanpa berkata apa pun, Kanaya langsung menariknya ke dalam.
"Apa yang kau lakukan?" tanya si pengantar makanan itu sedikit kesal. Kanaya menarik lengannya begitu saja dan sekarang dia berada di ruang tamu gadis itu. Kanaya mengatupkan bibir, ia tak berkata apa pun. Ia mendongak, mendikte bagaimana penampilan si pengantar makanan itu. Dia seorang laki-laki, bertubuh tinggi dengan rambut hitam bergaya curtain cut yang sedikit basah, raut wajahnya tampak kesal. Lalu, di balik kaca matanya itu, dia menyembunyikan sesuatu yang unik. Kanaya masih bisa melihatnya walau ia menutupi dengan kaca mata, warna kedua bola matanya berbeda.
"Kenapa kau menarik orang sembarangan? Apa yang kau inginkan?"
"Akhirnya ketemu juga,” ujar Kanaya pelan.
"Apa?"
"Itu kau ‘kan? Orang yang ingin membunuhku malam itu.”