Telah lama ku menunggu senja datang dengan membawa sejuta senyuman. Kesendirian telah mengutukku beberapa tahun silam. Sunyi beserta sepilah teman yang senantiasa menemani hari-hariku. Tak memiliki saudara adalah garis takdir untukku. Tinggal di desa yang penduduknya acuh akan sekitar bukan pilihan utamaku. Aku melarikan diri dari gubuk tempat dimana aku dibesarkan. Pernikahanku berlangsung tanpa izin dari kedua orang tua dan juga keluarga besarku. Tak banyak alasan yang berhasil untuk diutarakan. Semua bungkam akan hal buruk, menghindari suudzan.
Pernikahan tanpa restu orang tua bahkan keluarga bukanlah pernikahan yang aku impikan. Entah apa dalam benakku kala itu. Mata seakan gelap, hitam pekat. Bisikan dan rayuan manis orang terkasih telah mengalahkan nasihat sang bunda. Bisikan itu telah membawaku pergi menjauh bahkan akupun tak mengerti dimana aku berada. Janji suci telah diucapnya dihadapan wali hakim dan detik itulah hidupku berubah. Tumpukan air mata menetes perlahan tapi pasti. Entah kebahagiaan atau kesedihan yang kurasakan kini. Meratapinya hanyalah membuang waktuku saja, merenung secara terus menerus bukan pilihanku. Kebahagiaan mulai pergi meninggalkanku. Kenangan pun telah kuasa menghilang dariku. Janji manis yang diucapnya telah mengaung jauh. Hidup terasa berat, seakan tak ada orang yang peduli akan hidupku.
Sosok terkasih yang ku kenal kini menjadi sosok yang keras kepala, main tangan, dan mudah meledak. Inikah karma untukku, Tuhan?. Hari-hari ku jalani penuh dengan tantangan, cemoohan, acuhan warga, bahkan tangan yang tak segan lagi mendarat di pipi manisku. Sulutan rokok telah menjadi penghias tanganku. Tubuh ini tak lagi sanggup berdiri tegak, tak sanggup lagi membopong tumpukan kayu bakar. Untuk melangkahkan kaki, aku harus berusaha dengan keras. Aku tidak akan memanjakan tubuhku ini. Buruh cuci pakaian adalah salah satu pekerjaan sehari-hari dan harus ku selesaikan dalam waktu 3 jam untuk ku bisa melanjutkan pekerjaan yang lain. Aktivitas sehari-hariku bukan hanya melamun dan mencuci pakaian, mencari kayu bakar dan sayuran di hutan adalah kewajiban bagiku.
Hari ini sangatlah melelahkan bagiku. Tubuhku tak lagi sanggup untuk menopang beratnya kehidupan yang kujalani. Aku bergegas menuju tumpukan kayu bakar dan mengambilnya beberapa bagian. Menyajikan hidangan untuk sang kekasih merupakan keharusan yang ku lakukan saat ini. Menyuapkannya adalah aktivitas ku selanjutnya. Kecelakaan telah merenggut satu penopang tubuhnya. Menangis dan berbicara sendirilah yang kini menyelimuti gubuk reyot milik kami. Tak tega, namun apa yang bisa aku lakukan lagi. Berobat, aku tak punya uang untuk membawanya pergi ke rumah sakit dan menginap. Rumah sakit layaknya hotel berbintang lima dan tak mungkin aku merebahkan badannya disana.
Asap panci berisi sesuap nasi telah mengepul. Aku pun mengambil dan memberinya sedikit garam dan menyuapkannya pada suamiku. Tak banyak lauk yang ku punya. Hasil dari buruh cuci tak cukup tuk membeli lauk. Dan hari ini aku tak berhasil menyeret tubuhku untuk ke hutan mencari sayuran.
“kang, makan dulu ya. Duduk dulu kang. Mari saya bantu”. Ucapku lembut sesekali menyeka air mata yang jatuh.
“nasi sama garam lagi?. Aku bosan, aku ingin ada lauk telur nya. cepat berikan padaku sebelum aku menamparmu !”. Bentak suamiku.
“kang, saya lagi tidak ada uang, akang juga tidak bekerja. Ini sudah lebih dari cukup kang, daripada kita tidak makan nasi kang. Makanan ini akan lezat jika akang menerimanya dengan ikhlas. Bayangkan saja disini ada telurnya kang, akan terasa nikmat makanan ini. kita harus tetap bersyukur kang, meskipun kita kekurangan seperti ini”. Perlahan tapi pasti akan ku ucapkan kata demi kata, berharap tak menyakiti hatinya.
Suasana hening nan sunyi menyelimuti gubuk ini. Tak ada suara anak kecil, bahkan serangga pun tak kuasa tuk bersuara.
“kang, kita sekarang sedang di uji oleh tuhan. Tolong mengertilah kang. Sini saya suapin kang. Sambil akang membayangkan di nasi ini ada rasa telurnya kang. Ayo kang buka mulutnya. Ingat kang, ikhlas dan bayangin”. Pintaku sambil menyuapkan sesuap nasi berlaukkan garam.
Tangan kasarnya menghentikan suapan nasi menuju mulutnya. Dengan sergap tangan itupun membuang nasi ditanganku.
“aku sudah bilang!. Aku tidak mau makan kalau hanya lauk garam. Apa kamu tidak bisa mendengar?. Dasar Tuli.”
Berlinang air mataku. Ku biarkan mengalir dengan deras dan menghujani pipi yang mulai keriput. Diam seribu bahasa adalah pilihan ku kini, aku tak sanggup lagi berkata apapun. Meninggalkannya di gubuk bukan pilihan yang tepat saat ini. Memandanginya dan membiarkan air mata berderai. Mencoba mengumpulkan sekuat tenaga tuk merangkai kata teruntuknya adalah hal yang sangat berat bagiku.
“kang, tolong mengertilah keadaan saya kali ini saja. Saya tidak kuat untuk ke hutan mencari sayuran. Hutang di toko bu warsih juga sudah menumpuk. Kang, tolong berfikirlah ulang untuk meminta lauk makan kali ini. Nanti kalau akang sudah bekerja, akan saya belikan telur kang”. Ucapku penuh deraian tangis.
Keheningan kembali menyapa. Jarum jam terus berlari. Tak ada aktivitas yang ku kerjakan selain memandanginya sembari mengusap air mata yang menetes dengan deras. Bola mata kami bertemu kali ini. Ku manfaatkan tatapan ini. Ku kirimkan benih-benih cinta, kasih sayang dan juga kelembutan yang sempat hilang. Sayu-sayu ku yakinkan dalam hati tuk kuatkan tubuh ini.
Pada akhirnya dia pun mengerti dan menerima kiriman penuh kelembutan dariku. Sang pencuri hati kini tersenyum lembut dan tak lagi berkata kasar bahkan kotor padaku.
“neng, terimakasih. Kamu telah mengajarkanku arti sabar, ikhlas dan bersyukur. Aku capek menjalani hidupku ini neng. Aku tak bisa mencari pekerjaan lagi dan sekarang bergantung padamu neng. Sungguh aku sangat meminta maaf padamu neng. Ampuni aku neng. Aku telah banyak berbuat salah padamu, kamu adalah wanita yang sangat hebat. Maafkan aku neng”. Suara lembut menghujam telingaku.
Telah lama aku rindukan suara lembut itu. Setelah sekian lama suara itu hilang ditelan kerasnya kehidupan dan kasarnya pekerjaan. Suasana mendadak hening kembali. Mulut ini tak bisa banyak mengeluarkan kata-kata. Membiarkan mulut terbuka dengan ekspresi bahagia ku hiraukan saja, sembari ku usap air mata yang mengalir semakin deras
“neng, ada yang salah dengan kata-kata ku?. aku menyakiti hati eneng?. Maafkan neng, aku tidak sengaja. Maafkan ya neng”. Lembutnya tutur kata itu.
Ku mulai kumpulkan tenaga tuk membalas semua perkataannya. Ku mulai menghela nafas panjang.
“kang, jangan terus menerus meminta maaf padaku. Alhamdulillah sekarang akang telah seperti dulu lagi. Jangan bentak eneng kang. Jangan berkata kotor dan jangan menghukumku dengan sulutan rokok ataupun memukul ku kang”. Pintaku sembari mengeluarkan air mata.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.
“kang, janjimu dulu sebelum menikah, kamu akan mengajakku ke pantai menikmati angin pantai, matahari tenggelam dengan sebuah es degan hijau di pasir pantai. Aku masih menginginkan itu kang. Tapi aku tau itu tidak akan pernah bisa kita lakukan. Untuk makan saja sudah sulit kang. Oh iya kang, sini saya suapin kang, maaf kang hanya ini yang bisa ku berikan kang”. Ucapku sambil menyuapkan nasi.
Tak banyak kata yang diucapnya sejak aku mengutarakan akan janjinya kala itu. Memulai bekerja sebagai pencari keong di sawah, mencari rumput untuk pakan ternak warga pun dijalaninya tanpa merasa susah dengan keadaannya sekarang.
Petang. Tepat setelah adzan subuh berkumandang, sang pujaan telah berdandan rapi layaknya pangeran dan membangunkan aku untuk menyuruhku bergegas menuju kamar mandi. Akupun menurutinya tanpa bertanya. Baju yang paling indah telah disiapkannya di atas tempat tidur kami. Makanan telah tersaji dimeja makan. Aku tidak mengerti ada apa dihari ini?.
Suara ban terhenti di depan rumah. Setelah selesai makan aku pun ingin menanyakan kita akan pergi kemana sebenarnya, tapi tak ada waktu untuk bertanya sekarang. ku menunda pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di kepalaku. Aku mulai menaiki bagian depan becak. Sontak aku terkejut, becak ini telah membawaku pergi dengan menutup bagian depannya dengan sebuah kain. Lantas, suamiku dimana?. Ku menjerit sekuat tenaga, namun tak juga berhasil. Berontak bukanlah pilihanku. Aku takut. Apakah aku diculik?. Tapi untuk apa?. Aku tak muda lagi, tak ada yang memperebutkan aku lagi.
Becak berhenti di sebuah tempat. Hembusan angin membelai jilbab milikku, suara ombak yang menghajar terumbu karang telah ku dengarkan. Sapaan teriknya sang surya sangat menyengat. Jarak rumah kami dengan bibir laut sekitar 40 km. Apa mungkin aku sekarang di pantai?. Atau ini hanya mimpi?
Ternyata tidak, aku telah bersama suami tercinta di pantai saat ini. Benar-benar menikmati hembusan angin, lembutnya pasir dan asinnya air laut. Tak banyak kata yang bisa ku ucapkan.
“neng, maafkan saya. Kita telah menikah selama 15 tahun, tapi aku baru bisa mengabulkan janjiku. Maafkan saya istriku. Mari kita menikmati pantai ini dan mencari tempat yang agak teduh.” Ucapnya sambil membawa beberapa peralatan untukku.
Telah lama aku berada di pantai ini. Terik matahari menyayat tubuhku. Berlindung di bawah pohon kelapa tak mengurangi panasnya matahari. Angin sepoi-sepoi telah kurasakan sejak tadi. Bahagia !.
“terimakasih kang. Aku bahagia sekali. Terimakasih kang. Ayo kita kesana kang. Kita main pasir. Kita masih muda kan kang?. Sini aku bantu membawa rantangnya kang, kejar aku kang”. Aku berlari sambil menolehnya sesekali.
Kini kubisa menikmati senja sembari meminum es degan ijo di pinggir pantai. Senja telah membawa senyuman kebahagian dan kedamaian bagiku. Terimakasih Tuhan, telah kau kembalikan pencuri hatiku seperti yang dulu lagi.