Sabtu, 12 Desember, 08. 44 WITA
Tawaran itu membuatku mati rasa.
“Ulfi akan dikebumikan pagi ini,” Papa memberitahu dengan lembut. “Nana, kamu mau ikut ke pemakamannya?”
Setelah memeriksa luka-lukaku; yang hanya berupa lecet-lecet dan sedikit goresan, juga setelah memastikan bahwa aku merasa baik-baik saja dan cukup sehat, dokter mengatakan aku boleh pulang hari ini. Ghea mungkin harus menginap sedikit lebih lama. Tidak ada luka dalam, tetapi ada tulang-tulang yang retak dan patah. Leher dan lengannya masih dibelenggu oleh penyangga, dan ia bahkan belum bisa berjalan sendiri ketika ingin ke toilet.
Kadang, ketika Ghea telah beristirahat dan aku memandangi langit-langit, aku bertanya; apakah Ghea marah? Apakah semua orang marah? Mereka semua terluka parah hingga kehilangan nyawa dan aku ... baik-baik saja. Satu-satunya yang baik-baik saja.
“Atau ... Nana mau langsung pulang aja?” tambah Papa buru-buru. “Biar Nana bisa istirahat.”
Aku menatapnya. Papa masih muda, empat puluh dua tahun, tepatnya, dua tahun lebih tua dari Mama. Dan jika Laura banyak mewarisi kecerewetan Mama, mungkin Papa telah menurunkan sifat pendiamnya padaku. Sehingga, di saat seperti ini pun, kami lebih banyak diam dan hanya bertukar informasi seperlunya.
Hari ini, wajahnya terlihat seakan beberapa tahun menua dari yang dapat kuingat. Ada kantung di bawah matanya dan gurat-gurat halus di sekitar mata yang sebelumnya tidak kusadari. Papa tampak kelelahan, tetapi ia tetap mengurusku dengan telaten, memastikan aku menghabiskan jatah makanku dan beristirahat. Aku tahu, ia sendiri kekurangan istirahat.
Tadi malam, ketika dia jatuh tertidur di atas kursi, aku beranjak untuk menemui Mama. Papa bilang, Mama telah menemuiku sekali, ketika aku belum sadar. Setelah itu, aku belum pernah melihatnya lagi. Papa juga bilang, Mama tidak tega meninggalkan Laura. Dan aku mengerti. Aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama di posisinya. Seorang anak yang sekarat dan anak yang baik-baik saja. Jawabannya sudah jelas.
Laura dirawat di ruangan khusus, ada banyak alat medis yang mendampinginya, bersarang di tubuhnya. Alat-alat yang berkedip setiap waktu demi menjaganya tetap bernapas. Aku tidak masuk, tentu saja. Tidak siap untuk itu. Jadi aku hanya memerhatikan dari kaca yang ada di pintu, melihat Mama mendampinginya nyaris tanpa tertidur.
Laura ... kamu harus bangun. Mama terlihat lelah. Dan Papa, meski ia masih dapat tersenyum tipis, aku dapat membaca kesedihan di matanya.
“Boleh aku di sini?”
Papa, yang tengah mengemasi barang-barangku: tas sekolah dan seragam ke sebuah tas jinjing menghentikan gerakannya, lalu memandangiku. Ia tampak berpikir, kemudian menggeleng.
“Jangan. Nana masih sakit, harus istirahat.”
Sebenarnya, lebih sakit hanya diam saja dan melihat, seperti ini.
“Kalau gitu boleh aku pergi ke pemakamann Ulfi?”
Aku ingin melihatnya ... untuk yang terakhir kali. Meski aku tidak yakin aku akan siap.
Jeda mengisi kekosongan di udara. Papa masih terdiam, seakan menimbang-nimbang. Lalu, dengan ragu, dan senyum sedihnya, akhirnya ia mengangguk.
***
Pemakaman umum yang dipilih terletak tidak terlalu jauh dari rumah dan sekolah. Letaknya tepat di sisi jalan raya, diapit dua buah pohon besar di dekat gerbangnya dan sebuah pondok tanpa dinding milik seorang penjual bunga. Hari ini, penjual bunga itu laku keras.
Papa membelikan satu plastik besar bunga, berisi campuran antara bunga tabur dan sebagian lain adalah bunga yang telah dianyam. Komposisinya terdiri dari mawar, melati, kenanga dan kamboja. Aku menggenggam plastik itu erat-erat. Terutama ketika seluruh pasang mata yang hadir tertuju ke arahku. Tatapan mereka menghujani, mengasihani, sebagian seakan menghakimi.
Buru-buru, aku menunduk menatap Ghea yang duduk di atas kursi roda. Ia berhasil membujuk kami agar diizinkan ikut. Dan aku ... tidak bisa berbuat apa-apa untuk melarangnya. Sama sepertiku, dia berhak melepas Ulfi ... untuk yang terakhir.
“Lo nggak pa-pa?” bisikku.
Ghea tersenyum dan berusaha mengangguk, tidak kentara dengan gips di sekitar lehernya. “Nggak pa-pa.”
Ditemani Papa, aku mendorong kursi roda Ghea memasuki pemakaman. Sebuah mobil ambulan terparkir di ujung, dan orang-orang telah berkumpul mengerumuni sebuah liang lahat.
Aku berjalan pelan ke sana. Super pelan. Seakan ada beban puluhan kilo yang menggelayuti kaki, menahanku untuk tidak mendekat. Mungkin beban itu adalah kenangan. Mungkin juga ketidaksiapan. Karena ketika aku tiba di sana, kerumunan sedikit membelah, seakan menyilakan jalan untukku, dengan wajah tersenyum Ulfi yang dibingkai figura berwarna emas menatapku dari sana, di dalam pelukan ayahnya. Seketika itu juga, rasanya aku bisa roboh kapan saja.
***
“Joahamnida~ Chameuryeo haebwatjiman─”
“Berisik, Upi~”
Ghea, yang saat itu tengah serius mengerjakan rangkuman Biologi miliknya menjatuhkan pulpen dengan gemas dan bersidekap menatap Ulfi.
“Tahu, nih! Nyanyi mulu, dari tadi! False pula!” Kama mengompori, membuat Ulfi memutar bolamata pada teman-temannya itu.
Sudah sering terjadi, ketika Ulfi memakai earphone menyumpal kedua telinga, kadang ia akan lupa diri dan mulai menyanyi keras-keras. Masih mending kalau yang dinyanyikan adalah lagu yang bisa diikuti semua orang, tetapi Ulfi itu penggemar Kpop garis keras, ia menyukai banyak lagu yang bagiku, mengandung bahasa-bahasa alien. Ulfi sudah berada dalam tahap tidak peduli, tentu saja. Meskipun kami semua berteriak protes, ia tidak akan menghentikan diri. Justru, biasanya ia akan menyumpalkan earphone-nya ke telinga kami.
Seperti yang terjadi sekarang. Kali ini, korbannya adalah Ghea yang berada paling dekat. Ghea yang sama sekali tidak tertarik dengan Kpop berteriak menjauh, namun Ulfi menahannya, dibantu Kama yang merupakan rekan sekomplotan Ulfi. Misi mereka adalah membuat semua orang Kpopers pada waktunya.
“Dengerin dulu, Ghe! Ini tuh lagu Day6! Bagus banget, sumpah! Lo dengerin dulu!”
“Enggak! Gue nggak paham bahasa China, ya!”
“Korea!”
“Sama aja! Gue nggak paham!”
“Dengerin dulu~ Nana! Rara! Kalian coba ikut dengerin, deh!”
Selanjutnya, Ulfi mencabut earphone dari ponselnya, mungkin dia juga ketakutan benda itu akan putus lantaran ditarik Ghea yang terus berontak. Ulfi menaikkan volume suara, lalu menyetel ulang lagu dari awal.
Aku bukan pecinta berat musik, tapi aku menikmati beberapa. Kecuali untuk bahasanya, lagu yang kali ini terdengar tidak seperti lagu-lagu Kpop yang biasa Ulfi perdengarkan. Dengan jelas aku dapat mendengar tabuhan drum, berpadu dengan alat musik lainnya, suara vokalisnya yang sedikit serak, sepertinya lebih dari satu voklas. Lalu ... rasa lagu tersebut.
Karena tidak memahami satu kata pun, aku tidak bisa menebak-nebak tentang apa lagu tersebut. Beatnya cukup cepat, tidak terlalu ceria tapi juga bukan balad. Sedikit, aku dapat merasakan kesenduan di dalamnya. Juga emosi. Kerinduan. Dan di atas semua itu, secara aneh, aku merasa tenang saat mendengarnya.
Aku bahkan tidak menyadari ketika lagu telah berakhir. Yang kutahu, aku ingin mendengarnya lagi.
“Bagus, kan?” Ulfi tersenyum sombong ketika mendapati tidak ada satu pun dari kami yang protes.
Ghea pura-pura menghela napas lelah lalu kembali menekuni buku latihan. “Puter aja lagunya, tapi jangan nyanyi keras-keras di kuping gue.”
Ulfi tertawa, ia benar-benar memutar ulang lagu itu, tetapi kali ini dalam volume yang dipelankan. Kami terdiam dalam kesunyian yang hanya di isi oleh bunyi pulpen mencoret kertas, sesekali mulut mengunyah camilan, dan vokalis Day6 yang aku tidak tahu namanya, menyenandungkan lagu yang sama. Begitu, hingga Ulfi memecah kesunyian yang ada.
“Gue lagi nggak suka seseorang selain Soobin TXT tapi lagu ini punya kesan mendalam banget buat gue. Kalau gue mati, kalian puterin lagu ini di pemakaman gue ya!”
“Anjir sekate-kate lo!” Kama menoyornya dengan bantal. Aku terkekeh, tapi sebenarnya nyaris melakukan hal yang sama; membenturkan kepala Ulfi agar bisa berkata waras lagi. “Nggak boleh ngomong gitu, pamali! Lagian sok-sokan dah lu, ke toilet aja selalu minta temenin, mau pergi duluan!”
“Ya kan yakali! Yakali!”
***
Ghea menyentuh pergelangan tanganku, yang secara otomatis menyentakku. Aku menoleh, menatapnya untuk sekilas sebelum beralih menatap layar ponsel yang sengaja ia tunjukkan padaku. Cewek itu tidak mengatakan apa-apa, tapi aku langsung menangkap lagu berjudul I Like You dari Day6 berada di daftar putar Spotify miliknya. Selanjutnya, Ghea mengulurkan sebelah earphone-nya. Aku menerimanya, menempelkannya di sebelah telinga.
Mungkin ... ini bukanlah hal yang seharusnya kulakukan. Namun padat kerumunan di sekitar menyesakkanku, gumaman surah Yasin yang terus dibacakan membuatku tercekat, dan ketika mereka mulai mengeluarkan Ulfi dari keranda, membawanya untuk beristirahat di lubang sempit di bawah tanah, aku tidak lagi bisa menahannya. Aku tidak bisa menyaksikannya.
Aku memejamkan mata, lalu membiarkan lagu itu mengalir di telinga. Membiarkan tabuhan drum, suara gitar, vokal yang sedikit serak, teriakan pada bagian refrain ... membiarkan semuanya menghanyutkanku, membawakan rasa damai yang aneh, melabuhkan kerinduanku pada Ulfi, menemaniku ... menguatkanku ketika melepaskannya.
Geuraedo haeyagesseoyo
Nan geudaereul
Aku mulai merasakan basah di pipiku, dan asin di sudut bibir.
Joahabnida
Chameuryeo haebwatjiman
Deoneun andoegesseoyo
Ijeya malhal su itgesseoyo
Saranghago shipeoyo
Geudael
...
Ulfi, semoga kamu mendengar lagu ini sekarang.
Ulfi, istirahatlah yang nyaman.
Ulfi ..., selamat tidur.