Jumat, 11 Desember. 06.34 WITA
Aku mungkin tertidur sekitar pukul tiga pagi setelah menyedot seluruh airmataku keluar. Sulit sekali rasanya membuka mata, dan kedua kantungnya yang bengkak akibat menangis semalam sama sekali tidak membantu.
Tanpa melihat cermin aku tahu aku tampak mengerikan.
“Na, lo nggak bangun?”
Setelah mengerjap-ngerjap, aku mendapati Laura, kembaranku berdiri di sisi tempat tidur, menghadap cermin setinggi badan. Ia telah terlihat rapi. Seragamnya yang tidak pernah absen disetrika telah melekat di tubuh. Omong-omong, aku yang menyetrika. Hampir selalu aku karena Laura tidak pernah becus melakukannya. Ia bahkan pernah menghanguskan seragamku tahun lalu karena menyetrika sambil main game di ponsel.
Ia tengah menyisir rambutnya yang panjang sepunggung. Sudahkah aku mengatakan kalau Laura adalah pemilik rambut paling indah yang pernah kulihat? Atau mungkin yang pernah ada. Rambutnya ikal secara alami, halus, terlihat sehat seperti dalam iklan shampoo dan ketika matahari menyinari rambutnya sekarang, terlihat kecokelatan seperti karamel. Dan sudah kukatakan juga, sebaliknya, rambut sebahuku mirip sapu ijuk, terus-terusan kupotong karena aku tidak tahan dengan kerusakannya.
Lagu populer yang belakangan sering tanpa sengaja kudengar tetapi tidak tahu judul maupun penyanyinya terdengar cukup keras dari speaker ponsel Laura. Ia menggumamkan nada, menyanyi kadang-kadang, mengikuti lagu tersebut.
“Kau tutup kisah cinta kita~ saat ku sedang sayang-sayangnya....” Lalu ia terhenti dan menoleh padaku. “Na! Ini udah jam berapa?! Nanti telat!”
Ada desakan dalam diriku untuk menyarankan ide membolos, sekali saja. Tapi aku tahu tidak akan berguna. Mama bisa marah besar dan aku tidak seberani itu. Laura juga pasti akan menertawaiku. Launa Andriani adalah tipe murid yang tidak pernah tidak masuk kecuali sedang sakit serius. Bahkan flu dan batuk yang tidak memerlukan pergi ke dokter tidak akan mampu menghalangiku.
Jadi aku beringsut ke kamar mandi dan melawan desakan rasa malas. Air dingin mengalir ke seluruh tubuhku, membangunkanku, menyadarkanku bahwa semalam bukan mimpi. Tetapi, rasa sakit yang kurasakan semalam telah berkurang separuhnya. Setidaknya, aku akan mampu menghadapi Laura tanpa berharap dia tidak pernah dilahirkan ke dunia.
Lagipula aku juga sudah berhenti percaya bahwa permintaan di depan sebuah lilin akan terkabul. Omong kosong.
Dan, keredaan yang kualami tadi ternyata tidak berlangsung lama.
Keluar dari kamar mandi, aku melihat Laura tengah memasangkan bandana berwarna pink ke kepalanya, di atas rambutnya yang disisir rapi, tergerai. Sampai sana, aku membiarkannya. Hingga, dia menarik sebuah sweter berwarna senada dari dalam lemari. Dan itu bukan miliknya.
“Sweter gue!” kataku, lantang demi mencegahnya mengenakan sweterku.
“Pinjem,” katanya ringan. Merentangkan kedua lengan sweter di atas lengannya.
“Lo punya sweter lo sendiri, Ra!”
“Pinjem! Sekali aja! Warnanya cocok sama bandana kesayangan gue.”
Aku menghela napas lelah. Dan itu adalah sweter kesayanganku. Sweter pink kesayanganku. Satu-satunya warna pink yang aku punya yang kubeli dari hasil menabung karena semua pink lainnya adalah milik Laura dan aku wajib memilih warna lainnya..
“Lo punya hobi ngerebut punya orang lain, ya?” kataku, yang ditanggapinya dengan kerutan di kening.
“Maksud lo apa?”
Aku benar-benar malas berdebat sekarang. Jadi aku hanya menarik lipatan bajuku dari lemari dan mulai berpakaian. Ketika aku selesai dan menyandangkan tas, Laura telah mengikat tali sepatunya di teras. Selama rentang waktu itu, kami tidak mencoba mengobrol satu sama lain.
“Kalian nggak sarapan dulu?” Mama menegur dari arah dapur ketika aku meraih sepatu dan Laura menarik kunci motor dari gantungan.
Aku menggeleng. “Nanti aja Ma, sarapan di kantin. Udah telat!”
Mama sendiri terlihat sibuk bersiap-siap berangkat kerja. Biasanya, ia membakar roti atau membuat telur dadar dan sebangsanya untuk sarapan. Jujur saja aku mulai bosan dengan aneka telur, nasi goreng di kantin lebih menarik. Sementara Papa, dia bahkan tidak terlihat sama sekali. Sepertinya sudah lebih dulu berangkat.
“Yaudah, ini mama lebihin uang jajannya,” kata Mama, mengangsurkan dua lembar uang lima puluh ribu yang kutahu harus dibagi dua dengan Laura.
Aku mencium tangan Mama lalu berpamitan dengan cepat.
Interaksi terdekatku dengan Laura setelah kejadian sweter itu adalah saat aku harus menyerahkan uang jajan jatahnya. Kami tidak bertukar kata. Dia memanaskan skuter matik kami sebentar di halaman dan aku menunggu di sisi. Setelah dirasa cukup, aku duduk di boncengan, masih tanpa mengatakan apa-apa.
Motor itu hampir meluncur ketika Mama memanggil seraya berlari ke halaman. Aku mengernyit, menerka-nerka apa yang ketinggalan. Mama mengangsurkan helm padaku.
“Hati-hati,” katanya. “Jangan pulang telat.”
Lalu kami berangkat bersama dalam diam, tanpa kata, bahkan tanpa bersentuhan sama sekali. Pesan Mama begitu saja menguap dari kepalaku. Begitu saja ... terabaikan.
***
Jumat, 11 Desember. 07.58 WITA
Lima menit sebelum lonceng berbunyi, dan aku masih belum melihat Ghea pagi itu. Saat ini, hanya cewek itu yang sekelas denganku. Meskipun di SMP dan selama kelas 10 Butterfly Squad tidak terpisahkan, hingga kami mendaftar jurusan yang sama agar tradisi itu terus berlangsung, nyatanya hal itu tidak terjadi. Aku dan Ghea terdampar di IPA 2, sementara yang lain berkumpul di IPA 3. Bersebelahan kelas, tetapi tetap saja, jadwal yang berbeda menghapus olahraga bersama, tugas kelompok bersama, dan kadang menghambat acara makan di kantin bersama.
Ghea bukan anak yang biasanya absen kalau tidak ada hal mahapenting terjadi, atau sakit parah. Dan dia juga biasanya tidak terlambat. Ghea yang kukenal, biasanya menjadi salah satu orang yang pertama yang tiba di sekolah, saat langit masih remeang. Ia seringnya akan menyapu, membersihkan papan tulis dan merapikan susunan meja, meski itu bukan tugas piketnya. Sekarang cewek itu tidak terlihat, tanpa kabar, membuatku sedikit menduga-duga tentang hal yang buruk. Haruskah aku menghubunginya?
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas, menyusuri deret kontak mencari namanya ketika orang yang kumaksud muncul di pintu, terengah-engah. Bel bukannya telah berbunyi.
“Na! Na!” serunya, hampir seperti putus asa. Sontak, kepalaku terangkat, menatap Ghea yang sedang menumpangkan tangan di atas lutus dengan napas terburu.
Aku berdiri. “Ada apa, Ghe?”
“Ikut gue sekarang!”
Ghea menghampiriku, meraih tasku dan menarik tanganku. Serta merta, aku dapat merasakan panik yang tengah ia rasakan. Kepanikan yang mulai menjalar padaku.
“Kenapa emang?” cegahku sebelum ia menarikku berlari ke luar kelas. Aku perlu penjelasan.
“Kama, Na! Kama!”
“Kama kenapa?”
“Kama kecelakaan!”
Aku tidak bisa mengingat dengan amat jelas, tetapi aku tahu aku bertindak impulsif setelahnya. Aku merebut tasku dari tangan Ghea, lalu dengan tangan lainnya menarik cewek itu, berlari menyusuri koridor kelas yang dipenuhi keributan siswa. Aku bahkan tidak tahu kemana seharusnya tujuan kami.
Untungnya, kami bertemu Laura dan Ulfi di tikungan koridor, sepertinya Ulfi baru saja menjemput Laura dari kantin, aku tahu dia sering mampir ke sana sebelum masuk kelas untuk sekedar membeli roti atau susu kotak. Kedua cewek itu berlari ke arahku, terlihat sama paniknya.
“Nana! Ayo!” Ulfi serta merta menyeretku dan Laura agar berlari lebih cepat menuju gerbang sekolah. Ghea mengikuti di belakang.
Satpam sekolah sedang mendorong gerbang agar tertutup dihentikan oleh Ulfi menahannya dengan teriakan.
“Tunggu! Tunggu, Pak! Tunggu!”
“Kalian mau kemana? Ini udah jam masuk!” Pak Satpam yang di dadanya bertuliskan nama Firdaus itu menegur.
“Ada urusan, Pak! Penting!”
“Urusan apa? Cepat balik masuk ke kelas!”
Tetapi Ulfi tidak mendengarkan. Mungkin karena dia sering bercanda dengan Pak Satpam itu, dia justru dengan lancang menyelinap di antara sisa-sisa ruang kosong dari gerbang yang belum menutup sempurna, menarik kami semua keluar bersamanya.
“Maaf, Pak! Ada urusan mendadak. Penting banget!” teriaknya. Lalu kami masih berlari setidaknya hingga seratus meter jauhnya dari sekolah.
“Kama kecelakaan dimana sih, Pi?” tanyaku.”Jauh? Kenapa kita nggak pake motor aja?”
“Kok bisa dia kecelakaan? Gimana ceritanya?” Laura ikut bertanya. “Sama abangnya?”
Kama biasanya diantar-jemput kakaknya ke sekolah dengan motor. Atau jika abangnya berhalangan (baca: menolak bangun pagi), ia akan naik angkot bersama Ulfi. Jika itu terjadi, biasanya mereka akan bablas main ke rumah Ulfi sampai magrib. Hanya Ghea, di antara kami yang cukup kaya untuk bisa merasakan pulang pergi diantar mobil.
“Sekarang dimana Kama, Pi?” Laura kembali bertanya ketika tidak ada sahutan. “Pi! Piii!” Ia menggoyang-goyangkan pundak cewek itu, panik, tidak sabar.
Respons yang amat wajar, yang juga kurasakan. Aku menggigit ujung kuku tanpa sadar. Apakah keadaan Kama parah? Apakah dia harus dibawa ke rumah sakit?
“Piiii!!!” Aku dan Laura mendesak bersamaan.
Ulfi menarik Ghea mendekat, sesaat mereka bertukar pandang dengan bibir digigit ragu. Ekspresi cemas belum meninggalkan wajahnya.
“Gini, Na, Ra, Kama ....” Ulfi menjeda untuk mengambil napas. Seolah apa yang akan ia ucapkan adalah hal paling berat untuk dilakukan.
Semenatar di lenganku, aku dapat merasakan Laura mencengkeramnya erat.
“Kama... sekarang keadaannya ...”
“Gimana sekarang keadaannya, Pi! Cepet kasih tahu! Kita ke rumah sakit sekarang!”
Laura menggoyangkan tubuh Ulfi sementara cewek itu membagi pandang dengan Ghea. Aku nyaris melakukannya juga, mendesak Ulfi maupun Ghea untuk melanjutkan kalimat, untuk beranjak sekarang dan pergi menemui Kama.
Tetapi di luar dugaan, suara lain menyahut kami dari belakang.
“Kama kecelakaan ... TAPI BO’ONG!”
Ulfi dan Ghea segera tergelak sementara aku terkesiap, seketika memutar tubuh untuk menemukan sumber suara. Kama di sana, sehat tanpa kekurangan satu apapun. Senyum lebar terukir di wajahnya dan kedua tangannya, memegangi sebuah kue.
Sebuah blackforest dengan dua lilin dan hiasan cherry di atasnya.
“HAPPY BIRTHDAY RARA! NANA!” Ketiganya kompak menyoraki, bertepuk tangan dan memelukku juga Laura.
Aku masih syok. Selama beberapa detik berikutnya, yang kulakukan adalah terdiam, lalu syok berganti. Mereka telah berhasil membuatku cemas dan tidak karuan, jadi wajar rasanya hal pertama yang kulakukan adalah memarahi mereka.
“KAMA! Nggak lucu tahu!”
“Iya, nih!” Laura ikut sewot. “Jantung gue mau rontok ke kaki rasanya gara-gara kalian semua!” kecamnya.
Si pemilik nama hanya menyengir. “Kaget kan? Kaget kan?” ujarnya, menggoyang-goyangkan alis. “Udah ah, nih tiup dulu lilinnya. Make a wish! Terus kita makan kue!”
Aku memutar bolamata. Kemudian, baru teringat akan sesuatu, aku menoleh ke belakang. Dari jarak sekian, aku dapat melihat gerbang sekolah sudah tertutup sempurna.
“Kalian ini! Ini kita balik ke sekolah gimana? Gerbang udah ditutup, juga.”
Ulfi menjentikkan jemarinya seraya mengerling. “Nana sayang, memang itu rencananya!”
***
Rupanya, ketiga cecunguk itu telah mempersiapkan skenario kejutan ulang tahun ini ssejak seminggu yang lalu, termasuk rencana bolos ini. Aku merasa tidak cukup peka untuk memahami tanda-tandanya. Padahal, ketika kukilas balik, ada kali ketika salah satu dari mereka keceplosan bicara tempo hari, ketika Ulfi dengan santainya mengatakan bahwa kami tidak akan masuk sekolah hari ini. Sekarang, aku mengerti alasannya.
“Yaudah,” Laura menghela napas sambil menyelonjorkan kaki dari bangku panjang yang tengah kami duduki. Letaknya persis di bawah pohon, bersebelahan dengan rak penjual bensin eceran. “Sekarang apa? Kita duduk doang sambil ngebolos? Gila, kita beneran ngebolos nih? Gue ada latihan hari ini!”
“Dan gue belum ngumpul prakarya,” sahutku, sedikit frustrasi bahwa jerih payah yang kuhabiskan kemarin berakhir sia-sia.
“Tenang, Sodara-Sodara,” kata Ulfi. “Kama udah manggil takol. Kita tinggal nunggu bentar dan ... let’s go!”
“Kemana?” tanyaku dan Laura bersamaan.
“Bersenang-senang pokoknya!”
Taksi yang dimaksud Ulfi datang tidak lama kemudian. Dan, setelah beberapa menit memaksa mereka untuk bicara, akhirnya aku tahu tujuan kami. Duta Mall, mal terbesar di kota ini. Salah satu tempat yang menjadi tongkrongan akhir pekan karena memang tidak banyak pilihan yang tersedia, tidak ada wahana bermain, akuarium, deret kafe sepanjang jalan dengan konsep unik, tidak banyak. Aku sendiri belum pernah pergi ke sana tanpa orang tua. Laura pernah, diajak Rei.
“Eh STOP! STOP!”
Taksi mendadak berhenti. Aku mengernyitkan alis, memandangi Ulfi yang duduk di tengah di jok bagian tengah juga. Baru sepuluh menit taksi melaju dan sekarang apa?
“Apaan, sih, Pi! Make up gue tercoreng ya karena berhenti mendadak!” Kama mengumpat kesal. “Untung bukan harga diri yang tercoreng.”
“Hey, kita lupa sesuatu!”
“Apaan?” Beberapa orang bertanya bersamaan.
Ulfi mengembangkan senyum lebar. Ia menempatkan tasnya ke pangkuan lalu menarik sebuah bungkusan putih dari sana. Lalu, ia juga menunjuk sisi kiri mobil. Sebuah masjid.
“Kita masih pake seragam! Ayo ganti baju dulu!”
“Gue non-muslim,” Kama menyahut.
“Numpang ke toilet doang nggak kena azab juga, Sayang.”
“Gue nggak bawa baju,” sahutku.
Dan sepertinya, untuk bantahan ini pun, Ulfi lagi-lagi telah memiliki jawabannya.
“Tenang. Ghea udah siapin baju buat lo dan Laura. Badan kalian mirip-mirip pasti pas lah!”
Ghea menggoyangkan bungkusan di tangannya, begitu juga Kama. Dan begitu melihatnya, aku langsung tahu; tidak ada celah untuk kabur.