Read More >>"> Sebelas Desember (04. Tawa Yang Berderai) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sebelas Desember
MENU
About Us  

Jum’at, 11 Desember, 09. 02 WITA

“Kita mau ngapain, emangnya?”

Pertanyaanku menginterupsi Ulfi dan Kama yang sedang cekikikan usai melewati pemeriksaan keamaanan pada pintu masuk utama mal, berandai-andai kalau salah satu dari mereka ditangkap karena cekikikan mencurigakan dan disangka membawa bom, padahal yang dibawa adalah seragam sekolah. Lalu petugas keamanan pun akan menelepon kepala sekolah dan kepala sekolah akan memanggil orangtua mereka dan mereka akan dihukum serta diskors. Rumor juga akan menyebar di sekolah bahwa mereka tertangkap membolos tetapi justru disangka sebagai teroris. Tivi-tivi juga akan meliput mereka, lalu ... ah sudahlah, mereka terlalu banyak menonton drama.

“Kita foto dulu,” jawab Ghea, yang segera dipatahkan oleh Kama.

“Main dulu lah!”

Lalu disanggah lagi oleh Ulfi. “Makan dulu lah! Laper!”

“Foto dulu, lah! Mumpung muka-muka kita masih cerah, belum pada berminyak yang kalau dikumpulin bisa buat goreng bakwan!”

“Mohon maaf, Saudari Ghea, muka gue udah dari lahir kinclong,” jawab Kama pede, yang mendapat toyoran dari Ulfi.

“Enggak! Enggak! Kita makan dulu, Isi tenaga!”

“Fotooo!”

“Maiiiin!”

“Makan! Nggak mau tahu! Gue laper, gue mau makan!”

“Mohon maaf, Saudari Ulfi,” Kama menepuk pundak cewek itu. “Ini perut atau kantong ajaib? Kita baru sarapan tadi pagi! Kita main dulu lah, keluarin tenaga!”

“Nggak mau,” Ghea menggeleng. “Kalo main dulu nanti keringetan. Harus foto dulu!”

Lalu, terjadi perdebatan sengit lagi yang menarik bahkan perhatian orang-orang yang melewati kami. Membuatku merasa ingin kabur dan pura-pura tidak kenal mereka. Untung kami sahabat baik, kalau bukan pasti sudah kutinggal.

Hingga, Laura mengambil tempat di antara kericuhan itu. “Sahabat-sahabat sekalian,” ujarnya, menepuk pundak Ulfi dan berdiri di tengah-tengah. “Berhubung hari ini gue yang ulang tahun, gue yang menentukan, oke?”

Pilihan kata ‘gue’ agak menyentak. Tiba-tiba aku merasa transparan, tidak kelihatan, tidak diakui sehingga hanya bisa mengikuti dari belakang. Bahkan tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.

“Emang kita mau ngapain, Ra?”

Laura mengerling, dengan caranya yang biasanya membuat cowok-cowok di sekolah terpesona, atau cowok-cowok, secara umum. “Yang orang-orang lakukan di mal dulu lah. Shopping!”

Hening sejenak.

“Ayo!” seru Laura lagi, menyeret Kama dan Ulfi yang pura-pura terdiam.

Mereka semua tertawa, kemudian, dengan tangan di udara, dengan begitu bersemangatnya meneriakkan. “Go shopping go!

Ada banyak toko yang kami singgahi kemudian. Literally hanya singgah, lalu pergi, memasuki toko lainnya. Kami mencoba berbagai baju, sepatu, hingga tas, bergerombol menguasai ruang fitting, cekikan dengan keras dan mengambil beberapa foto, lalu minggat. Tanpa membeli. Sehingga wajar rasanya mendapat pelototan dari sang penjaga. Meski begitu, keempat teman-temanku ini bukannya kapok malah seakan ketagihan.

Kata orang, remaja punya darah pemberontak. Mungkin ini salah satu contohnya.

“Na! Na! Lo cobain baju ini, deh!”

Upayaku yang tengah memperhatikan busana-busana  di rak pajangan sambil berusaha tidak terlihat rupanya tidak begitu berhasil. Ghea menarikku. Di tangannya, ada sebuah gantungan baju beserta busana model crop top dan cape sleeve dimana menurutku baju itu terlihat tak ubahnya taplak meja yang diberi bolongan untuk memuat leher, lalu selesai. Aku bergidik ngeri.

“Enggak, makasih. Perut gue buncit, nggak pantes pakai crop top.

“Nyoba doaaang. Lo nggak ada nyobain dari tadi. Kama sama Ulfi terus yang eksis.”

Aku melirik dua manusia yang sekarang tengah berebut ruang ganti itu, lalu tertawa ringan.

“Kenapa enggak lo yang nyoba-nyoba nih baju?”

“Gue udah. Lo gih, dari tadi belum. Pilih satu baju.”

Jemariku jatuh pada bahan wol dress yang sedari tadi terus kuamati. Dress selutut dengan dalaman kaus putih lengan panjang dan strap dress berwarna merah muda motif kotak-kotak dan kancing. Kupikir ... aku menyukai.

Sebenarnya, aku sedang mempertimbangkan untuk membelinya. Seandainya saja warnanya tidak merah muda.

Atau ... aku menyukainya karena warnanya memang merah muda.

“Na? Ngelamun?” Ghea menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahku. “Ayo.”

Di depan ruang ganti, Kama telah keluar, mengenakan dress bahan chiffon yang terlihat amat dewasa, membuat Ulfi tidak bisa berhenti tertawa kala cewek itu berpose bak super model di depan kamera ponsel.

“Udah, Tante! Udah! Nanti bajunya robek ganti rugi loh!”

Kama yang mendengar itu buru-buru kembali ke kamar ganti, membuat Ulfi tertawa semakin lebar. Lalu cewek itu melihatku dan segera melambai.

“Sini, Na! Mumpung kosong! Coba fitting!”

Ghea telah ke sana lebih dulu. Dan diam-diam, aku meraih dress merah muda itu. Mencobanya tidak akan menyakiti siapapun.

Kecuali, mungkin, diriku sendiri.

Dari ruang sebelah, Laura keluar, mengenakan baju yang sama persis dengan yang berada di tanganku.

“Gimana? Oke, nggak?” tanyanya, berputar di atas tumit selayaknya seorang putri, menyebabkan ujung dressnya mengembang.

“Kereeeen!!!”

“Cantik banget, Ra!”

“Gila! Baju sama orangnya sama-sama cakep!”

Semua memuji Laura dengan sungguh-sungguh. Yang lebih melukai daripada itu? Bahwa aku tidak bisa tidak setuju. Laura tampak menakjubkan. Dia memamg selalu tampak menakjubkan, tetapi sekarang, dengan dress itu melekat pas di tubuhnya, mereka seolah tercipta untuk satu sama lain.

Jujur saja, aku iri.

“Na, jadi nggak mau fitting baju?”

Aku menggeleng pada Ghea yang menatapku bingung, dengan cepat mengembalikan baju di rak pajangnya dan beringsut mundur.

“Gue ke toilet dulu.”

***

Aku punya sebuah blog. Tidak penting, sebenarnya. Bukan sebuah tempat yang ramai. Hanya tempatku membagi kisah, menyampaikan pikiranku tanpa merasa resah. Sementara berada di sudut menuju toilet gedung, bersandar pada tembok, ke blog itulah aku menuju.

“Tanpa Judul”

Posted by Bunga Kupu-Kupu on December 11th. 11:09 p.m

 

Hai, kamu, ketidakadaan.

Aku tahu tidak ada sseorang pun yang membaca tempat ini, kecuali diriku sendiri. Tapi karenanyalah, tempat ini menjadi persembunyian yang tepat. Oke, aku melantur seperti biasa.

Topik hari ini mengenai ... ketidakadilan. Menurut kamu ketidakadilan itu apa?

Aku tidak meminta perasaan ini hadir, tapi aku juga tidak bisa menolak. Saat ini, rasanya seperti tenggelam dalam lumpur hisap, menyesakkan. Berteriak minta tolong pun percuma. Semua orang sibuk mengaguminya.

Dia seperti langit, dan aku bumi. Percuma aku menggapai-gapai dengan tangan yang goyah. Selamanya aku tidak akan bisa menjangkaunya. Dia, Nawala, Mama, bahkan ketiga sahabatku lainnya, adalah orang-orang langit itu. Aku tidak bisa menjangkau mereka. Mereka begitu tinggi.

Padahal kami lahir di hari yang sama, memiliki wajah yang hampir serupa, tetapi kenapa semuanya terasa sangat berbeda. Aku juga tidak ingin membencinya, tapi kenapa ia harus memiliki segalanya dan aku tidak? Kenapa dia harus mendapatkan semuanya tanpa meminta dan aku tidak, meskipun aku meratap meraung?

Kenapa? Kenapa dia tidak merasakan perasaanku? Atau ... Kenapa dia tidak menghilang saja?

Sama seperti perasaan ini, aku juga sama sekali tidak pernah meminta lahir bersamanya.

Aku menutup ponselku, merasa sesak, mati-matian menahan diri agar tidak menangis lagi. Bukannya aku tidak pernah protes atau berusaha membela diri. Aku pernah melakukannya, dulu, pada Mama. Tahu apa yang dia katakan?

“Kamu kurang bersyukur, Na.” Yang kuingat, wajah Mama saat itu terlihat marah, terganggu dengan komplainku. “Lihat, Mama selama ini nggak pernah membeda-bedakan antara kamu sama Rara. Semua sama. Kenapa masalah warna saja harus kamu permasalahkan? Ada banyak orang yang hidup pas-pasan di luar sana. Yang harus kamu lakukan hanya mensyukuri semua yang kamu dapatkan. Jangan kayak anak kecil, deh.”

Atau Bu Mirna, guru BK yang katanya bersedia mendengarkan keluh kesah apa saja. Tetapi tidak. Tetapi rasanya dia tidak mendengarku sama sekali.

Kamu jangan sedih, Nak. Masa begini doang kamu sedih? Lebih baik kamu sibuk belajar untuk persiapan UN. Masalah sepele kayak gini jangan dipikirkan. Kamu harus bangkit. Kamu pasti bisa.

Lalu dia menyuruhku kembali dan besok akan merasa lebih baik.

Kenyataannya aku tidak merasa lebih baik esoknya, atau esoknya lagi, atau hari-hari setelahnya.

Semua orang tersenyum padaku, mengatakan aku harus bangkit, bahwa aku bisa. Tapi bangkit bagaimana? Aku bisa bagaimana?

Dan semua yang kurasakan adalah ... tidak ada. Tidak ada satupun di dunia ini yang memahamiku.

Aku sedang tidak baik-baik saja dan semua orang ... semua orang tengah meremehkan perasaanku. Tidak ada yang bersedia mendengarku. Semua orang sedang menyuruhku untuk tutup mulut dan pura-pura baik-baik saja.

Jadi pura-pura baik saja, aku sedang melakukannya.

***

“Lama banget ke toiletnya!” Ulfi menyambutku begitu aku muncul di pandangannya. Lengannya yang selalu bergerak seolah bisa beku kalau didiamkan itu sekarang mengait di lenganku, menyeretku serta. “Abis ngapain sih, berak?” tanyanya tanpa malu-malu.

“Hush!” Ulfi buru-buru menoyornya. “Kenceng amat ngomongnya! Diliatin orang, tahu!”

Kama menyengir sebagai bentuk permintaan maafnya sementara kami semua hanya dapat menggeleng. Benar kata Ulfi, suara Kama yang kencang dan pertanyaannya yang tidak disaring membuat beberapa pasang mata menatap kami aneh. Kami meringis meminta maaf lalu berjalan lebih cepat dalam usaha agar tidak lebih malu lagi. Kama dan Ulfi dengan menahan tawa, sementara aku dan Ghea menunduk, berusaha menyembunyikan wajah kami. Sedang Laura ... sibuk dengan ponselnya.

Selanjutnya kami meneruskan jalan-jalan, tanpa tujuan, tertawa-tawa tidak jelas terhadap lelucon apapun yang salah satu dari kami lontarkan. Akan singgah sesekali, kepada apapun yang menarik mata. Seperti yang terjadi hanya dalam hitungan detik kemudian.

“Guys! Lihat deh!” Ulfi berteriak heboh. Serta merta, ia menarik kami semua ke salah satu toko aksesoris.

Kehebohannya menuai tatapan canggung dari penjaga toko. Tetapi, Ulfi tidak tampak peduli, ia menunjuk sebuah gelang tali dengan hiasan manik-maik, lonceng dan bandul berbentuk kupu-kupu berwarna biru. Ketika ia meletakkannya di atas telapak tangan dan memamerkannya di udara, kami semua sama terpukaunya. Gelang itu cantik.

Butterfly squad!”seru Kama.

Butterfly Squad, itu nama geng kami. Lima kepompong yang sedang berharap segera bisa menjadi kupu-kupu.

Ulfi mengangguk antusias. Ia memeriksa label harga dan tidak bisa lebih girang lagi. “Murah, kok! Gue beli lima buat kita semua!”

“Nggak!” Kama menyergahnya. “Gue tambahin! Kita patungan!”

Pada akhirnya, kami semua patungan untuk membeli kelima gelang itu, sama saja dengan membeli masing-masing. Tapi kami harus menyebutnya dengan kami membeli bersama, nilai kebersamaannya menjadi lebih terasa. Aku memasang gelangku dibantu Ghea, kupu-kupunya jatuh dengan indah di pergelangan tangan, berkilau diterpa sinar lampu toko. Aku tersenyum.

“Yeee gelang persahabatan!” Kama mengacungkan gelangnya tinggi-tinggi di udara, menggoyangkan tangan sehingga gelang itu bergemerincing heboh, membuat kami tertawa.

Selanjutnya, atas usulan Ulfi, kami meletakkan tangan satu persatu, satu tangan di atas yang lain dalam sebuah lingkaran sempurna. Tangannya yang lain menyalakan kamera ponsel. Ia bilang ia mau mengambil video boomerang untuk media sosial.

Best friends forever?” seru Ulfi.

Forever!” semuanya menyahut. Tangan-tangan di udara. Tawa bergema hingga sudut toko.

Kami berfoto di photobooth setelahnya, masih dengan kehebohan yang tidak kunjung selesai. Kama dan Ulfi benar-benar tidak bisa berhenti bersikap konyol, mulai dari memasang ekspresi wajah aneh hingga pose yang tidak-tidak. Hal itu juga menular pada Ghea dan Laura. Bahkan ..., padaku.

“Muka bibir monyong, ceeek!

“Eh itu mah bukan monyong, tapi orang kena stroke!”

“Terus maunya gimana? Begini? Begini?” Kama memonyongkan bibirnya, lalu membuka tutupnya seperti ikan kehabisan air.

Wajah itu ia arahkan pada Ulfi, yang segera tertawa keras sambil berusaha menjauhkan cewek itu. Tidak berhasil, Kama mengejarnya. Hasilnya? Kerusuhan itu berhasil diabadikan oleh kamera otomatis dalam photobooth.

“Ih, kalian buang-buang film, tahu!” Laura menarik keduanya kembali ke tempat. “Pose yang bener!”

“Oke,” Ulfi mengangguk dan menempatkan telunjuk serta ibu jari di bawah dagu. “Muka genit, ceeekk!

“Eh, muka genit gimana?!”

“Gue belum siap!”

“Gue nggak tahu muka genit gimana!” Aku ikut protes.

Entah bagaimana hasilnya setelah itu. Aku bahkan terlalu malu untuk melihat. Usai sesi foto-foto layaknya model, kami menghabiskan lebih banyak waktu lagi di Amazone. Aku tidak menghitung apa saja yang teman-temanku mainkan, mereka benar-benar rusuh. Tetapi aku hanya mencoba Street Basketball dan beberapa kali Pirate’s Hook. Aku beruntung sempat berhasil sekali setelah banyak percobaan yang melelahkan

“Gue lapeeeerrr,” erang Kama ketika kami telah keluar arena bermain, dengan susah payah menyeret Ulfi keluar karena ia yang tidak bisa berhenti main, ketagihan. “Makan, yuk!”

“Makan apa?”

“Apa aja asal jangan makan hati.”

Setengah jam kemudian, kami berakhir di sebuah meja panjang McDonald dengan enam buah kursi. Satu kursi yang tak terpakai itu digunakan Laura untuk meletakkan tasnya, sementara tas-tas lainnya harus rela lesehan di lantai.

Dan rupanya, kejutan belum berakhir. Saat kami sedang sibuk mengutak-atik ponsel, pesanan datang. Dan tidak hanya pesanan, tetapi juga lilin. Aku menutup mulutku, nyaris tertawa melihat dua buah lilin yang ditancapkan di atas dua buah cheeseburger. Ada-ada aja!

Kama, Ulfi, dan Ghea menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun sekarang begitu baki makanan di letakkan di atas meja, lagu yang tadi pagi tidak sempat mereka nyanyikan. Oh, Ulfi juga dengan amat sangat percaya diri menyanyikan “Saengil chuka hamnida,” tidak peduli aksinya ditonton orang dari meja sebelah.

“Maaf ya, begini doang. Kuenya kan udah tadi pagi,” cengir Kama.

Beberapa pengunjung lagi-lagi mencuri pandang kepada kami. Tapi kali ini aku tidak peduli. Aku dan Laura meniup lilin burger yang ada di hadapan kami.

Make a wish,” teriak Ghea.

Lalu, Ulfi mencondongkan badan ke arahku. “Gue mau kita lulus bareng-bareng. Kerja bareng-bareng. Nikah bareng-bareng,” sahutnya bersemangat.

Dan aksinya mendapat dorongan di pundak dari Kama. “Yang ulang tahun bukan elo, please!”

“Nggak papa, dong, gue mewakilkan!”

Kami tertawa bersama-sama. Lalu saling berebut potongan ayam. Karena empat dari lima orang di sini adalah penggemar sayap ayam, pertumpahan darah nyaris saja terjadi. Untungnya, aku hanya menyukai bagian dada dan dapat menikmatinya sendiri.

Ini hari yang menyenangkan, sungguh. Ada banyak tawa yang dibagi hari ini, lebih banyak dari hari-hari biasanya Tapi kenapa ... ada yang terasa mengganjal? Seperti berdiri di tengah hari yang panas dan melihat awan gelap di belahan langit lainnya. Seperti menunggu sesuatu untuk terjadi. Menunggu badai. Menunggu ... sesuatu yang buruk.

***

“Iya, Kak?”

Terdengar gemuruh pelan, lalu gumaman seseorang di ujung telepon. Aku tidak bisa memindainya tetapi sesaat kemudian, Laura kembali bicara. Suaranya dipelankan, dan ia menjauh sedikit dari kerumunan. Seolah ... tidak seorang pun mendengarnya. Tetapi entah bagaimana, sayup-sayup, aku masih dapat mendengar gumamannya.

“Iya, kami lagi jalan-jalan aja sih. Sore kayaknya balik.”

Dan, aku juga dapat menebak ia sedang bicara dengan siapa.

“Hm. Sore, ya. Nanti chat aja, nggak enak kalau nelpon. Hmm... iya, bye, Kak.”

Laura menutup telepon terburu-buru dan mengembuskan napas. Ia mengantongi ponselnya cepat sebelum kembali ke dalam gerombolan.

“Kak Rei?” Ghea menyuarakan pertanyaan semua orang. Lengannya menyikut Laura pelan sementara senyum menggoda bermain di wajah. Ekspresi yang sama yang dimiliki hampir semua orang di sini.

Laura dan Kak Rei. Kak Rei dan Laura. Semenjak kami berlima belajar bersama di rumahku, lalu Kak Rei mengetuk dan semua orang mengagumi kegantengannya sementara Laura yang membukakan pintu mengobrol sebentar, semua orang jadi menjodoh-jodohkan mereka berdua. Apalagi, tahu bahwa keduanya memang dekat. Katanya, mereka serasi. Katanya, mereka akan menjadi pasangan yang luar biasa jika bersama. Katanya, cara dia menatap Laura berbeda, seperti ... jatuh cinta.

Maksudku, siapa memangnya yang tidak jatuh cinta dengan Laura dan senyum menawannya yang tidak pernah kumiliki?

Laura mengangguk sekilas. “Hm. Cuma nanya kita lagi dimana, kok.”

“Ngajak ketemuan?” Ulfi menimbrung pembicaraan.

Lagi, Laura mengangguk.

Ghea kembali menyikutnya, terkekeh. “Mau ngasih kejutan nggak, sih? Hari ini kan lo ulang tahun.”

“Ih, ngawur kalian! Nggak gitu.”

Laura mengerang dalam tawa yang ditahan, dan aku menggigit bibir. Terbelah antara rasa bersalah, dan ... kebencian.

Cowok itu menitipkan surat padaku, yang tidak sempat aku sampaikan. Aku bisa menebak rencananya. Kejutan. Mungkin pernyataan cinta, karena semua orang sudah menunggu momen itu.

Dan ... aku belum siap. Aku harap mereka tidak bertemu sore ini.

Laura dan ... Nawala. Nawalaku.

“Udah mau magrib ini. Kita pulang sekarang, kan?” Ulfi yang tadi berjalan di depan sekarang menghampiri kami yang tertinggal di belakang.

“Iya. Badan gue capek. Dan nyokap pasti nyariin,” sahut Ghea. Aku mengangguk setuju.

Ulfi juga melakukannya. “Oke. Kama udah gue suruh pesen. Paling bentar lagi taksinya dateng.”

Taksinya memang datang tidak lama kemudian. Honda Civic berwarna silver dengan plat dalam kota yang membuat Ulfi berteriak girang karena badan mobil yang terbilang masih mulus. Pengendaranya pun, masih muda, mungkin pertengahan tiga puluhan.

Ulfi segera membuka pintu mobil dan naik duluan. Ia menutup pintunya, bahkan sebelum siapapun masuk hanya untuk menurunkan kaca jendela dan melambai kepada kami semua.

“Dah, guys. Gue pulang duluan, ya~”

Kama menghentikannya, membuka pintu mobil dan melotot pada cewek mungil itu.

“Sok-sokan. Ke toilet aja ditemenin. Lo kan kemana-mana nggak bisa sendiri, Upi, perlu ditemenin.”

Ulfi tertawa, lalu membuka pintu itu lebih lebar. “Yaudah, ayo!”

Laura masuk setelah Kama, lalu Ghea. Kemudian aku, yang masuk belakangan, kebagian tempat di kursi tengah, paling ujung, di sisi Laura yang duduk di tengah. Ugh.

Di dalam, kurasakan punggung yang nyaris retak karena kebanyakan berkeliling dan kaki yang hampir kebas setelah seharian berkeliaran di mal sekarang seolah dipijati kursi penumpang yang empuk. Wangi pengharum mobil yang bercampur AC juga terasa nyaman. Akhirnya, kupikir aku bisa beristirahat selama perjalanan pulang.

Atau mungkin ..., perkiraanku salah. Salah besar.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
THE DARK EYES
651      347     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
Evolvera Life
5762      2645     27     
Fantasy
Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis du...
PurpLove
189      174     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
SATU FRASA
13265      2695     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
Love Never Ends
10157      2032     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
The Twins
3869      1340     2     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
U&O
21072      2108     5     
Romance
U Untuk Ulin Dan O untuk Ovan, Berteman dari kecil tidak membuat Rullinda dapat memahami Tovano dengan sepenuhnya, dia justru ingin melepaskan diri dari pertemanan aneh itu. Namun siapa yang menyangkah jika usahanya melepaskan diri justru membuatnya menyadari sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing.
Gino The Magic Box
2703      925     1     
Fantasy
Ayu Extreme, seorang mahasiswi tingkat akhir di Kampus Extreme, yang mendapat predikat sebagai penyihir terendah. Karena setiap kali menggunakan sihir ia tidak bisa mengontrolnya. Hingga ia hampir lulus, ia juga tidak bisa menggunakan senjata sihir. Suatu ketika, pulang dari kampus, ia bertemu sosok pemuda tampan misterius yang memberikan sesuatu padanya berupa kotak kusam. Tidak disangka, bahwa ...
Unsuitable
1109      506     6     
Romance
Bagi Arin tak pernah terpikirkan sekalipun bersekolah dalam jerat kasus tak benar yang menganggapnya sebagai pelacur. Sedangkan bagi Bima, rasanya tak mungkin menemukan seseorang yang mau membantunya keluar dari jerat tuduhan yang telah lama menimpanya. Disaat seluruh orang memilih pergi menjauh dari Bima dan Arin, tapi dua manusia itu justru sebaliknya. Arin dan Bima dipertemukan karena...
Dessert
867      443     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...