Mengacu pada beberapa pemberitaan yang beredar, kami dari MERAKI menyatakan untuk rehat sejenak guna membicarakan lebih lanjut tentang langkah apa yang akan kami tempuh.
Kami meminta maaf kepada semua pihak yang dirugikan juga kepada semua pengikut yang dikecewakan. Secepatnya setelah pembicaraan selesai kami akan memberitahu pengikut mengenai kelanjutan MERAKI.
Terima kasih
^^^
PAM PAM PAM
Aku masih sangat ingat ketukannya. Setiap hari, setiap malam, sebelum makan bahkan sebelum tidur aku selalu mengingatnya. Gerakan demi gerakan, irama dengan irama lainnya terekam jelas di memoriku.
Yang aku tidak ingat hanya satu, kapan sekiranya aku melihat gerakan seperti itu. Karena nyatanya gerakan itu aku sendiri yang menciptakan.
Aku tidak pernah melihat gerakan serupa, bahkan demi membuat gerakan itu aku memerhatikan banyak sekali benda. Kipas angin yang berputar, api yang menari di perapian, sampai awan yang bergerak ditiup angin.
Aku tahu betul dari mana semua gerakan itu berasal. Maka ketika ujaran kebencian memenuhi sebagian besar kolom komentar kanal YouTube Meraki, aku hanya bisa terdiam, bingung.
Plagiat katanya, tukang tiru, tidak kreatif.
Awalnya aku mencoba untuk lebih sabar, masalah sensitif seperti ini tidak akan bisa ditaklukkan dengan gegabah. Tapi seiring berjalannya waktu, keadaan malah semakin rumit. Mereka yang mengaku telah memakai gerakan itu sebelum aku malah bertindak seolah-olah mereka adalah korban. Membuatku terperosok semakin dalam.
Aku benci keadaan di mana aku hanya bisa menonton kerusuhan ini semakin menjadi-jadi.
“Kita hiatus dulu aja Kak!” seru Brian malam itu. Malam di mana untuk sekali lagi kamu berkumpul.
Meraki bukanlah crew yang besar. Aku, Brian dan Gian, yang telah memutuskan rehat, merintis crew dance ini sejak SMA. Kami yang awalnya hanya mengikuti kontes-kontes kecil kini mulai merekrut beberapa orang yang berminat dalan dunia tari.
Berkat kecepatan internet, akhirnya Meraki bisa lebih dikenal orang-orang. Kami yang sering kali mengunggah video menari di YouTube menarik lebih banyak minat orang-orang. Hingga akhirnya masalah itu timbul dan mengacaukan semua hal yang telah kami rintis.
Brian menatapku dengan tatapan sama kacaunya denganku. Dia juga tertekan, walau jelas terlihat berusaha lebih santai.
“Bukannya dengan gitu kita malah tambah dituduh, ya?” kataku kurang setuju dengan usulan rekanku itu.
“Kalau kita terus ngomong, percuma. Yang ada fans mereka makin marah, kita ada dipihak paling kecil sekarang.”
Semakin marah, membuat kecewa, tidak dipercaya. Hatiku sakit mendengarnya. Dunia berbalik begitu cepat membelakangiku.
“Kak, kita semua percaya sama lo. Semua orang tau gimana susahnya lo cari referensi buat choreo kemaren. Tapi kita coba buat selesaiin masalah ini tanpa nimbulin masalah lain. Oke?”
Aku masih terdiam, tenggorokanku seolah dijejali banyak batu besar, sakit sekali ketika mencoba untuk bicara.
“Gw sama Upi udah coba email agensi JOP. Cepat atau lambat mereka pasti bakalan respons.”
“Kalau enggak?” refleks aku bertanya.
“Kita ngga akan nyerah sebelum nerima jawaban mereka.”
JOP sialan, makiku dalam hati. Mereka yang datang dari agensi besar jelas memiliki lebih banyak backingan. Namun aku masih tetap tak habis pikir bagaimana semua ini terjadi.
Unggahan konten eksklusif dari JOP itu bukan hanya mirip dengan choreo milikku, tapi benar-benar sama. Sialnya, konten mereka diunggah satu minggu lebih cepat dari pada milikku. Membuat mereka berlaga layaknya korban dan melemparkan semua bom ke arah kami, Meraki, rapatnya aku, orang yang dengan sadar mengklaim tarian tersebut.
^^
“Rena!”
“Rena!”
“Rena!”
“Berisik Ri, yang lain bisa bangun.”
Suasana hening malam itu pecah ketika seorang wanita muda mengetuk salah satu pintu kamar kos di gedung itu dengan begitu brutal. Wajahnya yang oriental merengut penuh kekhawatiran. Sementara di sampingnya, seorang lelaki yang sedikit lebih pendek menatap teman wanitanya dengan mata tajam sarat akan kejengkelan.
“Ih Dean, kalau enggak teriak nanti Rena enggak denger.”
Suri, wanita muda dengan baju terusan putih selutut itu kembali mengetuk pintu kosan Rena, membuat sebuah kotak kue yang ia bawa terguncang-guncang Tan karuan, begitu pula dengan rambutnya panjangnya yang dicepol asal.
Suri adalah teman kecil Rena. Suri yang tiga tahun lebih tua sering diajak bermain oleh gadis itu semasa kecil. Mereka sudah seperti sepasang kakak beradik sangking seringnya ditemui berdua.Sementara itu, Dean bertemu dengan kedua gadis tersebut saat kuliah. Sejak saat itu, ketiganya seolah memiliki ikatan yang kuat dan tidak terpisahkan.
“Rena bakalan baik-baik aja, kan, De?” tanya Suri dengan wajah yang cemas.
“Ya mana gue tau, Ri. Semoga aja enggak apa-apa.”
Cukup lama mereka di luar. Suri yang yakin kalau Rena ada di dalam menolak ajakan Dean untuk pulang dan menunggu Rena menghubungi mereka. Bagi wanita itu, sangat penting mengetahu kabar Rena sekarang Juga.
“Ri, mending kita ...,” ucapan Dean sontak terpotong ketika pintu kamar Rena terbuka dan dari dalam gadis yang ditunggu-tunggu keluar dengan handuk dan rambutnya yang setengah basah.
“Ya ampun, lama banget sih!” seru Suri lalu masuk tanpa dipersilahkan.
“Iya, kasihan tuh nenek-nenek enggak kuat berdiri terus.”
“Sialan!” Suri melemparkan sebuah boneka ke arah Dean sesaat setelah lelaki itu bicara meledeknya.
“Kenapa enggak bilang kalau mau ke sini, gw baru beres mandi.” Rena berkata sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk.
“Pantes,” kata Dean sebelum merebahkan badannya yang tak selalu tinggi di atas kursi. Sementara itu Suri terlihat sibuk dengan bingkisan yang ia bawa. Satu box kue dengan isi lima buah cupcake. Masing-masing punya toping yang berbeda, mulai dari cokelat, stroberi hingga permen karet.
Rena ikut duduk di dekat Suri yang mengambil alih ranjangnya. Gadis dengan rambut hitam sebahu itu lalu mengambil salah satu cupcake dan memakannya.
Tidak ada yang bicara setelah itu. Dean terlihat menutup matanya seperti orang tidur, Rena sibuk mengunyah kuenya, sedangkan Suri tak bisa melepaskan matanya dari Rena.
“Kenapa?” tanya Rena setelah sadar jika Suri sama sekali tidak berkedip melihatnya.
“Lo enggak liat twitter kan, Ren?”
Kunyahan Rena melamban, matanya yang awalnya berbinar-binar itu kini mulai sendu. Rena meletakkan cupcakenya yang tinggal setengah itu kembali masuk ke dalam box.
“Belum Kak, tapi pasti rame ya?”
Gadis itu kini melirik ke arah Dean yang sudah terduduk. Lelaki itu ikut memandang Rena seperti cara Suri memandangnya.
“Rame banget Ren, mending buat sekarang lo jangan dulu buka akun Meraki, ya! Gw takut lo kepikiran.” Kali ini, Suri berkata seraya menggenggam tangan Rena. Matanya terlihat berkaca-kaca.
“Bener tuh, kali ini gw setuju sama si Suripah.” Dean menyunggingkan seringai jahil, ia tahu jika saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mereka membahas masalah yang tengah Rena hadapi. Alhasil, ia berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menyebutkan nama asli, yang paling tak bisa didengar oleh Suri, dari gadis itu.
“HEH DEAN!”
Lihat, sekali sebut saja amarah Suri sudah meluap-luap.
“Dih, apa?”
Suri yang tadi siap meneteskan air matanya kini merangkak turun dari ranjang dan menuju ke arah Dean hanya untuk menjambak rambut lelaki tersebut.
Seperti yang sudah-sudah, keduanya memulai perkelahian mereka dan menyisakan Rena yang tertawa karena geli.
“Udah, udah woy!” seru yang paling muda berusaha memisahkan, sementara Suri dan Dean masih seperti anak kecil yang sedang memperebutkan sebuah mainan.
“Gue enggak bakalan buka twitter kok.” Suara Rena akhirnya mampu menghentikan perkelahian Suri dan Dean. Keduanya sekarang duduk tepat di hadapan Rena yang berada di atas ranjang sambil mengunyah cupcakenya.
“Lagian gue udah tau gimana respons mereka. Gue ngga mau nambah-nambahin pikiran.”
Suri mengangguk lalu berjalan ke arah Rena untuk memeluk adik kecilnya itu. Sedangkan Dean mengangkat satu jempolnya ketika Rena melihat kepadanya.
.
Dean bangun ketika merasakan tenggorokannya begitu kering. Pasti terlalu banyak mendengkur, pikirnya.
Lelaki dengan tinggi minimalis itu celingak-celinguk sebelum akhirnya berdiri menghampiri Suri yang sudah tidur seperti mayat. Rambutnya yang panjang menutupi sebagian besar wajahnya. Ia yang tadi pagi terlihat sangat anggun kini malah sangat berantakan dengan rok yang tersingkap dan kaki yang terbuka lebar.
Dean ingin tertawa, namun urung ketika menyadari kalau ada sosok lain yang hilang. Rena.
Lelaki itu pikir, mungkin Rena sedang berada di kamar mandi. Namun ketika Dean kembali dari dapur setelah minum pun gadis itu tak terlihat. Belum lagi dengan lampu kamar mandi yang tidak menyala. Sudah bisa dipastikan jika Rena benar-benar tidak ada di kamar kosnya.
Dean pun memutuskan untuk pergi dari sana setelah membenarkan letak selimut yang Suri gunakan. Niat awalnya ia ingin pergi ke ruang TV yang ada di lantai dasar, siapa tahu Rena sedang menonton TV, pikirnya.
Namun siapa sangka, baru saja ia membuka pintu sosok yang ia cari sudah ada di depannya.
“Ngapain lo?” tanya Dean langsung mengambil tempat di sebelah Rena.
“Ngadem.” Gadis itu menjawab sambil menatap lantai bawah dengan lesu.
Sekarang mereka sedang berada di lantai tiga. Kos Rena memang termasuk kos yang besar. Total ada empat lantai dengan delapan kamar di masing-masing lantai. Letaknya sendiri melingkar seperti rumah susun, membuat siapa pun mendapatkan pembatas di depan pintu mereka yang jika kita menengok ke bawah kita akan langsung bisa melihat ke ruangan TV.
Selain itu, di dalam kamarnya terdapat satu kamar mandi dan dapur kecil yang tidak memiliki sekat dengan ruang tidur. Aalau begitu, tempat ini cukup nyaman. Suri dan Dean saja sering menginap di kamar Rena jika malas pulang.
“Kenapa ngga tidur? Liat tuh, Si Suri aja udah kek mayat.”
“Itu sih emang dianya aja yang pelor.”
“Oh, bukan karena lo yang enggak bisa tidur?”
Mendengar itu Rena hanya bisa menatap mata Dean dalam diam. Mug yang sedari tadi ia bawa terlihat beriak airnya. Sudah jelas kalau gadis itu tengah menyembunyikan sesuatu.
“Gue tau lagi, kalau dari seminggu yang lalu lo ngga bisa tidur. Keliatan banget kalau di café suka enggak fokus. Lo enggak kasian apa sama Suripah.”
Tatapan Rena pada Dean tiba-tiba berubah. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya lalu tersenyum licik sambil berdecis. “Cieee, sejak kapan lo perhatian gini sama Kak Suri?”
“Dih, sorry ya. Gue perhatian sama karyawannya, bukan sama tuh nenek lampir.”
Rena sontak tertawa. Ucapan Dean dengan apa yang ia lakukan memang jarang sejalan.
Dean sendiri hanya diam menunggu tawa sumbang Rena mereda. Bukannya tidak ingin ikut bergabung dengannya, hanya saja tawa gadis itu terlalu palsu untuk ia ikuti.
“Ren ….”
Rena terdiam, napasnya sedikit memburu, membuat Dean ingin sekali mengusap bahu gadis tersebut dan bilang kalau semua baik-baik saja. Namun Rena sudah terlebih dahulu membuka mulutnya.
“Bang, gue baik-baik aja!”
“Setelah apa yang udah terjadi? Setelah semua orang nyerang lo di twitter?” Dean bertanya dengan tatapan tak percaya. Ia yakin jika temannya itu sangat menderita selama ini.
Rena memang sosok yang cerah, hari-harinya tak akan lengkap tanpa tertawa lepas. Oleh karenanya, sebagai seseorang yang telah mengenal gadis itu selama hampir lima tahun, akan sangat mudah mendeteksi perbedaan dalam sikap Rena.
“Risiko, Bang. Gue yang salah.”
“Salah lo di sebelah mana, Rena?” tanya Dean dengan nada tak habis pikir. “ Jadi lo ngaku kalau lo plagiat choreo crew lain?”
“Dih, gue ngga bilang gitu. Cuman ya, gimana? Gue bilang yang sebenernya pun enggak akan ada yang percaya. Jadi pihak yang paling kecil itu artinya kita harus siap sama keadaan paling buruk. Karena kalau pun kita bener, kecil kemungkinan orang-orang bakalan denger dan percaya.”
Dean menggeleng sambil menutup mata sipitnya. “Gue percaya sama lo, Suri, Brian, Upi, anak-anak Meraki juga pasti percaya sama lo.” “Bukan gitu Bang. Bukan kalian, tapi mereka. JOP bukan crew dance kecil, mereka udah masuk
agensi yang banyak dikenal orang. Di mata orang lain, kecil kemungkinan kalau mereka niru choreo dari gue. Apa lagi udah jelas kalau video mereka naik duluan dari pada punya gue."
Mengingat hal itu membuat Dean memijat kepala, pusing. Ia jelas sama bingungnya. Walau tidak menjadi anggota Meraki, Dean juga mempunyai andil besar dalam berdirinya club tersebut. Ia yang seorang penata musik sering kali dimintai bantuan oleh Rena untuk membuat BGM konten dance mereka.
“Bang,” kata Rena seraya memukul bahu Dean main-main. “ Jangan kaya gini! Jangan ikutan pusingin masalah gue sama Meraki. Ini tanggung jawab gue sebagai owner sekaligus orang yang udah buat masalah ini naik. Gue yakin suatu saat nanti gue bakalan dapetin cara nyelesaiin semuanya.”
Dean tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan pada Rena untuk menyemangatinya. Hanya saja, ia rasa sebuah anggukan dan usapan lembut di puncak kepalanya bisa membuat Rena sedikit lebih baik.
Ya, semoga saja begitu.
^^