Suara musik hip-hop klasik mengisi sebagian besar udara di ruangan dengan dinding-dinding kaca tersebut. Dari sana pantulan bayangan seorang gadis terlihat jelas. Ia dengan lincah menggerakkan tubuhnya sesuai dengan irama musik.
Sementara itu ada dua orang lain tengah duduk bersandar kepada dinding di belakang. Satu orang perempuan berambut bob dan satunya lagi seorang pemuda dengan mata kecil yang sama-sama tengah sibuk dengan ponsel di genggaman tangan mereka, mengabaikan gadis dengan rambut kuncir kuda yang tengah menari tadi.
Tak lama gadis dengan tubuh mungil itu menghentikan tariannya dan berjalan untuk meraih sebuah handuk kecil tepat di atas alat pemutar musik. Ia membiarkan musik tersebut terus tetap mengisi tempat tersebut.
Dengan santai ia mengambil ponselnya, lalu seperti kedua temannya si gadis mulai tenggelam ke dalam layar benda pintar itu. Sesekali ia bersiul ketika melihat aktivitas media sosialnya. Banyak orang yang berinteraksi dengannya di akun centang biru yang baru saja ia dapatkan beberapa hari yang lalu itu. Lantas untuk membalas beberapa pengikutnya, gadis itu menulis satu dua patah kata dan di upload ke ruang media sosialnya lengkap dengan video latihannya beberapa saat yang lalu. Namun belum sempat menekan icon kirim, gadis itu terlebih dahulu melirik temannya yang tiba-tiba memekik.
“Kenapa Pi?” tanya gadis itu.
Yang ditanya sendiri bukannya menjawab malah melirik ke arah pemuda di sampingnya. Asal kalian tahu saja, bukan lirikan yang menyenangkan.
“Apa sih?” Gadis itu kepalang penasaran. Ia melemparkan handuknya ke lantai lalu berjalan ke arah kedua temannya itu.
Upi, yang perempuan mendongak ke arah si gadis dengan tatapan takut. Sedangkan Brian, yang memiliki mata sipit itu juga melakukan hal yang sama.
“Kalian tuh kenapa sih?” Kini ponsel milik Upi berpindah tangan. Gadis itu menatap serius layar sambil sesekali menggulirkan tangannya ke atas guna membaca tulisan yang ada di sana dengan lebih jelas.
“HAH, PLAGIAT? APA-APAAN NIH?”
.
Bandung siang itu entah kenapa sangat panas sekali. Apa lagi jika kamu berada di sebuah garasi yang diubah sedemikan rupa menjadi studio yang pengap.
Bukan konsep yang menyenangkan untuk diingat, tapi tidak tahu kenapa ketiga orang itu begitu betah di sana.
Salah satunya adalah Sadam, pria hitam manis yang kini tengah serius meneliti kabel-kabel yang terpasang di alat-alat recordingnya.
“Asa udah bener da. Anu mana deui anjir nu salah? (kayanya udah bener deh. Yang mana lagi anjir yang salah?)”
Sadam menggaruk kepalanya, ia dan kedua temannya sudah terlalu banyak menghabiskan waktu untuk memperbaiki mic mereka— Mic Sadam lebih tepatnya.
“Coba colokin kabel yang paling depan, Dam!” Seorang gadis dengan wajah bule yang begitu kental muncul dengan sebuah obeng di tangannya, Wyn namanya.
“Udah! Coba nyalain!”
“Tes ... satu ... dua ... tiga ... tes!” Wyn mengetuk-ngetukkan jarinya di atas mic tersebut.
“Kumaha Rul? (Gimana Rul?)” Sadam bertanya kepada Rully, seorang pemuda paling pendek yang duduk di atas kursi.
“Ck, ceuk urang ge mic-na anu goreng. Udahlah meuli deui we! (Ck, kata gw juga mic-nya yang jelek. Udah lah, beli lagi aja!)”
Mendengarnya Sadam hanya bisa mendesah lelah. Rasanya sia-sia saja mengumpulkan kedua temannya itu untuk memperbaiki peralatan recordingnya jika ujung-ujungnya ia harus merogoh kocek lagi untuk mengganti salah satunya.
Pikir Sadam sudah terlalu lama podcast-nya tidak dilanjutkan. Di media sosialnya sudah cukup banyak orang yang menunggu dan menagih kapan podcast miliknya kembali tayang.
Salahnya juga sih. Ia yang sejak SMP dipanggil Si Monster Penghancur itu memang tak pernah bisa menjaga satu barang pun agar awet ditangannya. Terlebih lagi itu adalah barang elektronik.
“Urang beli nu urut wae atuh di Astana Anyar! (Kita beli yang bekas aja lah di Astana Anyar!)” seru Wyn dengan logat sundanya yang aneh. Maklum, SD sampai SMA lelaki itu tinggal di Hongkong, jadi kadang logat sundanya bercampur-campur dengan aksen bule dan Chinese miliknya.
“Tingali ku maneh, itu ge pan karek meuli bulan kamari. Maunya geus rek meuli deui. (Liat sama Lo, itu juga kan baru beli bulan kemarin. Masa udah beli lagi.”
Sadam berkata kesal. Bukan kesal kepada Wyn, lelaki itu kesal kepada dirinya sendiri yang ceroboh terlalu sering.
Wyn akhirnya duduk di samping Sadam, lalu menepuk bahu temannya itu sebelum akhirnya atensi mereka teralihkan ke arah Rully yang jatuh dari kursi.
“Kunaon ari maneh, Rul? (Lo kenapa sih, Rul?)" Sadam bertanya khawatir, sementara Wyn malah tertawa .
“Anjir lah, urang kaget banget liat ini!” Rully membalikkan ponselnya, membuat kini Sadam dan Wyn bisa melihat tulisan besar yang mengawali sebuah utas di salah satu media sosial yang bunyinya, “KETUA CREW DANCE MERAKI ITU PLAGIAT.”
Seketika Sadam dan Wyn pun berpandangan. Keduanya tak tahu apa itu Meraki, namun melihat raut wajah Rully yang begitu keruh, agaknya ini adalah masalah yang cukup serius.