Pukul enam pagi Vanta nyaris melompat dari kasur karena alarm dari ponselnya sudah menjerit nyaring. Ia mengerang pelan, menutup telinganya dengan bantal, sementara sebelah tangan yang lain bergerak meraba ke sekeliling kasur mencari keberadaan ponselnya yang entah di mana.
Vanta masih sangat mengantuk. Semalaman mengerjakan tugas dan sulit tidur karena memikirkan Alvin. Tidak, tidak. Bukan memikirkan seperti itu! Vanta masih penasaran, kenapa cowok itu menunjukkan makam ibunya.
“Ta, bangun. Nanti kamu kesiangan, Sayang. Mama berangkat jam setengah delapan, loh.”
Setelah mendengar alarm paling nyaring, paling hidup, dan paling nyata, mau tak mau Vanta mengerjap membuka mata. Melakukan ritual berguling di kasur sebelum benar-benar bangun.
Alarmnya masih berbunyi. Vanta memasang telinga untuk melacak keberadaan ponselnya. Ditengoknya kolong tempat tidur dan ... benar saja, ponselnya terjatuh di sana. Setelah alarm berhasil dimatikan, Vanta mengambil handuk, langsung melangkah keluar kamar.
Dengan sedikit menyeret langkahnya, Vanta berjalan ke kamar mandi. Tepat sebelum masuk, Mama tiba-tiba memanggilnya.
“Eh Ta, kamu nanti gimana perginya? Kemarin kan motor kamu ditinggal di rumah Jessi?”
Waduh.
Kemarin terpaksa Vanta bohong kepada Mama kalau motornya ditinggal di rumah Jessi karena main ke sana sampai larut. Kemudian supir Jessi yang mengantarkannya pulang. Sekarang ia harus mengarang apa lagi? Kalau dia bilang Jessi akan menjemputnya, tapi nanti tiba-tiba Alvin datang sebelum Mama berangkat, mau jawab apa dia?
“Sama ... ojol, Ma. Iya, naik ojol!”
“Oh ... ya udah sana mandi dulu. Habis itu sarapan.”
Cepat-cepat Vanta masuk ke kamar mandi. Di dalam sana, ia mengelus dada. Vanta tidak mau mamanya tahu soal Alvin. Semoga nanti Mama pergi lebih dulu sebelum cowok itu datang.
***
Selesai mandi dan sarapan, Vanta membereskan peralatan gambarnya ke dalam tas. Menggulung kertas sketsa ke dalam tabung, tak lupa penggaris sepanjang enam puluh senti meter untuk mengerjakan tugas di kampus.
Vanta melirik jam di ponselnya, memikirkan ulang kata-kata Alvin kemarin. Apa cowok itu benar-benar akan menjemputnya? Kalau dia bohong gimana? Sengaja supaya Vanta menunggu dan telat ke kampus. Gelisah juga Vanta menunggu tanpa kepastian. Predikat buruk tentang Alvin masih sangat melekat di kepala. Apa lagi Vanta tidak punya nomor kontak lelaki itu.
Dalam pergumulan, akhirnya Vanta memutuskan untuk tetap menunggu selama beberapa menit. Kalau cowok itu belum datang juga sesuai jam janjian mereka, dia akan langsung memesan ojek online.
“Ta, Mama jalan duluan ya ...” Suara dari ruang tamu membuatnya lega. Vanta bergegas keluar kamar mengantar mama ke halaman.
Beruntung mama pergi lebih dulu. Sekali lagi ia melirik jam. Kembali ke kamar mematut dirinya di cermin. Merapikan lipatan di bagian belakang kausnya yang sedikit terangkat. Walaupun pakaian yang sehari-hari dikenakannya memberikan kesan cuek, tetapi Vanta sangat menomorsatukan kerapian. Semua bajunya selalu licin disetrika rapi. Sepatu-sepatunya dicuci bersih. Tidak ada noda saus di ranselnya. Dalam tingkat kerapian, Vanta termasuk orang yang perfeksionis.
Ketika sedang sibuk memerhatikan dirinya di cermin, sudut matanya menangkap pemandangan di luar jendela kamar. Warna merah yang memantulkan sinar matahari langsung dikenalinya. Vanta kontan bangkit dari kursinya dan menatap ke luar pagar dari jendela kamarnya. Ternyata Alvin benar menjemputnya. Segera disambar tabung dan ransel biru yang biasa dia bawa ke kampus. Melangkah cepat ke luar.
“Gue kira lo lupa,” hardik Vanta ketika cowok itu turun dari mobil.
“Nggak, dong.” Alvin dengan kacamata berlensa gelapnya menatap jam pintar di pergelangan tangan. “Yuk, buruan.” Dibukakannya pintu mobil untuk Vanta.
Hal ini berhasil membuat Vanta tertegun. Setelah dia masuk, Alvin menysulnya masuk ke dalam mobil.
“Ternyata lo nggak ganti mobil. Tapi kemarin lo nggak pake yang ini,” gumam Vanta tidak bermaksud bertanya. Tapi ternyata Alvin menjawab rasa penasarannya.
“Itu bukan mobil gue. Kalo gue pake mobil ini kemarin, baru liat ujung mobil gue aja lo pasti udah pergi dari parkiran.”
Seratus persen benar dugaan Alvin. Tentu saja Vanta tidak akan mau dekat-dekat dengan ’masalah’. Baginya, menghampiri Alvin sama dengan menghampiri musibah.
“Gue kira karena gue pernah bilang mobil lo bikin sakit mata,” gurau Vanta. Wah, apa ini? Dia sudah bisa bercanda dengan Alvin?
“Emang segitu nggak asiknya warna mobil gue?”
“Hmm ... yah ... bukan nggak asik, sih. Agak mencolok aja.” Sangat menyolok lebih tepatnya.
“Oh ... gue berniat ganti, sih,” ujar Alvin mengusap rambut belakangnya.
“Ganti cat?”
“Ganti mobil.”
Vanta menelan ludah. Dalam hati lumayan tercengang. Ini orang ganti mobil aja udah kayak ganti sepatu. Abaikan sajalah dunia orang tajir. Vanta ibarat remahan gorengan yang terbawa angin ke kampus penuh kaum elit.
“Eh, Vin,” panggil Vanta teringat sesuatu.
“Hm?”
“Kemarin itu ...” Berusaha memberanikan diri bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya, tapi masih ragu. Kalau dijawab syukur, kalau nggak dijawab juga nggak apa-apa. “Ng ... maksud gue ....”
“Apa?” Alvin menyela kalimat Vanta yang tak selesai-selesai. ”Lo mau tanya apaan?”
“Yang kemarin itu ... lo pengin gue tutup mulut atau gimana?”
“Kenapa? Lo mau jual berita?”
“Hah?”
“Iya, gue tau di belakang gue anak-anak suka jual berita tentang gue.”
“Ih, pede banget!” Memangnya siapa Alvin sampai orang-orang menjual informasi tentangnya? Artis bukan, boyband juga bukan. “Maksud gue, lo tau, ada ... Jessi. Dia temen gue. Kami suka cerita-cerita tentang banyak hal. Kalo gue keceplosan, nggak pa-pa?”
Sebenarnya, tidak mungkin Vanta keceplosan masalah sensitif seperti itu. Vanta bukan tipe cewek penggosip. Kalau dia seperti ember bocor, seharusnya sudah banyak rahasianya yang terbongkar oleh orang lain. Pertanyaan ini cuma untuk jaga-jaga.
“Lo sendiri, mau gue gimana soal tempat kerja lo?” Alvin balik bertanya. Dan itu bikin Vanta mendelik padanya. Dia baru ingat cowok itu juga memegang kartu AS-nya.
Vanta terdiam. Alvin melanjutkan, “Supaya kita yakin satu sama lain, mulai hari ini lo ke kampus bareng gue.”
“A-apa? Maksudnya ... lo jemput gue lagi besok?” Lelaki di sebelahnya mengangguk. “Terus besoknya, besoknya lagi juga??” Lagi, Alvin membalas dengan anggukan.
“Nggak ada orang lain yang tau soal nyokab gue selain Toto, dia temen gue dari SMP. Kalo sampe bocor, berarti cuma lo tersangkanya.”
Mulut Vanta menganga lebar. Dia menjatuhkan punggungnya ke sandaran bangku, lalu memegangi kepala. Kalau Alvin tidak ingin rahasianya terbongkar, kenapa pula dia memberitahu Vanta, yang secara logika adalah nemesisnya. Setelah semua itu, apa Alvin akan mengawasinya seperti tahanan?
Bagi Vanta, ini terdengar seperti ... bencana!
***
Seisi kampus langsung geger begitu melihat Vanta turun dari mobil Alvin. Banyak mahasiswa menatap Vanta dan Alvin bingung. Ada kabar terbaru apa yang terlewatkan? Kenapa dua orang itu bisa datang bersama? Apa itu bagian dari rencana Alvin lagi? Apa mereka berbaikan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hinggap di kepala orang-orang. Sementara sebagian mahasiswi pemuja Alvin melemparkan pandangan iri, sinis, dan mata membelalak yang seakan mengatakan, “Pengin gue jorokin itu cewek!” ketika Alvin membukakan pintu mobilnya untuk Vanta.
Selama tiga tahun, banyak mahasiswi yang mati-matian mengejar Alvin. Berusaha menarik perhatian cowok itu, sekadar minta dijadikan model tugas untuk bisa ngobrol dengan Alvin─tapi tentu saja permintaan itu langsung ditolak mentah-mentah. Hingga beredarnya rumor Alvin si maho, alias manusia homo. Tetapi sekarang, mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Alvin Geraldy mengantar seorang cewek ke kampus. Cewek yang dijuluki Pepsi Blue dan cewek yang gencar-gencarnya ditindas Alvin pula belakangan ini.
Tidak usah muluk-muluk jadi model tugasnya, bagi para cewek, mengobrol dengan Alvin saja sulit, cuma dibalas sekenanya. Kabarnya, cowok itu akan langsung menjaga jarak beberapa meter dari kaum hawa. Apalagi untuk numpang semobil dengan Alvin, sepanjang sejarah tak pernah ada cewek yang duduk manis di dalam mobil merah eksotisnya—yang kalau kata Vanta bikin sakit mata.
“Kenapa lo?” tanya Alvin melihat Vanta yang menjaga jarak darinya sambil merunduk, persis bulir padi yang terisi.
“Lo jalan aja duluan,” tukas Vanta. Tetapi Alvin malah menunggunya, menyejajari langkah mereka. Melihat itu, Vanta memilih berjalan mendahului Alvin. Namun yang dilakukan cowok itu adalah mempercepat langkah.
“Duh, jangan ikutin gue!”
“Siapa yang ngikutin? Kita kan emang pergi bareng.”
Vanta berhentu melangkah, melotot pada Alvin. “Nggak usah diumbar! Lagian kita nggak sekelas.”
“Teori Warna lo emang siapa yang ngajar sih?”
“Pak Dery,” jawab Vanta melanjutkan langkah. Sudah berusaha sekuat tenaga mengabaikan pandangan orang-orang, tapi tetap saja rasanya Vanta seperti dibidik ratusan lampu pijar, panas.
“Ooh ... asik dia orangnya.”
Asik sih, asik. Tapi kenapa ini kamvret ngikutin terus? Vanta merasa risi jalan bareng Alvin. Setiap kali cowok itu di dekatnya, dia berasa jadi artis dadakan. Orang-orang mengiringinya dengan pandangan mata.
“Terus, lo ngapain di sini? Gue mau masuk kelas,” kata Vanta setibanya mereka di depan pintu. Iya, Alvin mengikutinya sampai depan kelas!
Sudut-sudut bibir lelaki itu mengembang, dan Vanta punya firasat buruk soal ini. “Mau nyapa Pak Dery.”
***
Vanta mengembuskan napas keras. Demi apa pun, dia jadi tontonan teman sekelasnya ketika Alvin mengekor masuk. Dengan santai cowok itu betulan menyapa Pak Dery, setelah Pak Dery menjelaskan singkat tugas untuk hari ini, mereka mengobrol seru di depan kelas. Entah apa yang mereka obrolkan, Vanta terus melirik Alvin, takut kalau cowok itu melakukan hal sinting di kelasnya.
Beruntung, cowok itu pergi setelah menerima telepon. Tidak balik-balik lagi ke kelas Vanta. Akibat perbuatan cowok itu, Vanta diterjang segudang pertanyaan dari teman sekelasnya.
“Ta, itu kating yang bully lo bukan?”
“Kalian udah baikan?”
“Dia ngapain ke kelas kita?”
“Eh gila, dilihat dari deket ganteng banget orangnya!”
Dan macam-macam kalimat lain yang tak sempat Vanta tanggapi karena ponselnya kemudian bergetar.
“Siapa tuh, Ta? Kating tadi?” tanya seorang temannya kepo. Tetapi Vanta hanya membalas dengan senyum tipis dan menggeleng. Karena memang bukan Alvin yang menelepon. Mereka tidak bertukar nomor.
Vanta keluar dan berdiri di samping tembok kelas, menjawab panggilan.
“Lo di mana?” tanya suara datar di ujung telepon.
“Di ... depan kelas,” jawab Vanta setelah mengedarkan pandangan sebentar.
“Ruangan berapa?”
“Lo mau ambil kemeja lo, ya?” Vanta balik bertanya. “Gue yang samperin aja.”
“Nggak pa-pa, gue yang ke situ. Habis ini gue ada pengarahan.”
Akhirnya Vanta memberitahu ruang kelasnya pada Toto. Masuk ke kelas mengambil tas karton di ranselnya dan kembali keluar menunggu cowok itu. Tidak berapa lama, sosok berkulit putih dengan aura setenang padang rumput itu muncul. Vanta memerhatikan Toto berjalan ke arahnya. Rambut Toto lurus rapi, tampak jatuh dan halus dengan gaya poni samping.
“Nih,” ujar Vanta menyerahkan kantong di tangannya. “Sorry ya, jadi ngerepotin. Thanks juga.”
“Never mind,” sahut Toto santai. “Lo belum selesai kelas?”
“Belum nih, mana temen lo bikin ulah pula tadi.”
Sebelas alis Toto terangkat. “Alvin? Kenapa?”
Satu kaki Vanta terayun, menggesek-gesek lantai dengan sol sepatunya. “Bukan bikin ulah yang gimana sih, tapi tiba-tiba dia ngikutin gue ke kelas. Terus anak-anak jadi heboh nanya ini-itu gara-gara dia.”
“Dia ada ngapain lo?” tanya Toto memastikan. Raut cowok itu tampak khawatir.
Khawatir? Yang benar aja? “Nggak ada, sih. Abis ngobrol sama Pak Dery, dia keluar kelas.” Setelah dipikir-pikir, kenapa Vanta malah jadi curhat ke cowok ini?
Toto mengangguk paham, lalu hal yang lebih mengejutkan Vanta tak berheni sampai di sana. “Kalo dia bikin ulah yang aneh-aneh, lo bisa kontek gue.”
“Jadi semacem pawang?” tanya Vanta terkekeh.
“Ya ... sebut aja begitu. Sorry buat kelakuannya selama ini. Mungkin lo pikir gue bilang begini karena gue temennya, tapi sebetulnya dia bukan orang jahat. Terus ... di awal pertemuan kalian ... kayaknya lo salah paham. Dia bukan lagi malakin Nathan. Dia ngadain challenge gitu, deh.”
“Challenge? Maksudnya?” tanya Vanta bingung.
“Challenge yang berhadiah-berhadiah gitu, lo tau? Kalo ada yang tahan disuruh-suruh sama dia, bakal dapet sesuatu sesuai kesepakatan sama orang yang terpilih.”
Orang yang terpilih, bukan orang yang dipilih. Tandanya, ada lebih dari satu orang yang berminat dengan dengan permainan cowok itu. Mulut Vanta ternganga mendengarnya. Dia tidak tahu apakah informasi ini bisa dipercaya atau tidak. Tapi Nathan tidak mengatakan apa-apa padanya. Atau mungkin Nathan sudah mencoba menjelaskan, tapi Vanta yang tidak mendengarkan?
“Memang caranya nggak bagus, cuma karena keisengannya, dia jadi manfaatin orang . Harusnya dia bisa bikin tantangan lain buat giveaway, gue maklum kalo ada yang kesal lihatnya. Gue udah coba obrolin sama anak-anak juga soal itu,” sambung Toto lagi.
Ini hal baru. Semua ini adalah hal baru untuk Vanta. Tiba-tiba terbesit ingatan saat Alvin mengatakan sesuatu tentang Toto. Vanta yang penasaran pun menanyakannya. “Lo temenan sama Alvin dari SMP?”
Kening Toto berkerut. “Tau dari mana?”
“Dia sendiri yang bilang. Jadi, lo mau gue gimana setelah ngasih tau soal ini?”
“Nggak gimana-gimana, sih. Soal itu gue serahin ke lo. Mau tetap benci atau berubah pandangan ke dia, itu hak lo. Mengingat banyak kekacauan yang udah dibuatnya. Tapi, gue cuma mau lurusin satu hal itu aja. Karena itu awal dari permusuhan kalian.”
Karena Vanta hanya diam tanpa merespons, Toto berkata, “Ya udah, lo masuk kelas aja lagi.” Cowok itu lalu meninggalkan Vanta yang masih bergeming di tempat.
***
Toto baru saja berbelok menuju lift, ketika menemukan salah seorang temannya bersandar di dinding dengan kedua tangan bersedekap di depan dada.
“Lo ngapain?”
Sebagai jawaban, Toto mengangkat tas karton yang diberikan Vanta tadi. “Ngambil barang.”
Tatapan Alvin tertuju pada kantong itu, kemudian kembali pada Toto. “Padahal biasanya lo nggak mau pake baju bekas orang lain. Nginap di tempat Edo pun nggak mau pinjem bajunya.”
Sebagai orang yang sudah lama berteman dengan Alvin, Toto paham betul cowok itu sedang uring-uringan sekarang. Toto mengendikkan bahu. “Udah dicuci.”
“Gue lihat lo peduli banget. Jangan bilang lo suka dia?” cecar Alvin.
“Lo sendiri? Kenapa berubah? Udah cari tau tentang dia sampai mana? Lo serius atau cuma ngerasa kasian?”
Kedua tangan Alvin yang terlipat di depan dada seketika terurai. Dia mengepalkan kesepuluh jarinya. Sepasang mata elang Alvin menatap tajam Toto. “Lo udah tau tentang dia rupanya.”
Berbeda dengan Alvin, Toto tampak santai dan amat tenang. Dia bahkan tersenyum. “Lo sendiri yang minta gue cari tau tentang dia.”
Benar. Alvin hampir melupakan fakta penting mengenai julukan Toto, sang informan. “Tapi lo nggak kasih tau soal latar belakangnya.”
“Karena lo cuma mau tau nama dan kelasnya.”
“Gue bilang cari tau tentang dia.”
Lagi, Toto mengendikkan bahu. “Lo udah tau sekarang. Entah karena apa sikap lo ke dia berubah, but ... good luck. Dia bukan orang yang pantas dikasihani. Lo tau sendiri, gimana rasanya dulu? Sebagai orang yang pernah ada di posisi itu, gue harap lo sadar sama maksud dan tujuan lo ke dia.”
Bola mata Alvin melebar. Dia merasa tertohok. Benar apa kata Toto, mengasihani orang lain adalah hal yang membebankan orang tersebut. Seharusnya dia yang paling mengerti. Tidak semua orang butuh rasa kasihan atas apa yang menimpa mereka. Terlebih, sosok perempuan itu kelihatan keras kepala dan tangguh. Jika dia tahu alasan di balik berubahnya sikap Alvin, Vanta pasti akan tersinggung dan marah.
Sejak dulu, Alvin menolak rasa simpati orang lain. Terutama saat mereka datang berbelasungkawa. Tak jarang komentar-komentar mengasihani yang didengarnya hingga ia muak.
“Kasihan ya, masih muda sudah meninggal.”
“Kasihan ya, padahal anaknya masih kecil, tapi sudah ditinggal pergi mamanya.”
“Kasihan ya, cantik, kaya, punya keluarga sempurna, tapi nggak bisa menikmatinya.”
“Kasihan anaknya.”
Sampai rasanya Alvin merasa sesak. Banyak dari mereka melisankan kata kasihan, tetapi tak sungguh-sungguh tahu apa yang dirasakannya.
Alvin masih merenung ketika Toto menepuk bahunya, berjalan melewatinya. “By the way, lo beneran harus ganti challenge kalo nggak mau disiram lemonade lagi.”
Alvin mendengkus, menatap kepergian temannya. Sebelum Toto benar- benar pergi menjauh, Alvin berteriak, ”Thanks, To!”
Tanpa menoleh, Toto mengangkat sebelah tangan, melambai singkat.