Read More >>"> Love Like Lemonade (Part 8) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Like Lemonade
MENU
About Us  

Jessi yang ada di sana hanya bisa ternganga melihat peristiwa spektakuler di hadapannya, membekap mulut dengan kedua tangan. Matanya melebar tidak percaya dengan apa yang ia saksikan. Bahkan semua orang di kantin ikut tercengang, kemudian melihat ke arah Vanta dengan tatapan iba.

Kenyataan itu membuat Vanta kalap, hampir lepas kendali. Ia terpaku karena apa yang dilakukan Alvin. Cowok itu menggunting rambutnya! Rambut panjangnya yang selalu menjuntai melewati bahu. Walaupun pernah berpikir untuk mengubah gaya rambutnya jadi sedikit lebih pendek, tapi bukan begini caranya. Bukan tangan itu yang Vanta harapkan untuk melakukannya.

Keheningan massal di kantin membuat suasana menegang. Seakan hanya ada dua musuh besar itu di sana. Nyatanya, semua mata masih memandang Vanta dan Alvin dengan beragam reaksi. Di tempatnya berpijak, Vanta mati-matian berusaha menahan gejolak emosi yang sudah meluap-luap dengan mengepalkan telapak tangan. Dia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata erat-erat selama sepersekian detik, kemudian menatap Alvin tajam. Setajam sebilah pedang.

”Lo udah gila,” desis Vanta lirih, nyaris seperti bisikan. Dadanya bergerak naik turun menahan marah. Vanta berharap tatapannya mampu mencabik-cabik Alvin saat itu juga.

”Lo bener-bener gila! Kenapa sih, lo segitu nggak sukanya sama gue?!” Kali ini suara Vanta meninggi. “Nggak cukup perbuatan lo kemarin-kemarin? Cuma karena gue udah numpahin lemonade, lantas lo terus-terusan siksa gue begini?” Air mata yang sejak tadi ditahannya menyebabkan wajah dan matanya memerah.

”Lo tuh udah keterlaluan tau, nggak?! Sampe kapan lo mau bales gue karena masalah itu?! Sampe kapan lo bakal berhenti??” jerit Vanta geram sambil menahan isaknya. Dia tidak peduli pada penampilannya sekarang. Rambut yang berantakan dan panjang tak beraturan. Yang dirasakannya hanya kemarahan dan kesedihan.

Alvin maju selangkah, menatap tepat pada manik matanya. ”Sampe gue merasa itu cukup.”

“Gue, benci banget sama lo!” Terdapat penekanan pada setiap kata yang diucapkan Vanta.

Sementara itu Jessi masih terpaku di tempat. Sampai Vanta berbalik dan berlari meninggkalkan kantin, dia baru tersadar dan mengejar sahabatnya.

Vanta masuk dan menutup pintu toilet perempuan. Kedua tangannya bertopang pada wastafel. Ditatapnya pantulan dirinya yang kacau di cermin. Sudut-sudut matanya telah basah. Penglihatannya terhalang oleh kabut di pelupuk mata. Perlahan titik demi titik air mengalir turun, membasahi pipinya. Ia terus mengusap dengan kasar setiap tetes air mata yang luruh. Lelah memendam semuanya, kini tangisnya pecah.

Jessi berhasil mengejar Vanta sampai ke toilet. Namun, ia terlambat untuk ikut masuk. Gadis itu telah mengunci toilet dari dalam. Diketuknya pintu toilet beberapa kali.

“Ta, buka dong.” Satu kali Jessi memanggil.

“....”

“Ta, lo nggak aneh-aneh kan?” Panggilan kedua, Vanta tetap tidak mengeluarkan suara.

“Ta?” Setelah yang ketiga kalinya, samar-samar Jessi mendengar isak tangis Vanta. Hatinya seperti ikut terluka mendengar temannya menangis. Rasa sakit yang dirasakan Vanta seolah dapat ia rasakan. Akhirnya Jessi memutuskan untuk membiarkan Vanta menenangkan diri beberapa waktu. Ia menunggu di depan pintu toilet dengan sabar sampai suara tangisan Vanta berhenti.

“Tata, gue boleh masuk?” tanya Jessi hati-hati dari luar toilet. Namun tetap tidak ada jawaban. Jessi menghela napas. “Lagi nggak ada orang kok, di depan sini.”

Setelah kalimat terakhirnya, Jessi mendengar suara dari dalam toilet. Dan kemudian pintu itu terbuka. Keadaan Vanta membuat Jessi tersengat. Gadis di depannyayang tadi pagi muncul dengan keadaan rapitampak berantakan, begitu kusut, begitu kacau. Matanya sembab dan merah. Segera Jessi memeluk Vanta, mengelus kepala gadis yang lebih tinggi darinya.

“Jangan nangis lagi ya, Ta.”

Tubuh Vanta kaku dalam pelukan. Sadar dengan situasi yang ada, Jessi menarik Vanta masuk lagi ke toilet. Dikeluarkannya tisu dari dalam tas untuk menghapus air mata di pipi Vanta. Selama beberapa saat tidak ada satu pun dari mereka yang bicara. Jessi hanya terus mengelus Vanta, menyalurkan ketenangan pada gadis itu.

“Jes ...,” panggil Vanta dengan suara sengau.

“Ya? Kenapa?”

“Gue mau minta tolong.” Vanta yang semula menyandarkan kepala di bahu Jessi menegakkan badan. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Mata Jessi langsung terbelalak begitu Vanta menyerahkan benda itu. “Potong habis aja, Jes.”

 

***

 

“Bangsat. Lo dapet ilham dari mana, sih? Pake acara gunting-guntingan segala?” Di tempat lain, tanpa Vanta ketahui, ada orang yang marah untuknya. Ada orang yang berdiri di garda depan untuk membelanya.

“Apa, sih? Cuma rambut, nanti juga tumbuh lagi. Gue bukan ngebunuh anak orang, kali. Lagian kenapa lo yang marah?”

Toto yang merasa ulah Alvin keterlaluan kali ini langsung menyeretnya bicara empat mata. Sebelumnya, ia hanya diam dengan ulah-ulah iseng Alvin karena memahami apa yang terjadi pada sahabatnya. Toto tetap berada di sampingnya, membiarkannya dan tidak menegurnya karena dia tahu hanya  itulah satu-satunya pelampiasan Alvin. Tapi melihat masalah yang dibuat Alvin kali ini, dia tidak bisa tutup mata. “Lo emang nggak bunuh dia secara fisik, tapi lo bunuh mentalnya!”

Alvin cukup kaget mendengar kalimat Toto. Cowok itu tidak merespons.

“Dia bisa aja trauma gara-gara lo,” tukas Toto lagi. Dia membuang napas keras, tidak habis pikir. Sebetulnya, kenapa Alvin masih terus mengincar Vanta?

Soal lemonade itu perkara yang tidak seberapa. Toto dan Alvin saling kenal sejak SMP. Walaupun saat itu mereka belum terlalu akrab, sepenglihatan Toto, biasanya Alvin hanya akan mengabaikan seorang cewek yang berulah.

Dalam kasus yang sekarang mungkin berbeda. Vanta bukan berulah untuk menarik perhatian Alvin, apalagi merayunya. Cewek itu murni sebal dengan Alvin. Dan harusnya Alvin cukup mengabaikan satu cewek lagi seperti biasa.

“Lo udah berkali-kali balas dia, harusnya itu udah impas. Lo cuma perlu cuekin dia kalo ketemu. Anggap aja nggak ada atau nggak kenal, sama kayak biasa lo ke cewek-cewek. Sadar nggak sih, ini kayak bukan lo banget.”

Alvin menyugar rambutnya dan bergumam, “Kalo bisa juga udah gue lakuin.”

“Terserah lo, deh. Yang pasti kalo lo bertingkah lebih dari ini, gue nggak bisa tinggal diam. Gue bakal berpihak ke tuh cewek.” Toto mengatakannya dengan wajah tenang, namun nadanya menusuk. Pemuda itu kemudian menepuk pundak Alvin dan berjalan melewatinya.

Alvin diam di tempat. Tak berbalik sedikit pun melihat kepergian Toto. Rahangnya terkatup rapat. Kedua tangannya mengepal erat. Satu tinju lalu melayang ke tembok terdekat.

 

***

 

Vanta baru keluar dari kamar saat hari sudah gelap. Perutnya lapar. Seharian ini menangis membuat energinya terkuras. Ia mengendap-endap di dapur. Barangkali ada sesuatu yang bisa dimakan di sana. Sejak pulang ke rumah, Vanta belum bicara dengan mamanya. Mama sudah ada di rumah ketika Vanta pulang tadi. Dia hanya menyapa singkat dan langsung masuk ke kamar. Mama yang melihat penampilan Vanta saat itu langsung terkejut. Mama pasti khawatir. Tapi Vanta benar-benar tidak ingin bertatap muka dengan siapa pun. Perasaannya masih kacau balau.

“Ta?” Lampu dapur menyala bersamaan panggilan itu. Vanta terhenyak dan menoleh. “Kamu mau makan?” tanya Mama.

“Mmm, iya Ma.” Vanta menarik salah satu kursi di meja makan dan duduk di sana, sementara Mama membuka tudung saji di atas meja. Ada udang goreng mentega dan angsio tahu kesukaan Vanta.

Mama mengambilkan peralatan makan dan mengisi piring dengan lauk dan nasi. Setelah itu memilih duduk di seberang Vanta. “Kok potong rambut?” Pertanyaan yang tak bisa lagi dihindari oleh Vanta.

“Biar nggak ribet aja, Ma, kalo nugas.”

“Tumben nggak bilang-bilang? Biasa soal rambut, mau potong dua senti aja pasti kamu udah heboh galau-galauan di rumah.”

Biasanya, Vanta selalu meminta pendapat Mama untuk hal sekecil apa pun. Meski sudah punya jawaban sendiri, gadis itu tetap cerita lebih dulu untuk sekadar memberi info. Vanta suka mengobrol banyak hal dengan mamanya. Bagi Vanta, Mama adalah orang tua yang sangat pengertian dan selalu mendukungnya. Vanta menyayangi Mama sebesar kasih sayang yang didapatnya. Oleh karena itu, Vanta tidak ingin memuat Mama khawatir dengan menceritakan tentang pertikaiannya dengan Alvin.

Naluri keibuan Mama bekerja. Melihat putri bungsunya diam, pasti ada yang tidak beres. “Ata capek kuliah sambil kerja?”

Vanta segera menggeleng cepat. “Nggak, Ma. Ata sanggup, kok.”

“Kamu tau kan, Mama masih mampu biayain kuliah kamu. Ada Kak Oka juga. Kamu udah berjuang dapat beasiswa, itu lebih dari cukup, Ta. Bukan kewajiban kamu buat kerja. Sekarang, tugas kamu belajar untuk raih cita-cita kamu.”

“Ata yang mau kerja, Ma. Lagian aku bosen kalau lagi nggak ada Mama di rumah. Mama tau sendiri, anak Mama ini nggak bisa diem.”

Mama tersenyum mengusap punggung tangan Vanta sekilas. “Jadi, apa yang bikin kamu potong rambut?”

Bukan apa, melainkan siapa.

Vanta menghela napas, menimbang-nimbang untuk bercerita. “Ada satu orang yang bikin Ata kesel di kampus.” Akhirnya Vanta buka suara. “Awalnya memang aku yang salah, sih, numpahin minuman ke dia. Terus dia nggak terima, sejak itu jadi suka ngerjain Ata. Sampe tadi ... dia nempelin permen karet di bangku yang aku dudukin.”

Mama tampak tenang mendengarkan. Menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Vanta dengan penuh perhatian. “Kamu nggak sengaja numpahin minumnya?”

Ditanya begitu, Vanta tak berani langsung menjawab.

“Sengaja ya?” tanya Mama tersenyum. “Apa alasan kamu numpahin minum ke dia? Anak Mama nggak mungkin marah tanpa alasan.”

“Ata lihat dia ganggu mahasiswa lain di kampus. Dia semena-mena gitu sama temennya, Ata jadi kesal lihat cowok sok bossy. Jadi, refleks Ata ...” Vanta menggantung kalimatnya dan mengendikkan bahu.

Ternyata anak laki-laki, pikir Mama. “Setelah itu kamu udah minta maaf sama dia?”

Kening Vanta berkerut bingung. Jika permintaan maaf pura-puranya di kantin dapat dihitung, berarti dia sudah minta maaf. Tapi maksud permintaan maaf yang ditanyakan Mama pasti bukan yang seperti itu. Permintaan maaf yang sungguh-sungguh dan tulus. Namun tiba-tiba Vanta bergidik membayangkan dirinya meminta maaf pada seorang Alvin. Cowok tengil yang kadar menyebalkannya selangit.

“Kamu tau nggak,” Mama melanjutkan karena Vanta tidak menjawab. “Orang yang pemarah itu sesungguhnya orang yang butuh perhatian dan kurang kasih sayang di rumahnya. Dia memberontak demi mendapat apa yang dia mau. Menurut kamu, orang yang kesepian itu kasihan nggak?”

Vanta menatap Mama selama sepersekian detik, lalu mengangguk.

“Nggak semua orang hidup penuh cinta meski keluarganya lengkap. Nggak semua orang baik-baik aja meski terlihat punya segalanya.”

“Jadi Ata harus gimana, Ma?” tanyanya sambil menatap Mama memelas dengan sepasang mata bulatnya yang hitam.

“Permusuhan kalian nggak akan selesai kalau salah satu dari kalian nggak mencoba berlapang dada dan mengalah. Mama yakin kamu pasti bisa lebih bijak menyikapinya.”

Vanta menunduk menatap piringnya. Rasa marahnya pada Alvin menguap entah ke mana karena terlalu sibuk mencari jawaban. Lebih bijak ya, batinnya dalam hati. Kalau begitu apa yang dilakukannya guna mengakhiri perang mereka?

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka atau bahagia?
3201      1022     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
River Flows in You
698      401     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
KataKu Dalam Hati Season 1
3859      1124     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Let's See!!
1492      727     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
KILLOVE
3336      1098     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Lily
1184      554     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Play Me Your Love Song
3070      1251     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Manuskrip Tanda Tanya
3976      1347     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Demi Keadilan:Azveera's quest
692      384     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...