Achala berjalan santai menyusuri tiap lorong pusat perbelanjaan. Hatinya bahagia sekali memasuki toko yang menyajikan perlengkapan untuk bayi dan ibu hamil. Tidak! Achala tidak sedang mengandung. Ia hanya mencari kado untuk Arika adik sepupunya.
Tiga hari lalu Achala mendapat kabar, bahwasanya sang adik dinyatakan positif hamil, dan usia kandungannya sudah memasuki sepuluh minggu. Achala ingin memberi hadiah selamat atas itu. Membayangkan nantinya anak Arika bisa ia ajarkan memanggilnya dengan sebutan bunda atau mama, sepertinya sangat menyenangkan.
Kapan lagi ia bisa membayangkan perihal itu. Mau berharap itu terjadi dalam rumah tangganya? Boro-boro mengajarkan buah hati mereka, selama mereka menikah saja Lintang belum menyentuhnya sama sekali, bahkan kamar mereka saja terpisah. Pria itu selalu berujar dengan tegas, bahwa kehadiran Achala tak lebih dari peran pengganti. Mau sekeras apa pun Achala menolak jika ia bukan peran pengganti di sini, nyatanya bagi Lintang ada perempuan lain yang menjadi pemeran utama dalam hatinya.
Gerak kaki Achala melambat saat netranya tertarik pada satu setel baju hamil yang terpajang di patung, tangan Achala menyentuh baju itu, memastikan bahan dan kualitasnya sesuai yang ia cari. Lagi-lagi ia tersenyum samar, membayangkan adik sepupunya itu mengenakan baju itu dengan postur tubuh yang tentu berubah. Achala sudah tidak sabar mengusap perut buncit Arika nantinya.
Bahannya bagus, tapi modelnya kurang suka. Ada model yang lain enggak, ya.
Achala tetap memperhatikan baju itu. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari pegawai toko untuk dimintai bantuan, ia ingin bertanya tentang produk ini.
"Mbak," panggil Achala pada seorang pegawai yang sedang berdiri di dekat keranjang kosong.
"Iya, Kak. Ada yang bisa dibantu?" sapa balik sang pegawai dengan ramah.
"Mbak, ini ada ukuran dan warna lain?" tunjuk Achala.
"Oh, kebetulan ini produk baru, warna dan size masih lengkap," ucapnya seraya menunjukkan warna lainnya yang tersedia.
Achala bingung, varian warna begitu menarik perhatian semua. Tangannya masih membolak-balik baju hamil yang masih terbungkus plastik. "Oh, iya, kalau yang itu ada model lain nggak, Mbak? Jangan terlalu rendah bagian dadanya."
"Untuk Kakak, ya? Usia kandungannya berapa bulan, Kak?" tanya pegawai yang seketika membuat Achala kikuk.
"Hmm ... i-itu, Mbak. Bukan untuk saya, tapi adik saya. usia kandungannya sekitar dua setengah bulan."
"Oh, baik. Untuk kado ya, Kakak. Saya sarankan Kakak ambil ukuran ini aja, Kak. Ini bisa dipakai sampai usia kandungannya enam bulan."
"Boleh deh, yang ini aja. Saya ambil dua ya, Mbak. Warna soft blue satu, satu lagi peach."
"Baik, Kak. Tidak sekalian dengan dalaman khusus ibu hamil, Kakak?"
"Saya lihat-lihat dulu ya, Mbak. Kalau tertarik saya ambil juga."
Sang pelayan tersenyum ramah, menuntun Achala ke tempat khusus baju dalam ibu hamil. Seakan itu berbelanja untuk keperluannya sendiri, Acha pun membeli beberapa potong pakaian dalam khusus ibu hamil. Dirasa cukup dengan semua perburuannya untuk hadiah sang adik, Achala membayar semuanya ke kasir. Dan setelahnya, ia berjalan menuju toilet. Masih ada waktu untuk memanjakan diri sebelum kembali memendam sakit batin di rumah Lintang.
Selesai dengan urusan dari bilik toilet, Achala melangkah ke wastafel. Belanjaannya ia simpan di samping atas wastafel. Sejenak ia memperhatikan wajahnya dari pantulan cermin besar di hadapannya, membenahi poninya yang sedikit mengganggu pandangan. Setelahnya ia mencuci tangan hingga.
"Sendirian aja?" sapa seorang wanita yang baru saja datang.
Achala mendongak, menoleh ke samping kanan. Melihat wajah orang di sampingnya kemudia memperhatikan perempuan itu dari pantulan cermin. Tidak ada orang lain selain dirinya dan wanita asing ini, itu berarti dia sedang mengajak Achala berbicara. Sempat mengernyit, Achala tak mengenali siapa perempuan tinggi yang sedang memoles kembali lipstik berwarna merah gelap itu ke bibirnya. Namun, ia seperti pernah melihatnya entah di mana.
"Maaf, kamu ...." Achala memastikan siapa wanita yang tubuhnya dibalut pakaian minim itu.
"Belanja keperluan hamil? Emang sedang hamil? Ah, atau persiapan kalau-kalau nanti Lintang khilaf sama kamu?" Tidak menjawab rasa penasaran Achala, ia justru berkata yang semakin membuat Achala bingung tentang sosok ini.
Dahi Achala berkerut saat wanita asing yang tidak pernah dia temui sebelumnya, tetapi dengan jelas menyebutkan nama Lintang—suaminya. Ucapannya seolah mengetahui yang terjadi pada rumah tangganya dan Lintang.
"Maaf, kamu siapa? Dari mana kamu tahu tentang Mas Lintang?"
Wanita itu memutar tubuhnya menjadi menghadap Achala, menatap remeh. Tangannya dilipat di depan dada. Ia memindai Achala dari atas kepala hingga ujung sepatu Achala. Gerakan menggeleng terlihat jelas. Mungkin ia sedang menertawakan penampilan Achala dalam diam. Ya, Achala akui, gaya berpenampilan mereka sangat bertolak belakang. Namun, setidaknya Achala bisa berbangga hati karena lekuk hingga bagian tubuh yang semestinya tidak diekspos tak ia pamerkan seperti penampilan wanita ini.
"Kenalin, gue Trishia." Kaki jenjangnya melangkah beberapa senti ke depan. "Gue pacar Lintang," bisiknya membuat Achala mengepalkan telapak tangan.
Mata Achala menyorot dari atas hingga ke bawah, perempuan dengan perawakan tinggi, tubuh langsing, rambut terurai panjang, dan wajahnya putih bersih. Sangat cantik, bahkan, kuku-kuku jarinya pun terawat.
Ini yang namanya Trishia. Dia nyaris sempurna. Pantas seperti pernah lihat, tapi lupa di mana. wajar saja Mas Lintang tidak bisa berpaling, dia benar-benar cantik.
"A-aku Acha." Achala sadar sebenarnya, untuk apa ia menyebutkan nama. Trishia bukan sedang mengajaknya berkenalan. Perempuan itu hanya menegaskan pada Achala jika ia adalah wanita yang sangat suaminya cintai.
"Gue tahu lo Acha. Yang gue nggak tahu kenapa orang tuanya Lintang menjodohkan perempuan seperti kamu. Selera ibu Lintang memang sangat aneh."
Achala membasahi bibirnya, ia mau menyela sebenarnya, tapi Achala tak mempunyai keberanian akan itu.
Trishia menyunggingkan senyum miring. "Gue duluan, ya. Oh, iya. Jangan terlalu menghayati peran. Bagi Lintang, gue tetap peran utama dalam hatinya. Sementara lo? Hanya peran pengganti. Tahu, kan, posisi peran pengganti sanagt berbeda level."
Trishia berlalu keluar toilet, kepalan tangan Achala semakin mengetat. Rasanya nyeri sekali mendengar kalimat demi kalimat dari mulut Trishia. Andai ia sedikit mempunyai kebenaran, mungkin ia sudah menarik rambut Trishia atau setidaknya membalas dengan kalimat yang tak kalah pedas pula.
"Aku bukan peran pengganti," cicit Achala lemah.
Bergegas Achala meraih barang belanjaannya di wastafel, bergerak cepat ingin menghampiri Trishia. Namun, dering ponselnya mengurungkan niatnya. Achala meraih ponselnya, secepat mungkin mengangkat panggilan pria itu.
"Halo, Mas?"
"Jangan ganggu urusa gue."
Achala celingukan, mencari barangkali orang yang beberapa saat lalu memberinya peringatan berada di sekitanya. Tetap tak ia temukan Lintang ada di sekitarnya.
Bab pertama udah bikin aku penasaran😭
Comment on chapter Prolog