Patrikor yang menguar menyapa indera penciuman Achala. Netranya masih menatap kosong rerumputan yang tumbuh di halaman belakang, gerakan ayunan yang sedang dia naiki mulai bergerak pelan. Achala menghempaskan napas gusar, merenungi segala yang terjadi pada kehidupan rumah tangganya.
Achala tidak pernah sekali pun menyalahkan orang tuanya ataupun orang tua Lintang, yang telah menjodohkan mereka. Wanita itu percaya, semua yang terjadi padanya dan Lintang adalah pertemuan takdir. Ia harus ikhlas menjalaninya, termasuk asam pahit takdir itu.
Achala menurunkan kakinya dari ayunan rotan, langkahnya dibawa ke meja kecil yang berada tidak jauh dari pintu penghubung ruang tengah dan halaman belakang. Novel roman kesukaannya tersimpan di sana.
Membaca novel dengan menikmati suasana matahari pagi rasanya cukup menyenangkan bagi Achala. Lembar demi lembar ia habiskan, sesekali senyumnya terbit saat membaca barisan kalimat romantis di sana.
"Andai kehidupan rumah tanggaku seperti di dalam novel," gumam Achala menutup novel pada pangkuannya.
Deru mesin mobil terdengar memasuki halaman depan, Achala bergeming sesaat, berusaha menebak siapa kira-kira yang bertamu sepagi ini, bahkan saat matahari pun belum seutuhnya meninggi.
"Mas Lintang? Ah, nggak mungkin."
Achala menebak meski ragu, pasalnya pria itu semalam berkata ia akan tinggal di apartemen untuk beberapa hari ke depan. Apalagi ini adalah weekend, barang mustahil jika Lintang menghabiskan waktu liburnya berada di rumah bersama Achala.
Tidak, Lintang tidak berniat memberitahu itu semua karena ia takut Achala khawatir menunggunya di rumah sendirian. Melainkan, semua itu agar Achala bisa menjawab di mana keberadaan Lintang jika ditanya keluarganya. Padahal, tanpa diberi tahu pun Achala sudah sering berbohong jika menyangkut demi menutupi tentang keberengsekan Lintang.
Langkah Achala tergesa ke ruangan depan. Matanya terbelalak mendapati Lintang yang baru saja masuk, dilihatnya tangan Lintang melonggarkan belitan dasi di lehernya.
"Ma-mas Lintang," lirih Achala memanggil.
Lintang hanya berlalu, Achala berlari kecil menyamakan langkahnya dengan Lintang. "Mas Lintang mau mandi? Aku siapkan air hang,—"
Achala terkejut, wajahnya hampir saja menabrak punggung Lintang. Pria itu berbalik secara tiba-tiba, menatap Achala tanpa ekspresi.
"Berhenti ngikuti aku! Aku muak dengan kamu. Mending kamu siapkan aku sarapan, setelah sarapan siap kamu menyingkir. Jangan menampakkan muka di hadapanku," titah Lintang kemudian dengan nada penuh penekanan.
Achala berbalik bergegas menuju dapur, segera sibuk dengan kegiatan menyiapkan sarapan untuk Lintang. Tiga puluh menit berlalu, selesai juga pekerjaannya. Achala melemparkan pandangannya ke arah tangga, belum ada siluet Lintang turun dari kamarnya.
Langkah ia ayunkan menuju lantai atas, niatnya hendak memberitahu Lintang jika sarapannya sudah siap di meja makan, tetapi baru saja Achala mengangkat tangan berniat mengetuk. Suara benda jatuh membuat gerakan Achala refleks masuk ke kamar Lintang tanpa izin. Achala terkesiap saat netranya menangkap Lintang terhuyung dengan memegang kepalanya.
"Mas Lintang, kenapa? Mas Lintang sakit? Kita ke dokter, ya?" tanya Achala cepat dan penuh rasa khawatir.
Lintang tidak menjawab pertanyaan Achala, jarinya memijat pelipisnya. Matanya tertutup. Achala memberanikan diri, menyentuh bahu pria itu.
"Mas," panggilnya.
Lintang menyentak tangan Achala kuat, tatapan tajamnya menghujam hingga ke ulu hati Achala.
"Jangan lancang, ingat posisi kamu di si—"
"Hanya peran pengganti?" potong Achala cepat. "Memangnya aku nggak bisa dianggap sebagi istri, ya, Mas?"
"Kenapa kamu bebal, sih, Achala. Tidak! Tidak akan pernah bisa. Mau sampai kapan pun, di hati dan hidupku hanya ada nama Trishia!" tegas Lintang membuat jantung Achala teremas nyeri.
Dengan cepat, Achala membalik tubuhnya. Menyembunyikan butiran bening yang siap meluncur jatuh. Achala tergesa ke pintu keluar, tangannya gemetar meraih gagang pintu kamar Lintang.
Jadi, namanya Trishia? Sepanjang pernikahan mereka, Achala memang tahu suaminya punya perempuan lain, bahkan pria itu sendiri yang mengatakannya secara terang-terangan. Namun, tidak untuk namanya. Baru kali ini Lintang dengan lugas menyebutkan nama perempuan. Ulu hati Achala terasa diremas, saat Lintang menegaskan hanya ada satu wanita yang ia akui dalam hidupnya, yaitu kekasihnya bukan Achala.
Sial sekali butiran bening dari pelupuk matanya, sudah ia seka berulangkali, tetapi tetap saja ingin keluar. Meskipun dengan pandangan berkabut, tetapi wanita itu masih tetap menjalankan aktivitasnya di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Lintang, yang entah mau atau tidak pria itu memakannya.
“Aww ….” Achala meringis, pisau yang semula ia gunakan untuk memotong wortel jatuh begitu saja ke lantai.
Perempuan itu terduduk, menatap telunjuk kirinya yang tergores mata pisau. Darah dari luka tersayat itu berdesakan keluar sehingga menetes banyak ke lantai keramik dapur. Achala semakin tergugu, bukan karena rasa pedih pada telunjuknya melainkan pada bagian lain di rongga dadanya.
“Bodoh. Bukannya diobati malah ditangisi. Cengeng banget, sih.”
Sontak Achala menoleh pada sumber suara. Entah ada keperluan apa sehingga pria itu menapakkan kakinya ke dapur. Tak memedulikan Lintang, Achala berdiri di depan wastafel membersihkan lukanya di bawah kucuran air.
“Ibu ngundang makan siang di rumah. Cepat bersiap, nggak perlu repot-repot masak. Aku tidak akan makan masakan kamu.”
Achala memejamkan matanya sejenak. Lintang benar, ia mungkin perempuan bodoh. Sudah tahu suaminya tidak pernah sudi memakan masakannya, tetapi tetap saja ia repot-repot menyajikan itu semua. Padahal, ia sudah tahu ke mana berakhirnya makanan yang ia buat. Kalau tidak ia habiskan sendiri. Ya, kotak sampah tempat terakhir yang paling layak.
Bab pertama udah bikin aku penasaran😭
Comment on chapter Prolog