Achala mendorong troli belanjaannya, melangkah dengan sangat pelan, entah ia takut jika yang dicari terlewat atau memang tubuhnya yang belum sepenuhnya merasa baik. Sejujurnya, ia masih sangat ingin beristirahat di rumah. Namun, stok bahan makanan dan keperluan dapur sudah waktunya untuk diisi ulang. Ia takut jika nanti Lintang akan marah, laki-laki itu sungguh tak perduli Achala sehat atau sakit.
Achala menyusuri lorong di antara rak-rak besar, matanya nanar menyapu tiap rak yang ada di hadapannya, belanja bulanan untuk kebutuhan sehari-hari biasa dia lakukan sendiri, memangnya siapa lagi yang melakukan ini semua. Itu sebabnya, ia harus melawan rasa lemas tubuhnya agar bisa melakukan kegiatan rutin ini.
Wanita itu berjongkok di depan sebuah rak peralatan mandi, memilih sabun mandi yang biasa Lintang pakai. Achala berdecak samar, teringat betapa cerewet suaminya itu dalam hal yang biasa dia gunakan. Contoh kecil seperti sabun mandi, pasta gigi, atau detergen sekalipun.
Tiga hari lalu Achala mengganti sabun mandi Lintang. Alasan pertama karena sabun yang biasa Lintang pakai sedang habis di stok penyimpanan rumah mereka, sementara ia belum berbelanja. Alasan ke dua ia ingin mencoba varian baru yang menurutnya lebih wangi dan segar, cocok sekali untuk Lintang. Namun, niat baik Achala sama sekali tidak dihargai, justru berakhir dengan Lintang yang membanting pintu kamar mandi, mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri dan meninggalkan rumah hingga hari ini belum pulang.
Achala tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, sebisa mungkin akan memilih sesuai merek, varian yang Lintang biasa gunakan. Tangan wanita itu sudah meraih dua botol ukuran besar sabun cair, beberapa pasta gigi dan sikatnya. Achala bangkit dari posisinya, menyimpan barang yang dia ambil ke dalam troli belanjaannya.
"Eh, Mbak Acha. Belanja bulanan, Mbak?" sapa seseorang dengan suara lembut.
Achala menoleh, mendapati wanita paruh baya berdiri di sampingnya. Mendorong troli berisi belanjaan sama sepertinya, bahkan hampir penuh.
"Iya, Bu Dian," sapa balik Achala.
Wanita yang Achala sapa dengan panggilan Bu Dian itu tersenyum ramah. Tidak ada alasan bagi Achala untuk tidak membalas dengan ramah pula.
"Mbak Achala nggak capek? Semalem ada di Bandung. Eh, pagi ini udah belanja bulanan, sendirian lagi."
Achala mengeryitkan dahinya, masih belum paham maksud dari ucapan Bu Dian. Ia mengenal Bu Dian karena sering bertemu saat ada acara pertemuan perusahaan. Suami Bu Dian salah satu kolega di perusahaan Ayah Achala—yang sekarang sedang diambil alih sementara oleh Lintang.
"Suami saya sudah dua hari ada kerjaan di Bandung, ada proyek baru yang mesti ditangani langsung katanya. Sama Mas Lintang juga, 'kan? Suami saya telepon, cerita, semalem lihat Mas Lintang sama Mbak Acha di hotel tempat mereka menginap, tapi katanya samar itu Mbak Acha apa bukan. Maklumlah Mbak, mata suami saya sudah faktor U." Bu Dian menutup mulutnya diiringi kekehan dalam.
Achala hanya mengangguk, tersenyum pahit. "Iya, Bu. Itu saya," kilah Achala.
Masih menahan degupan kencang dari dadanya. Bodoh! Achala tidak mengetahui jika suaminya di Bandung, yang dia tahu mungkin suaminya pulang ke apartemen setelah kejadian sabun mandi. Di sini dia membebani pikirannya dengan rasa bersalah, merasa tidak becus menjadi istri. Namun, ternyata semua hanya alasan semata agar pria itu bisa pergi tanpa harus repot-repot memberitahu Achala.
Lagi pula, sejak kapan Lintang berpamitan pada Achala jika pria itu berpergian, bahkan Achala pernah tak sengaja mendengar perkacapan Lintang dan kekasihnya, justru suaminya itu berpamitan pada wanita yang bukan halal baginya saat akan ke luar kota.
Achala mengencangkan cengkeraman pada pegangan troli. Dia jelas tahu, siapa wanita yang dibawa Lintang ke Bandung yang dilihat suami Bu Dian. Siapa lagi kalau bukan kekasih Lintang. Sungguh … peran istri yang menemani suami yang harusnya Achala lakukan, sudah benar-benar diganti oleh wanita kesayangan Lintang.
“Ya sudah kalau gitu, saya duluan, ya, Bu. Masih mau belanja dapur.” Bu Dian pamit berlalu mendorong trolinya ke arah berlawanan tempat Achala termangu.
Tidak ada suara sahutan dari Achala, ia hanya mengangguk mempersilakan wanita itu berlalu. Pandangan Achala masih fokus pada sabun mandi yang ia pegang, pikirannya menerawang jauh membayangkan betapa beruntungnya wanita itu bisa dicintai suaminya.
Gegas Achala meraih ponselnya dari sling bag miliknya. Mencari nomor Lintang untuk ia hubungi. Biarkan Achala denial untuk kali ini. Bisa saja bukan, apa yang dilihat oleh suami Bu Dian bukan Lintang. Bisa saja dia salah orang. Achala masih mempercayai jika suaminya tidak akan gegabah membawa wanita itu di tengah-tengah orang yang mengenal dia sudah memiliki istri.
Dering ponsel Achala berbunyi panjang, tidak ada sahutan dari seberang sana. Ia kembali melakukan panggilan. Kali ini, panggilan sudah terhubung. Namun, suara lain yang membuat Achala mengenyit dalam. Persis seperti suara perempuan yang beberapa hari lalu terdengar manja.
“Halo? Maaf ini ponsel Mas Lintang, kan? Kamu siapa?”
“Aku Trishia, pacar—ah, nggak. Tunangan. Ya, aku tunangan Lintang.”
Tunangan dari mana? Sejak kapan mereka bertunangan. Achala tahu pernikahan mereka terjadi karena perjodohan. Namun, hubungannya dengan kedua orang tua Lintang baik-baik saja, bahkan mertuanya sangat menyayangi Achala. Tidak mungkin bukan? Kedua orang tua Lintang menyembunyikan ini di belakangnya.
“Oh, baik. Aku cuma nelepon aja. Maaf, aku bukan siapa-siapa Mas Lintang, kok.”
Baru saja Achala menjauhkan ponselnya dari telinga, suara yang ia cari terdengar. Kembali mendekatkan benda canggih itu ke telinga kanannya, ia menunggu kalau pria itu berbicara jika apa yang diucapkan Trishia barusan kesalahan.
“Ada apa? Aku sama pacarku sedang di Bandung. Kita ada kerjaan di sini.”
Kalimat tegas itu menghunus Achala. Apa yang Achala harapkan dari percakapan ini? Bukankah sejak awal pria itu sudah terang-terangan jika ia memiliki kekasih.
“Kapan Mas Lintang pulang? Ibu telepon, katanya kita diundang main ke rumah ibu.”
“Apa urusannya dengan kamu. Aku mau pulang kapan itu terserah aku. Kamu pikir Bandung—Jakarta bisa ditempuh hanya dengan lima menit.”
Panggilan itu terputus sepihak, Achala berbohong tentang undangan orang tuanya. Ia hanya ingin mendengar reaksi Lintang. Apakah pria itu akan segera pulang dan meninggalkan wanita terkasihnya. Namun, nyatanya senyum getir menandakan jika ia kalah telak.
Mengurungkan niatnya berbelanja lebih banyak, Achala mendorong trolinya ke kasir. Belanjanya hari ini hanya perlengkapan Lintang mandi. Untuk apa ia berbelanja kebutuhan dapur. Toh, pria itu tidak ada di rumah. Itu artinya Achala tidak perlu repot-repot memasak. Kalau hanya dirinya saja, makan mi instan pun rasanya cukup.
Pandangan Achala jauh keluar jendela mobil, taksi yang ia tumpangi ini melanju dengan kecepatan sedang. Pikirannya masih terusik oleh pernyataan perempuan kesayangan Lintang, perihal bertunangan. Mengembuskan napas panjang, ia tetap percaya jika yang diucapkan wanita itu hanya karangan semata.
Ponsel di dalam tasnya berdering, merogoh mencari benda canggih itu. Senyum samar tersungging di sudut bibir Achala. Nama yang tentu tidak asing lagi muncul di layar. Menggeser tanda hijau Achala menempelkan ponselnya ke telinga kanan.
“Halo, Affa.”
“Halo, Acha. Hmm … lagi ganggu nggak?”
Achala berdeham. “Aku lagi di taksi, mau pulang habis belanja mingguan.”
“Oh, gitu. Ya, udah nggak apa-apa nanti aja. Aku cuma tiba-tiba kepikiran kamu aja. Kamu sehat, kan, Cha?”
“Fa, kamu di Bandung, kan? Kalau aku minta kamu ke sini segera, kamu bisa nggak?”
Gelak tawa terdengar di seberang sana. “Kamu kira aku punya ilmu teleportasi, Cha? Tapi, kalo memang sangat mendesak aku usahakan Bandung—Jakarta aku jabani. Karena nggak ada yang lebih penting dari sahabat aku yang ini."
Lintang benar, Bandung—Jakarta tidak bisa ditempuh hanya dengan lima menit. Namun, bisakah suaminya itu bertutur seperti sahabatnya Affandra meskipun tidak memiliki ilmu teleportasi, ia tetap akan memprioritaskan Achala. Itu kan Affandra, tetapi tidak dengan Lintang. Prioritas Lintang adalah wanita lain.
Bab pertama udah bikin aku penasaran😭
Comment on chapter Prolog