Bagian Ketiga
✧
Ibu Rum menceritakan semua kejadian semalam pada kakek pemilik toko kelontong. Rum, putrinya menemukan Afuya dan Winter kedinginan di gazebo depan rumahnya. Karena masak kebanyakan, ujung-ujungnya suami dan anak lelakinya tidak jadi pulang ke rumah, akhirnya Afuya dan Winter diajak makan bersama. Mendengar cerita tersebut pria tua itu jadi berempati untuk memperbolehkan kedua remaja SMP tinggal di rumahnya sementara waktu. Berhubung Meira dan suaminya juga telah pindah, kakek sekarang hanyalah sebatang kara.
Pria tua pemilik toko kelontong berjalan lesu ke arah rumah. Ya, sebenernya rumah Afuya juga. Rum masih asyik dengan main air yang digunakan untuk menyiram tanaman. Winter mengajak Afuya sejenak menjauh dari area tadi. Pemuda itu hanya ingin membahas tentang sebuah kejanggalan yang menimpanya saat ini. Ia tak ingin Rum, maupun ibunya yang tidak berhubungan, malah ikut serta masuk dalam keanehan.
Winter memelankan suaranya. "Kamu mengerti sekarang?"
Afuya membalasnya dengan anggukan dan tatapan kosong menghadap kerikil-kerikil di jalanan kecil. "Aku rasa, kita berdua telah masuk di waktu bunda masih belum pindah ke Surabaya. Berarti, apakah yang dikandung bunda tadi adalah diriku?"
Winter mengangguk cepat, seraya tanpa kata pun ia telah menjawab semua keraguan gadis itu dalam kalimat pertanyaannya.
"Jadi, sebenarnya kita di dalam sebuah ilusi, ataukah kita yang tidak nyata?" Afuya mengubah mimik wajahnya panik.
"Kita buktikan setelah ini. Kamu masih percaya padaku, kan?"
Afuya menarik napas sejenak lalu membuangnya dengan lembut. "Kalau Kamu bohong, nanti jadi ayam warna-warni."
"Nggak mau! Jadi keturunan Avatar aja aku mau." Winter membulatkan kedua matanya. Alisnya turun, untuk menampilkan setelan wajah seram dan penolakan terhadap perkataan gadis di depannya.
"Mau ayam warna-warni, Kak!" Tiba saja, percakapan mereka terhenti oleh seorang anak kecil, yang tak lain adalah Rum.
"Rum! Jangan ngagetin seperti itu!" Afuya tampak kesal.
"Hehe... ngomong-ngomong, Rum mengerti kakak dari dua belas tahun yang akan datang nanti." Rum tertawa.
Spontan Afuya dan Winter melotot ke arah anak kecil tersebut. Entah mengapa Rum seakan bukan manusia biasa. Kedua remaja SMP saling bertatapan. Otak mereka penuh tanda tanya. Kepala mereka jika digambarkan pasti dipenuhi burung kecil yang berputar. Sebenarnya Rum ini siapa? Dari awal kemunculannya saja sudah dipenuhi sesuatu yang misterius.
"Tenang saja, anggap Rum sebagai pemandu kalian saat ini, oke. Kita hanya akan berpisah saat malam hari. Selebihnya, Rum akan membimbing jalan kalian untuk pulang kembali."
✧
Rum telah mengikuti ibunya pulang. Sang mentari telah berganti tempat dengan rembulan. Tidak seperti semalam yang hujan tak kunjung berhenti, kali ini sinar benda bulat nan jauh di langit, begitu terang. Afuya dan Winter telah duduk di sofa kayu rumah kakek pemilik toko kelontong. Afuya duduk santai karena sudah terbilang sehari tanpa duduk di sofa tersebut membuat hidupnya tidak lengkap. Duduk di sofa kayu telah menjadi rutinitasnya.
Afuya telah berjanji pada Winter, sementara mereka harus menjadi orang asing. Hanya mereka berdua dengan Rum yang tahu akan keadaan ini. Afuya tidak diperbolehkan untuk mengungkit pertanyaan dan memaksa sang kakek mempercayai gadis itu sebagai cucunya. Mereka berdua tidak mengungkit lagi masalah tadi siang.
Kakek memberikan teh hangat yang baru ia buat di dapur. Afuya yang sebenarnya sudah khatam tentang seluk-beluk rumah, seketika menjadi diam dan bersifat polos selayaknya tamu pada umumnya. Pria tua tersebut menuang teh di gelas terakhir. Dua gelas sebelumnya telah terisi penuh. Air teh hampir melebihi garis pembatas di gelas ketiga. Kakek pemilik rumah memberdirikan kembali posisi ceret yang tadi seakan terjungkal itu.
Dua gelas disodorkan pada kedua tamunya. Afuya dan Winter langsung menyeruput hingga habis tak tersisa. Ketika usai meletakkan gelas kosong itu di atas meja, mereka saling diam. Tanpa ada yang memulai obrolan terlebih dahulu. Kakek terlihat masih menikmati tehnya. Bukan Winter jika dirinya tidak bisa memulai percakapan, walau hanya sekadar kalimat candaan yang begitu singkat.
"Anak Kakek tadi pindah ke Surabaya selamanya?"
"Tidak." Pria tua tersebut meletakkan gelasnya yang masih berisi air teh setengah. "Mungkin beberapa bulan saja. Meira dipaksa suaminya melahirkan di Surabaya karena akses yang lebih mudah. Setelah itu mereka akan kembali, tetapi mungkin beberapa tahun. Karena suami Meira juga kerja di Surabaya."
Afuya mengembuskan napas besar. "Apakah Bun-, maksudku tante Meira menikah di tiga November tahun lalu?" Pertanyaan Afuya membuat Winter maupun kakek langsung beralih memandangnya.
"Afufu!" Winter memasang kekecewaannya. "Kita 'kan, sudah berjanji."
"Kamu tau dari mana?" tanya kakek membuat topik obrolan semakin menegangkan.
"Ah... iya, tadi kita nggak sengaja baca album nikah milik tante Meira dan suaminya," sela Winter mencoba mengalihkan kakek yang mulai curiga. "Maafkan kami, Kek." lanjutnya.
"Tidak apa-apa. Sudah lumayan malam, kalian cepatlah tidur. Ada dua kamar kosong, satu kamar ini, satu lagi kamar Meira. Besok jika kalian ingin ke ladang, kita berangkat pagi-pagi," titah pria tua pemilik toko kelontong itu sebelum beranjak berdiri lalu meninggalkan mereka berdua.
Afuya menoleh ke arah sebuah kamar di sebelah kiri ruang tamu tepat menghadap pintu utama.
Kamar ini selanjutnya akan menjadi kamarku kelak.