Bagian Kedua
✧
Rum dan ibunya tidur di kamar. Sementara Afuya dan Winter diberikan kasus untuk tidur di depan televisi. Sebelum kantuk sama-sama menjemput mereka, Winter mengajak Afuya masuk ke dalam sesi percakapan singkat sebelum tertidur. Walau mereka sekarang sedang berbaring dengan jarak lumayan jauh, mereka berdua masih bisa saling menyahuti percakapan satu sama lain.
"Ibunya Rum mirip dengan Tante Eryn, ya," ucap Afuya yang tidak diterka tepat sasaran oleh lawan bicaranya.
"Sayangnya, bibiku terlalu kurus seperti orang kekurangan gizi," timpal Winter seperti tidak ada dosa ketika bicara.
"Ey...! Bukan itu maksudku. Tapi, baik dan ramahnya seperti tante Eryn." Afuya memalingkan wajah dan badannya membelakangi Winter.
Pemuda itu malah tersenyum girang. "Kamu lucu Afufu."
"Afuya!"
"Afufu...."
"Afuya!"
"Afufu!"
"Afuya!"
"Afufu...."
Perdebatan antara penyebutan Afuya dengan Afufu berulang kali mereka saling bersahutan. Mungkin jika dihitung, ada sekitar lima puluh dua untuk satu orang. Berarti jika saling bersahutan mungkin jumlah kata dalam pertengkaran mereka mencapai seratus empat kali. Akhirnya kantuk menguasai kesadaran. Afuya lebih dulu tertidur pulas. Winter yang merasa letih juga memutuskan segera menyusul gadis di sebelahnya.
✧
Pagi telah tiba. Suara ayam berkokok saling bersahutan. Rum telah siap berada di luar rumah. Afuya dan Winter menyelesaikan agenda sarapan kemudian membantu wanita pemilik rumah tersebut membersihkan alat makan. Setelah semuanya beres, mereka berempat berangkat menuju desa sebelah. Berjalan ke arah kanan dari rumah tersebut. Benar kata Winter, mau tak mau mereka tetap akan masuk lebih dalam.
Suasananya begitu tidak asing di mata kedua muda-mudi itu. Ini sungguh desa tempat Afuya tinggal. Tidak lama mereka berjalan santai sambil melihat pemandangan ladang yang begitu menyejukkan hati. Sesekali ibu Rum membalas dan saling menyapa orang-orang yang akan menuju ke ladang untuk bekerja. Rum berjalan sembari berjinjit ria karena memiliki teman baru.
Seusai melewati gapura desa, sampailah mereka di simpang tiga. Afuya dan Winter tertuju pada rencana pertama untuk ke toko kelontong terlebih dahulu guna mengecek tas ransel dan keadaan pintu di balik rak kayu mie instan. Tanpa berlama lagi, mereka berempat langsung menuju ke toko kelontong. Dilihatnya pria tua pemilik toko, Afuya langsung mengubah ekspresinya. Takut jikalau sang kakek tahu apa yang telah dilakukannya bersama Winter.
Jarak mereka berempat dengan kakek yang sembari menyiram tanaman di depan toko kelontong semakin dekat. Ibu Rum lebih dahulu menyapa pria tua tersebut diikuti Rum yang meminta sebuah selang air untuk menggantikan kakek menyiram bunga. Afuya dan Winter saling berdempetan. Mereka sekolah Salang kontak mata untuk meyakinkan satu sama lain.
Waktu pria tua itu menoleh ke belakang, justru senyum singkat di wajahnya yang terlihat begitu ramah dilukiskan untuk kedua anak SMP tersebut. Afuya dan Winter merasa aneh. Mereka pikir, sang kakek itu memang sudah membiarkan jika cucunya mengetahui sebuah rahasia yang disembunyikan.
Afuya membuang napasnya lega. "Kakek," sapanya pada pria tua itu.
"Wah, Rum, mereka temanmu? Kita kedatangan tamu dari mana ini, menggunakan seragam sekolah yang bagus?" ucapan sang kakek membuat abusa melongo disertai matanya yang membulat. Winter juga demikian.
"Kakek, ini Puya! Cucu Kakek!" Afuya menyergah kalimat kakeknya.
"Cucuku? Puya? Siapa?" Pria tua itu berjalan ke arah Afuya sembari melihat kedua anak SMP itu secara bergantian. "Aku belum punya cucu, Nak. Anakku saja baru menikah dan usia kandungannya masih tujuh bulan."
Afuya beserta Winter semakin dibuatnya ganjal. Mereka tidak mengerti apa maksud dari sang kakek. Pada intinya, Winter menyimpulkan kembali bahwa mereka berada di tempat yang sama melainkan tidak di waktu yang sama. Pria tua yang dianggap kakek pemilik toko kelontong tersebut pun tidak mengenal mereka berdua. Apakah sebenarnya Afuya dan Winter tersesat di tahun sebelumnya? Ataukah semua itu hanya ilusi?
Afuya mencoba melontarkan kalimat meyakinkannya lagi pada kakeknya. Namun, Winter langsung memegang pergelangan tangan kirinya guna memberikan kode pada Afuya agar tidak berlanjut. Sebagaimanapun, pria tua itu tidak akan langsung percaya. Jika mereka sendiri belum bisa memastikan keadaan yang sengguhnya apa yang sedang mereka berdua dan semuanya alami. Mereka saling diam.
Beberapa menit berlalu, sebuah mobil berisi empat kursi bewarna putih berhenti tepat di depan toko kelontong. Pintu kiri bagian depan terbuka, keluarlah seorang wanita berusia dua puluh lima tahun. Perut yang terlihat berisi calon manusia tersebut terbentuk jelas. Afuya melotot. Wanita itu adalah seorang yang lama hidup bersamanya. Dia adalah Meira, ibunda Afuya. Winter yang merasa mengenal wanita tersebut tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Wanita itu berjalan ke arah pria tua pemilik toko kelontong. Semakin dekat, Afuya langsung bergejolak untuk melontarkan banyak pertanyaannya. "Bunda!"
Afuya ingin memeluk erat Meira, tetapi tangan gadis itu lebih dahulu ditepis oleh wanita tersebut. "Siapa, ya?"
"Bun, ini Afuya. Bunda lupa? Ini Afuya putri Bunda." Afuya beralih mengenalkan pemuda di sampingnya. "Lalu ini Winter. Bunda pernah memarahinya. Bunda ingat?"
"Saya baru menikah, mana mungkin saya memiliki anak sebesar Kamu," timpal Meira membuat jantung Afuya seakan ditusuk oleh beribu belati tajam.
Wanita tersebut tidak menggubris gadis dan pemuda SMP itu. Ia beralih tertuju pada pria tua di sebelah muda-mudi. Tanpa obrolan singkat, pada intinya Meira minta izin pada sang ayah untuk pindah tempat tinggal ke kota. Setelah berpelukan sejenak, wanita itu langsung kembali masuk ke dalam mobil putih. Kaca mobil diturunkan, sehingga dapat menyaksikan dengan jelas, siapa saja yang ada di dalamnya. Meira melambaikan tangan kemudian muncul seorang lelaki di sela-sela Meira, juga ikut melambaikan tangannya.
Jantung Afuya terasa loncat. Itu ayah.
"Kalau cucuku sudah lahir, jangan lupa di bawa ke sini, ya, Ra! Deri jaga istri dan anakmu!" Pria tua itu sedikit berteriak. Kalimat yang dilontarkannya menjadi bentuk akhiran perpisahan mengiringi mobil putih tersebut yang semakin kecil.
Aku ingat.