Bagian Ketiga
✧
"Berhenti!" teriak Afuya sembari mengulangi beberapa kali genggaman kerikit yang ia lempar ke arah Winter.
Merasa sudah puas telah mengusili gadis itu, Winter memutuskan berhenti mengayuh. Saat itulah Afuya berlarian memperpendek jaraknya dengan pemuda yang membawa sepeda miliknya. Titik pandangan Winter tak bisa lepas dari gadis yang mendekat ke arahnya itu. Ketika berlari, poni dan rambut Afuya tertiup oleh semilir angin sore begitu menyejukkan.
"Kasar," kesan Winter untuk gadis pemilik sepeda.
"Turun!" Afuya masih ingin merebut barang miliknya.
Winter memberikan kode dengan menepuk-tepuk pelan sadel belang agar gadis tersebut kembali duduk, sehingga dia bisa menggoncengnya dengan aman. Namun, Afuya menolak dan tetap ingin duduk di sadel depan. Bukan karena itu sebenarnya, tetapi agar Winter kembali pulang ke rumah Eryn dan ia bisa pulang sendiri dengan tenang.
"Rumahmu, masih jauh?" tanya Winter basa-basi.
"Iya."
"Yaudah, ayo duduk sini. Atau mau jalan kaki aja biar aku yang naik sepeda?"
Mendengar kalimat Winter yang seakan tidak tahu diri itu, membuat Afuya semakin geram. Ingin rasanya menerkam remaja lelaki tersebut jika saja ia bukan golongan dari manusia. Dengan terpaksa, akhirnya Afuya mulai luluh duduk di sadel belakang. Ia begitu pusing memikirkan alasan serta penjelasan yang tepat pada sang bunda akan Winter ikut pulang. Afuya berharap sangat, semoga kakeknya ada di rumah agar ia bisa meminta penjelasan untuk membantu perlindungan terhadap marahnya Meira.
Seusai melewati perladangan luas, hijau yang kian menguning melambai senang mengikuti irama angin. Tidak banyak dari obrolan mereka, Afuya lebih memilih berpikir untuk mendapatkan alasan yang tepat. Hingga sampailah mereka berdua di depan rumah Meira. Sepi. Hal pertama yang Winter rasakan, hampir sama dengan suasana di rumah Eryn. Sepi dan sunyi. Begitu menenangkan. Hanya saja, rumah di hadapannya ini lebih kecil dan sederhana dibandingkan rumah Eryn yang tergolong orang berpunya.
Afuya turun dari sepeda kemudian meminta pemuda yang bersamanya tersebut untuk menyandarkan sepeda di dekat pohon besar depan rumahnya. Gadis itu sejenak menoleh kanan-kiri memastikan keberadaan sang bunda. Namun, tidak kunjung ia temukan. Bahkan di jendela samping rumahnya yang langsung menghubungkan dengan dapur pembuatan roti pun juga tidak terlihat Meira sedang beradu dengan bahan-bahan roti.
Winter mengikuti setiap langkah Afuya. Mereka berdua seperti anak-anak yang sedang bermain petak umpet. Hingga tiba saja mereka dikagetkan oleh suara yang tidak asing lagi bagi Afuya.
"Afuya!" Wanita itu berjalan mendekati dua anak SMP tersebut lalu menarik lengan anak gadisnya.
"Bu-bunda...," Afuya bergidik ketakukan. Ekspresinya tak karuan.
Meira terlihat begitu marah. "Sudah berapa kali Bunda bilang! Jangan coba-coba Kamu membohongi Bunda!"
"Tapi, Bun, dia...."
"Dia apa!" Meira beralih meluapkan emosinya itu pada Winter. "Kamu 'kok, mau jauh-jauh ke sini! Afuya nggak boleh kenal lelaki dulu, dia harus fokus sekolah!"
"Saya dari desa sebelah, Tante," jawab Winter diiringi senyumnya yang manis. Namun, hal itu tidak membuat Meira merasa lebih tenang.
"Oh... silakan pulang. Saya tidak menerima tamu hari ini." Wanita itu langsung menyeret lengan anak gadisnya untuk masuk ke rumah.
"Bun, dengarkan dulu Afuya." Afuya masih berusaha untuk menjelaskan tujuan Winter adalah mengajarinya mata pelajaran matematika, tidak lebih dari itu. Akan tetapi, yang namanya sudah marah, akan sulit untuk mendengarkan siapapun.
"Masuk!" perintah Meira menutup pintu dengan keras hingga menghasilkan bunyi yang cukup fenomenal.
Brak....
Sedangkan Winter yang masih berdiri di dekat pohon, menjadi bingung harus melakukan apa. Ia mulai merasa bersalah pada Afuya karena dirinya yang memaksa untuk ikut ke rumah gadis tersebut. Setelah melihat betapa keras dan tidak maunya Meira mendengar anaknya, tak membuat mental Winter semakin ciut. Namun, remaja itu malah tambah semangat untuk mengejar Afuya dan meluluhkan hati Meira.
Karena tidak akan ada kepastian serta tanda-tanda Afuya akan keluar rumah, Winter memutuskan untuk kembali pulang ke rumah Eryn dengan jalan kaki. Meskipun lumayan jauh, sekitar lima belas menit kalau naik sepeda, kemungkinan besar ia akan sampai di rumah bibinya hampir tiga puluh menit kemudian.
Winter sudah beberapa langkah meninggalkan gapura desa dekat dengan rumah Afuya. Pemuda itu berjalan sembari menendang pelan kerikil di dekat sepatutnya. Seperti menggiring bola sempari jalan. Tiba-tiba saja, ia dihentikan oleh panggilan seseorang. Mendengar hal itu, Winter langsung menepi ke sebuah bangunan gazebo kecil dari bambu di atas selokan yang menghubungkan jalan dan ladang.
"Temannya Afuya?" tanya pria tua yang sedang duduk sendirian di gazebo sembari menikmati lalapan sayur dengan cocolan sambal.
Winter mendekat, memutuskan untuk ikut duduk. "Iya, Kek. Kakek tahu?"
"Afuya itu cucu saya. Tadi saya lihat Kamu pakai seragam sama seperti Afuya. Tinggal di mana Kamu, Nak?" Pria tua itu menyodorkan beberapa sayur segar dan sambal lalapannya pada remaja lelaki tersebut.
Winter menunjuk ke arah desa tempat tinggal Eryn. Kakek langsung tahu, karena mereka masih satu kecamatan yang sama. Pria tua itu memancing Winter agar bercerita tentang kedekatannya dengan Afuya. Sesama lelaki, Winter akhirnya menceritakan semua kejadian dengan Afuya. Bukannya marah atau melarangnya, kakek justru tertawa saat pemuda tersebut bercerita dengan jujur. Kakek menganggap bahwa hal itu wajar di usia remaja seperti mereka. Meira yang salah karena begitu mengekang Afuya untuk tidak bergaul dengan laki-laki.
"Kalau Kamu mau main ke sini lagi, jangan langsung ke rumah. Pergilah ke toko kelontong, nanti Kalian bisa bertemu di sana."
Winter berpikir sejenak. Sarang dari kakek Afuya memang bisa menjadi opsi yang tepat. "Di mana toko kelontongnya, Kek?" tanya Winter sembari mencicipi lalapan yang disuguhkan.
Pria tua itu menunjuk ke arah desanya. Tepat di sudut menghadap jalan membelakangi perladangan yang begitu luas. "Itu... Afuya selalu main ke sana."
Winter tidak mengambil pusing dan membertimbangkan saran sang kakek. Karena waktu sudah menunjukkan senja akan berakhir sebentar lagi, Winter memutuskan untuk berpamitan dan segera pulang. Mengingat dirinya juga akan pulang ke rumah Eryn dengan jalan kaki. Namun, sebelum beranjak dan berjalan meninggalkan gazebo, winter dihentikan oleh kakek Afuya sejenak.
Pemuda itu tidak berpikir bahwasannya, pria tua tersebut telah membungkuskan beberapa jenis sayuran yang baru dipetik. Langsung saja, kekek Afuya memberikannya pada Winter sebagai bentuk buah tangan. Winter sempat menolaknya beberapa kali, tetapi pria itu tetap memaksa. Akhirnya, Winter pulang dengan berjalan kaki tidak hanya membawa badan dan ranselnya saja. Sekantong buah tangan dari kekek Afuya ikut serta mendampinginya menghabiskan waktu senja.