Bagian Keempat
✧
Sekitar sepuluh menit lebih, Afuya dan Winter telah sampai di sebuah rumah minimalis bewarna biru muda. Banyak tanaman hias mulai dari bunga dan tanaman produktif seperti buah-buahan beri. Rumah tersebut berjarak jauh dari tetangga lainnya. Menghadap ke arah timur dengan pemandangan langsung perladangan luas. Berpagar dari batu bata tanpa penutup dan penguncinya. Winter mendahului langkah. Kemudian diikuti Afuya sembari menuntun sepeda butut milik kakek.
"Tunggu sini sebentar, aku ambil alat dulu," ucap Winter lalu hempas masuk ke rumah.
Afuya yang baru melewati pagar pembatas dan memasuki halaman rumah minimalis tersebut langsung duduk di lantai. Sementara di dalam rumah, Winter berpapasan dengan seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun, hampir seumuran dengan ibunya Afuya. Otomatis wanita itu langsung memberikan sapaan pada keponakannya yang baru pulang sekolah sudah lari terburu-buru menuju gudang.
"Win, ada apa?"
"Rantai sepeda teman copot, Bi. Mau bantu benerin," jawab Winter sembari membongkar beberapa isi di kotak peralatan.
"Lho 'kok, nggak disuruh masuk dulu temannya." Sebelum pemuda itu menanggapi, wanita yang disapa bibi itu langsung berjalan ke arah pintu utama.
Afuya yang duduk terdiam sembari menikmati angin sejuk sore membuatnya lega. Entah rasa suntuk dan lelah setiap hari di sekolah, terbalaskan ketika pulang sekolah menikmati udara dan pemandangan ladang yang hijau segar. Namun, lamunannya dibuyarkan oleh seorang wanita pemilik rumah yang sedang membawa nampan berisi dua gelas es teh. Wanita itu masih menggunakan baju santai ala wanita desa pada umumnya serta celemek yang masih mengikat di tubuhnya.
"Eh... lah, dalah, pacare Winter, tho."
Afuya spontan menoleh ke belakang mencari sumber suara. "Bukan, Bu," timpalnya.
"Tante aja, saya 'lho, bibinya Winter."
"Iya, Tante."
"Iya apa? Iya bener pacarnya Winter, ya?"
Afuya sungguh muak dengan perkiraan orang-orang. Pasalnya, belum genap sehari dirinya kenal dengan Winter. Namun, gadis itu sudah mendapatkan julukan 'pacarnya Winter' tiga kali. Kesal campur marah, telah lelah jika akan mendengarnya lagi. Apakah ia secocok itu dengan Winter? Atau jangan-jangan auranya Winter memang menjelaskan bahwa mereka seperti sepasang kekasih? Afuya berkali-kali kerap bertanya pada pikirannya sendiri. Meminta bantuan Winter juga tak mungkin, sebab pemuda tersebut malah diam saja tanpa penolakan.
Pemuda yang dibicarakan tadi telah hadir membawa beberapa alat untuk membenarkan rantai sepeda yang terlepas. Afuya tak lagi menanggapi bibinya Winter yang seakan terus meterror-nya. Biarkan saja, nanti juga lelah sendiri, batin Afuya. Winter mulai melaksanakan aksinya. Membuka penutup di bagian rantai dengan obeng, kemudian barulah ia memposisikan kembali rantai pada tempatnya. Beberapa kali dicoba mengayuhkan sepeda yang masih berdiri sebab penopangnya, melalui pedal yang terus diputar. Meskipun suara serat akibat kekurang oli, Winter melanjutkan dengan menutup kembali penutup rantai.
"Win, nggak ganti baju dulu. Seragam putihmu kotor!" Nasihat dari wanita pemilik rumah.
"Sudah beres. Nanggung, Bi. Kasian dia kelamaan nunggu." Winter menyeka beberapa keringan di dahinya. "Bilang apa dulu?" Lanjut Winter berjalan menuju Afuya dan mengambil segelas es teh.
Afuya berdiri. "Terima kasih."
"Eh... Mau pulang? Es tehnya diminum dulu. Sudah sore, mau makan sekalian?" Wanita pemilih rumah menawarkan Afuya untuk tinggal lebih lama lagi di sana.
"Sudah, Bi, terima kasih. Tidak perlu repot-repot," jawab Afuya tetap teguh ingin segera pulang.
Winter berdiri dari posisi duduknya lalu menarik lengan Afuya dan membawanya duduk. "Diminum dulu. Nggak baik kalau langsung nolak gitu."
Afuya memasang wajah datarnya kembali. Sebenarnya ia penuh emosi dan ingin segera menerkam Winter dengan cakar-cakarannya ibarat harimau yang mengamuk. Namun, dirinya terlalu lelah dan kesal yang begitu besar sehingga mengibaratkan pun susah. Afuya senyum terpaksa sembari perlahan duduk dan meraih segelas es teh. Winter menyodorkannya agar Afuya tidak terlalu jauh mengambil. Teguk demi teguk telah lolos di kerongkongan gadis tersebut. Hingga segelas setinggi lima belas sentimeter itu, isinya bersih tanpa sisa.
Afuya kembali berdiri. "Terima kasih, izin pamit pulang, ya, Tante dan Winter."
"Makan dulu, yuk. Masakan Tante sudah matang," bujuk wanita pemilik rumah agar gadis tersebut tidak jadi pulang.
"Terima kasih banyak. Bunda sudah menunggu di rumah." Afuya tetap melakukan penolakan.
"Yaudah, kapan-kapan aja mampir lagi ke sini, ya. Win, anterin dia pulang."
Afuya terkejut, kedua matanya sedikit melotot beberapa saat. "Nggak perlu, Tante. Aku bisa pulang sendiri."
Namun, pemuda itu tetap berdiri dan segera berjalan ke sepeda milik Afuya. Otomatis gadis tersebut langsung berlari juga dan menggenggam setir tanpa memberikan celah untuk Winter. Mereka berdua seakan seperti anak balita yang berebut mainan. Melihat hal itu, Bibi Winter tersenyum bahagia. Entah mengapa rasanya melihat anak muda sekarang memang menggemaskan.
Dirinya yang sampai sekarang masih belum menikah di usia lebih dari tiga puluh tahun tersebut membuat dicap oleh sebagian orang dengan sebutan 'perawan tua'. Padahal, ia sendiri tak menghiraukannya. Sebab menikah bukan karena usia, tetapi karena kesiapan mental, batin raga dan segalanya. Wanita pemilih rumah itu bernama Eryn. Berkulit sawo matang, tergolong manis dan wajahnya tidak membosankan.
Kembali lagi pada dua muda-mudi SMP itu. Winter makin asik menggoda Afuya dengan merebut setir sepeda kemudian menarik sepeda Afuya agar tak jalan saat gadis itu mulai menuntunnya. Winter memang begitu usil. Namun, meskipun targetnya salah, sebab Afuya adalah gadis yang mudah marah dan tidak kalem. Winter tetap tidak menyerah untuk terus berbuat usil pada gadis tersebut.
"Winter! Cukup 'deh, lepasin! Aku bilangin ke bunda nanti!" Afuya berteriak di jalanan tepat dengan rumah Eryn.
"Afufu cupu!" Winter tertawa renyah. "Masa gini doang ngadu ke mama."
"Kalau suka sama sepeda butut kakek, bilang! Bawa aja biar aku pulang jalan kaki!" Afuya berteriak semakin kencang karena sudah begitu emosi dengan kelakuan pemuda yang baru dikenalnya itu.
Winter masih tak berhenti tertawa. "Kasian, yaudah sana pulang. Hati-hati di jalan, ya, Afufu."
"Afuya!"
"Afufu!"
Winter sudah mengalah dan membiarkan Afuya mulai mengayuh sepedanya. Pemuda itu masih berdiri menghadap arah selatan menyaksikan punggung Afuya mulai mengecil dan lama-kelamaan begitu buram dan tidak kelihatan. Winter tersenyum tampan. Bagi kebanyak orang mengira, bahwa dirinya mungkin sudah terlihat siswa SMA yang masih masa pertumbuhan. Setelah Afuya dipastikan tak dapat diterka lagi oleh sepasang matanya, Winter kembali memasuki halaman rumah bibinya yang begitu indah.
✧
Afuya menyandarkan sepeda butut milik kakeknya itu di pohon mangga tepat di depan rumahnya pada bagian belah pintu sedikit jauhan. Entah mengapa yang semula ia merasa kesal dan penuh amarah saat dijahilin oleh seorang pemuda kelas 9-A, sekarang Afuya malah kepikiran dan senyam-senyum sendiri. Kedatangan Afuya disaksikan secara langsung dari jendela yang terbuka tempat bundanya membuat aneka roti. Bergegas Meira keluar untuk mengintrogasi anak gadisnya.
"Dari mana saja sampai jam lima sore? Biasanya 'kan, jam empat sudah sampai rumah. Ditelepon dari aplikasi nggak diangkat. Bunda nggak punya pulsa bisa buat telepon nomor ponsel Kamu."
"Bunda tenang dulu, kuota internet Afuya habis. Tadi rantai sepeda butut milik kakek lepas. Untung saja, ada anak kelas sembilan dari sekolah yang sama dengan Afuya membantu," jelas Afuya sembari meraih tangan kanan Meira dan mencium punggung tangannya.
"Pasti laki-laki, kan?" tanya Meira lagi.
"Iya, Bun," sahut Afuya lirih seperti sedikit takut.
"Sudah Bunda bilang berapa kali? Jangan deket sama laki-laki! Kamu itu masih kelas satu SMP! Nanti kalau terjadi apa-apa, siapa yang salah? Lelaki itu nggak mau disalahkan." Meira naik pitam dan langsung memarahi putrinya.
"Bunda dengar dulu. Tadi Afuya hanya ditolongin doang. Syukur 'dong, Afuya tidak pulang jalan kaki sambil menuntun sepeda." Mood Afuya hari ini begitu berantakan. Baik kemudian buruk, lalu silih berganti baik dan kembali buruk.
"Sama saja! Bunda lebih setuju kalau jalan kaki," timpal Meira membuat Afuya semakin merah padam.
"Bunda ngomong gini karena Bunda nyalahin ayah, kan? Bunda mengira bahwa semua laki-laki itu seperti ayah," Afuya tak sanggup jika harus berdebat dengan bundanya. Sehingga selepas melontarkan dua kalimat itu, Afuya langsung masuk rumah meninggalkan sang bunda sendirian.
"Afuya! Sudah berani Kamu ngomong gitu ke Bunda!" bentak Meira tak mendapatkan respon sama sekali dari anak gadisnya.