Loading...
Logo TinLit
Read Story - Toko Kelontong di Sudut Desa
MENU
About Us  

Bagian Keempat

Sekitar sepuluh menit lebih, Afuya dan Winter telah sampai di sebuah rumah minimalis bewarna biru muda. Banyak tanaman hias mulai dari bunga dan tanaman produktif seperti buah-buahan beri. Rumah tersebut berjarak jauh dari tetangga lainnya. Menghadap ke arah timur  dengan pemandangan langsung perladangan luas. Berpagar dari batu bata tanpa penutup dan penguncinya. Winter mendahului langkah. Kemudian diikuti Afuya sembari menuntun sepeda butut milik kakek. 

"Tunggu sini sebentar, aku ambil alat dulu," ucap Winter lalu hempas masuk ke rumah. 

Afuya yang baru melewati pagar pembatas dan memasuki halaman rumah minimalis tersebut langsung duduk di lantai. Sementara di dalam rumah, Winter berpapasan dengan seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun, hampir seumuran dengan ibunya Afuya. Otomatis wanita itu langsung memberikan sapaan pada keponakannya yang baru pulang sekolah sudah lari terburu-buru menuju gudang. 

"Win, ada apa?" 

"Rantai sepeda teman copot, Bi. Mau bantu benerin," jawab Winter sembari membongkar beberapa isi di kotak peralatan. 

"Lho 'kok, nggak disuruh masuk dulu temannya." Sebelum pemuda itu menanggapi, wanita yang disapa bibi itu langsung berjalan ke arah pintu utama. 

Afuya yang duduk terdiam sembari menikmati angin sejuk sore membuatnya lega. Entah rasa suntuk dan lelah setiap hari di sekolah, terbalaskan ketika pulang sekolah menikmati udara dan pemandangan ladang yang hijau segar. Namun, lamunannya dibuyarkan oleh seorang wanita pemilik rumah yang sedang membawa nampan berisi dua gelas es teh. Wanita itu masih menggunakan baju santai ala wanita desa pada umumnya serta celemek yang masih mengikat di tubuhnya. 

"Eh... lah, dalah, pacare Winter, tho."

Afuya spontan menoleh ke belakang mencari sumber suara. "Bukan, Bu," timpalnya. 

"Tante aja, saya 'lho, bibinya Winter." 

"Iya, Tante."

"Iya apa? Iya bener pacarnya Winter, ya?" 

Afuya sungguh muak dengan perkiraan orang-orang. Pasalnya, belum genap sehari dirinya kenal dengan Winter. Namun, gadis itu sudah mendapatkan julukan 'pacarnya Winter' tiga kali. Kesal campur marah, telah lelah jika akan mendengarnya lagi. Apakah ia secocok itu dengan Winter? Atau jangan-jangan auranya Winter memang menjelaskan bahwa mereka seperti sepasang kekasih? Afuya berkali-kali kerap bertanya pada pikirannya sendiri. Meminta bantuan Winter juga tak mungkin, sebab pemuda tersebut malah diam saja tanpa penolakan. 

Pemuda yang dibicarakan tadi telah hadir membawa beberapa alat untuk membenarkan rantai sepeda yang terlepas. Afuya tak lagi menanggapi bibinya Winter yang seakan terus meterror-nya. Biarkan saja, nanti juga lelah sendiri, batin Afuya. Winter mulai melaksanakan aksinya. Membuka penutup di bagian rantai dengan obeng, kemudian barulah ia memposisikan kembali rantai pada tempatnya. Beberapa kali dicoba mengayuhkan sepeda yang masih berdiri sebab penopangnya, melalui pedal yang terus diputar. Meskipun suara serat akibat kekurang oli, Winter melanjutkan dengan menutup kembali penutup rantai. 

"Win, nggak ganti baju dulu. Seragam putihmu kotor!" Nasihat dari wanita pemilik rumah. 

"Sudah beres. Nanggung, Bi. Kasian dia kelamaan nunggu." Winter menyeka beberapa keringan di dahinya. "Bilang apa dulu?" Lanjut Winter berjalan menuju Afuya dan mengambil segelas es teh. 

Afuya berdiri. "Terima kasih." 

"Eh... Mau pulang? Es tehnya diminum dulu. Sudah sore, mau makan sekalian?" Wanita pemilih rumah menawarkan Afuya untuk tinggal lebih lama lagi di sana. 

"Sudah, Bi, terima kasih. Tidak perlu repot-repot," jawab Afuya tetap teguh ingin segera pulang. 

Winter berdiri dari posisi duduknya lalu menarik lengan Afuya dan membawanya duduk. "Diminum dulu. Nggak baik kalau langsung nolak gitu." 

Afuya memasang wajah datarnya kembali. Sebenarnya ia penuh emosi dan ingin segera menerkam Winter dengan cakar-cakarannya ibarat harimau yang mengamuk. Namun, dirinya terlalu lelah dan kesal yang begitu besar sehingga mengibaratkan pun susah. Afuya senyum terpaksa sembari perlahan duduk dan meraih segelas es teh. Winter menyodorkannya agar Afuya tidak terlalu jauh mengambil. Teguk demi teguk telah lolos di kerongkongan gadis tersebut. Hingga segelas setinggi lima belas sentimeter itu, isinya bersih tanpa sisa. 

Afuya kembali berdiri. "Terima kasih, izin pamit pulang, ya, Tante dan Winter."

"Makan dulu, yuk. Masakan Tante sudah matang," bujuk wanita pemilik rumah agar gadis tersebut tidak jadi pulang. 

"Terima kasih banyak. Bunda sudah menunggu di rumah." Afuya tetap melakukan penolakan. 

"Yaudah, kapan-kapan aja mampir lagi ke sini, ya. Win, anterin dia pulang." 

Afuya terkejut, kedua matanya sedikit melotot beberapa saat. "Nggak perlu, Tante. Aku bisa pulang sendiri." 

Namun, pemuda itu tetap berdiri dan segera berjalan ke sepeda milik Afuya. Otomatis gadis tersebut langsung berlari juga dan menggenggam setir tanpa memberikan celah untuk Winter. Mereka berdua seakan seperti anak balita yang berebut mainan. Melihat hal itu, Bibi Winter tersenyum bahagia. Entah mengapa rasanya melihat anak muda sekarang memang menggemaskan. 

Dirinya yang sampai sekarang masih belum menikah di usia lebih dari tiga puluh tahun tersebut membuat dicap oleh sebagian orang dengan sebutan 'perawan tua'. Padahal, ia sendiri tak menghiraukannya. Sebab menikah bukan karena usia, tetapi karena kesiapan mental, batin raga dan segalanya. Wanita pemilih rumah itu bernama Eryn. Berkulit sawo matang, tergolong manis dan wajahnya tidak membosankan. 

Kembali lagi pada dua muda-mudi SMP itu. Winter makin asik menggoda Afuya dengan merebut setir sepeda kemudian menarik sepeda Afuya agar tak jalan saat gadis itu mulai menuntunnya. Winter memang begitu usil. Namun, meskipun targetnya salah, sebab Afuya adalah gadis yang mudah marah dan tidak kalem. Winter tetap tidak menyerah untuk terus berbuat usil pada gadis tersebut. 

"Winter! Cukup 'deh, lepasin! Aku bilangin ke bunda nanti!" Afuya berteriak di jalanan tepat dengan rumah Eryn. 

"Afufu cupu!" Winter tertawa renyah. "Masa gini doang ngadu ke mama." 

"Kalau suka sama sepeda butut kakek, bilang! Bawa aja biar aku pulang jalan kaki!" Afuya berteriak semakin kencang karena sudah begitu emosi dengan kelakuan pemuda yang baru dikenalnya itu. 

Winter masih tak berhenti tertawa. "Kasian, yaudah sana pulang. Hati-hati di jalan, ya, Afufu." 

"Afuya!" 

"Afufu!" 

Winter sudah mengalah dan membiarkan Afuya mulai mengayuh sepedanya. Pemuda itu masih berdiri menghadap arah selatan menyaksikan punggung Afuya mulai mengecil dan lama-kelamaan begitu buram dan tidak kelihatan. Winter tersenyum tampan. Bagi kebanyak orang mengira, bahwa dirinya mungkin sudah terlihat siswa SMA yang masih masa pertumbuhan.  Setelah Afuya dipastikan tak dapat diterka lagi oleh sepasang matanya, Winter kembali memasuki halaman rumah bibinya yang begitu indah. 

Afuya menyandarkan sepeda butut milik kakeknya itu di pohon mangga tepat di depan rumahnya pada bagian belah pintu sedikit jauhan. Entah mengapa yang semula ia merasa kesal dan penuh amarah saat dijahilin oleh seorang pemuda kelas 9-A, sekarang Afuya malah kepikiran dan senyam-senyum sendiri. Kedatangan Afuya disaksikan secara langsung dari jendela yang terbuka tempat bundanya membuat aneka roti. Bergegas Meira keluar untuk mengintrogasi anak gadisnya. 

"Dari mana saja sampai jam lima sore? Biasanya 'kan, jam empat sudah sampai rumah. Ditelepon dari aplikasi nggak diangkat. Bunda nggak punya pulsa bisa buat telepon nomor ponsel Kamu." 

"Bunda tenang dulu, kuota internet Afuya habis. Tadi rantai sepeda butut milik kakek lepas. Untung saja, ada anak kelas sembilan dari sekolah yang sama dengan Afuya membantu," jelas Afuya sembari meraih tangan kanan Meira dan mencium punggung tangannya. 

"Pasti laki-laki, kan?" tanya Meira lagi. 

"Iya, Bun," sahut Afuya lirih seperti sedikit takut. 

"Sudah Bunda bilang berapa kali? Jangan deket sama laki-laki! Kamu itu masih kelas satu SMP! Nanti kalau terjadi apa-apa, siapa yang salah? Lelaki itu nggak mau disalahkan." Meira naik pitam dan langsung memarahi putrinya. 

"Bunda dengar dulu. Tadi Afuya hanya ditolongin doang. Syukur 'dong, Afuya tidak pulang jalan kaki sambil menuntun sepeda." Mood Afuya hari ini begitu berantakan. Baik kemudian buruk, lalu silih berganti baik dan kembali buruk. 

"Sama saja! Bunda lebih setuju kalau jalan kaki," timpal Meira membuat Afuya semakin merah padam.

"Bunda ngomong gini karena Bunda nyalahin ayah, kan? Bunda mengira bahwa semua laki-laki itu seperti ayah," Afuya tak sanggup jika harus berdebat dengan bundanya. Sehingga selepas melontarkan dua kalimat itu, Afuya langsung masuk rumah meninggalkan sang bunda sendirian. 

"Afuya! Sudah berani Kamu ngomong gitu ke Bunda!" bentak Meira tak mendapatkan respon sama sekali dari anak gadisnya. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hidden Words Between Us
1425      640     8     
Romance
Bagi Elsa, Mike dan Jo adalah dua sahabat yang paling disayanginya nomor 2 setelah orang tuanya. Bagi Mike, Elsa seperti tuan putri cantik yang harus dilindunginya. Senyum dan tawa gadis itu adalah salah satu kebahagiaan Mike. Mike selalu ingin menunjukkan sisi terbaik dari dirinya dan rela melakukan apapun demi Elsa. Bagi Jo, Elsa lebih dari sekadar sahabat. Elsa adalah gadis pertama yang ...
Camelia
598      338     6     
Romance
Pertama kali bertemu denganmu, getaran cinta itu sudah ada. Aku ingin selalu bersamamu. Sampai maut memisahkan kita. ~Aulya Pradiga Aku suka dia. Tingkah lakunya, cerewetannya, dan senyumannya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi aku tak ingin menyakitinya. ~Camelia Putri
Asoy Geboy
6243      1722     2     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
Nadine
5875      1574     4     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...
Ti Amo
538      318     2     
Romance
“Je t’aime, Irish...” “Apa ini lelucon?” Irish Adena pertama kali bertemu dengan Mario Kenids di lapangan saat masa orientasi sekolah pada bulan Juli sekitar dua tahun yang lalu. Gadis itu menyukainya. Irish kembali bertemu dengan Mario di bulan Agustus tahun kemudian di sebuah lorong sekolah saat di mana mereka kembali mencari teman baru. Gadis itu masih menyukainya. Kenyataannya...
Salon & Me
4365      1339     11     
Humor
Salon adalah rumah kedua bagi gue. Ya bukan berarti gue biasa ngemper depan salon yah. Tapi karena dari kecil jaman ingus naek turun kaya harga saham sampe sekarang ketika tau bedanya ngutang pinjol sama paylater, nyalon tuh udah kaya rutinitas dan mirip rukun iman buat gue. Yang mana kalo gue gak nyalon tiap minggu rasanya mirip kaya gue gak ikut salat jumat eh salat ied. Dalam buku ini, udah...
Gunay and His Broken Life
8583      2527     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...
ONE SIDED LOVE
1541      683     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Dinding Kardus
10028      2644     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
MAMPU
7654      2475     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...