Over the hills and far away
Eiljung menurunkan Azaella dengan perlahan. Menuntunnya duduk bersandar di salah satu pohon besar. "Kalau kau mengantuk, tidur saja. Tak apa." Eiljung mengusap lembut rambut Azaella. Bagaimanapun juga, Eiljung sama seperti yang lainnya, menganggap Azaella sebagai adiknya. Melihatnya ketakutan semalam, merasa hatinya sakit. Azaella tidak seharusnya merasakan ketakutan itu.
Langit sudah mulai terang. Matahari sudah mulai menunjukan kehadirannya. Mereka berempat berlari sangat jauh, masuk kedalam hutan lebat untuk menghapus jejak. Mereka berharap, makhluk aneh itu tidak mengejar mereka lagi.
"Kau mau kemana?" Tanya Azaella saat Eiljung baru berdiri, meregangkan tubuhnya. Bukan karena pegal setelah menggendong Azaella. Azaella itu kelewat ringan. Buktinya Eiljung tidak terlalu lelah dan berkeringat saat menggendong Azaella sambil berlari. Tubuhnya hanya butuh perenggangan. "Jangan tinggalkan aku," mata Azaella mulai berkaca-kaca lagi.
Eiljung tersenyum. Berjongkok lagi untuk menyetarakan tingginya. Kasihan Azaella jika terus mendongak. "Aku tidak kemana-mana. Aku disini. Tenang saja. Kamu tidurlah. Aku tahu kamu lelah."
"Janji, ya?" Eiljung mengangguk. "Ya sudah, aku tidur. Jangan tinggalkan aku. Jangan jauh-jauh dariku. Aku tidur sebentar." Eiljung mengangguk lagi. Beberapa detik kemudian, Azaella menutup matanya. Dia lelah. Semalaman tidak tidur adalah hal yang baru bagi Azaella. Apalagi begadang sambil berlari kabur. Lelahnya berlipat ganda.
"Dia tertidur?" Louvien sudah berdiri di belakang Eiljung. Bertolak pinggang. Melihat Azaella dengan tatapan yang sedih. Adiknya terlihat begitu lelah. Masih menggunakan baju tidur. Rambut yang sudah acak-acakan. Mata sembab dan hidungnya merah karena menangis. Kaki mungilnya terlihat kedinginan tanpa alas. Pasti ini kejadian yang begitu berat baginya.
"Iya. Aku menyuruhnya. Dia pasti lelah." Eiljung berdiri. "Bagaimana? Tidak ada yang mengejar, kan?"
Jimchean menggeleng. "Aku sudah mengirim pesan pada ayahku. Untung saja burung pembawa pesanku selalu siap dalam keadaan apapun." Jimchean berbangga. "Urusan kerajaan, akan di tangani oleh ayahku. Kau jangan khawatir, Vi."
Louvien mengangguk, "terima kasih,"
"Lalu, sekarang bagaimana? Tidak mungkin, kan kita terus berlari tanpa arah. Kita harus merencanakan sesuatu." Ujar Jimchean. Memang benar. Mereka kabur hanya karena permohonan Azaella, yang katanya jika mereka tidak kabur, mereka akan dibunuh. Tanpa rencana. Tanpa tujuan.
"Pertama-tama, kita beristirahat dulu. Aku tahu tempat yang aman untuk beristirahat. Kita juga butuh senjata untuk berjaga-jaga. Pedangku masih tertancap didada makhluk itu. Aku butuh pedang baru. Kau tahu? Wajah makhluk itu sangat menyebalkan. Tersenyum seperti pedofil yang haus akan anak kecil."
"Tu-tunggu! Kau menancapkan pedangmu di dadanya?"
"Kau melihat wajahnya, Jung?"
Louvien dan Jimchean bertanya bersamaan.
Eiljung mengangguk enggan. "Iya aku menancapkan pedangku. Lebih tepatnya melempar pedangku dan tertancap di dadanya. Dan iya, aku melihatnya. Matanya merah. Rambutnya hitam. Kulitnya sama pucatnya seperti kulit Azaella. Tidak. Lebih pucat seperti mayat. Makhluk itu menggunakan baju serba hitam, dengan jubah yang besar. Semuanya sama seperti apa yang digambar oleh pria yang sempat melihat pelaku yang membunuh Raja dan Ratu." Eiljung menjawab kedua pertanyaan. Kalau mengingat saat ia melempar pedangnya saat itu, dia agak sedikit menyesalinya. Ia melakukan hal itu tanpa berpikir dahulu. Melihat Azaella duduk ketakutan, memegangi lutut yang sedikit terluka membuat tangannya melempar pedangnya begitu saja. Yang penting makhluk itu tidak mendekati Azaella, pikirnya. Tapi ia sudah kehilangan pedang kesayangannya.
"Deskripsinya berbeda dengan orang aneh yang datang ke istana waktu itu. Sepertinya iblis itu lebih dari satu." Jimchean menyimpulkan.
"Kalau kau sudah lihat wajahnya dan hafal dengan wajahnya, baguslah. Jadi, kita bisa lebih berjaga untuk ke depannya." Louvien menyisir poninya kebelakang. Mengacak-acak rambutnya. "Kalau begitu, cepat antarkan kami ke tempat yang maksud, Jung. Karena kau mengatakan tempat itu aman, kita juga bisa merencakan apa yang akan kita lakukan kedepannya. Bagaimana pun juga, kita harus mencari cara untuk membunuh makhluk sialan itu."
πππ
Ketiga laki-laki, berjalan menyusuri hutan dengan begitu waspada akan sekelilingnya. Salah satu dari mereka berjalan di tengah, sambil menggendong seorang perempuan yang masih terlelap itu. Tak tega membangunkannya, mereka pun memilih untuk menggendongnya lagi tanpa ingin membangunkannya sama sekali. Sempat ada berdebatan kecil saat ingin menggendong perempuan itu. Mereka berdebat, siapa yang akan menggendongnya. Apakah Eiljung lagi? Atau kakaknya? Atau Jimchean? Perdebatan itu berlangsung lumayan lama dan berakhir dengan suit yang menegangkan. Suit itupun diulang berkali-kali, hingga berhenti saat Louvien menang tiga kali berturut-turut. Sungguh merepotkan. Hanya karena mempermasalahkan siapa yang akan menggendong Azaella, mereka menghabiskan hampir satu jam lamanya.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang, menyusuri hutan hingga keluar hutan dan menemui sebuah desa, akhirnya mereka sampai di tempat yang Eiljung maksud. Bangunan kayu sederhana yang di kanan dan kirinya terdapat jendela yang tak terlalu besar. Di dekat pintunya, ada sebuah plat kayu yang bertuliskan, 'toko peralatan'. Halaman depannya tak terlalu luas. Dilihat dari luar, sepertinya dalam bangunannya juga tak terlalu luas. Warna kayunya menggambarkan kalau bangunan ini baru dibangun, masih kokoh dan kuat. Eiljung langsung membuka pintu kayu itu tanpa mengetuk dahulu, seperti ialah sang pemilik tempat itu atau si pemilik tempat itu adalah kenalan Eiljung. Suara sapaan seorang laki-laki terdengar saat baru memasuki tempat itu.
"Lama tak jumpa, Theo." Eiljung menyapa balik sambil mengangkat tangan kanannya dan tersenyum ramah. "Aku ingin meminta bantuanmu."
πππ
Saat Eiljung mengatakan ingin meminta bantuan padanya, Theo langsung mempersilahkan ketiga laki-laki yang salah satunya sedang menggendong seorang perempuan yang masih tertidur itu untuk duduk. Theo menjamu mereka dengan sangat baik. Bahkan ia menyuruh untuk menidurkan Azaella di salah satu kamar yang ada di tokonya. Azaella bisa tidur dengan tenang diatas kasur yang cukup empuk itu. Eiljung pun langsung menceritakan tentang kejadian yang menjebak mereka dalam kondisi ini. Selain bercerita, Eiljung juga meminta untuk meminjam beberapa peralatan, nanti akan di bayar oleh Louvien setelah semuanya selesai. Dan mengatakan pada Theo untuk tidak khawatir soal masalah uang karena Louvien adalah Raja. Theo segera bangkit dari duduknya, memberi hormat pada Louvien secara formal. "Maafkan saya yang tidak langsung mengenali anda Yang Mulia." Ucapnya saat bersujud hormat.
Louvien melambaikan tangannya. "Tidak usah seformal itu. Bangunlah. Aku merasa tidak nyaman. Bicaralah seperti biasa padaku. Saat ini aku sedang tidak menggunakan status Rajaku. Anggap saja aku rakyat biasa. Kau juga bisa berbincang dengan santai denganku. Aku sangat berterima kasih padamu yang sudah membiarkan kami bersinggah disini."
Theo kembali duduk. Ia menggelengkan kepalanya dengan semangat. "Yang Mulia tidak usah berterima kasih pada saya. Suatu kehormatan tersendiri bagi saya karena bisa membantu anda." Theo menoleh pada Jung. "Lalu, apa yang bisa aku bantu, Jung?"
Eiljung meneguk satu gelas air. "Kami butuh beberapa senjata dan pakaian. Apa kau punya pakaian untuk perempuan dan beberapa peralatan untuk perempuan?"
"Kau tahu sendiri, Jung. Aku hanya menyediakan peralatan khusus perang dan beberapa pakaian laki-laki. Tapi, mungkin kita bisa meminta bantuan Lia. Aku akan memanggilnya," Theo pun berdiri. "Kau bisa siapkan peralatan sendiri, kan Jung? Pilihlah peralatan sesukamu. Aku akan panggil Lia untuk memintanya membawakan beberapa pakaian perempuan. Peralatannya ada di tempat biasa."
"Terima kasih banyak." Jimchean tersenyum ramah. Sebenarnya, agak sedikit tidak enak pada Theo. Mengganggunya yang sedang bersiap membuka tokonya. Membuatnya untuk menunda membuka toko dan menjamu mereka. Lalu, meminta beberapa bantuan yang sedikit merepotkan. Tapi, Theo adalah sosok pria yang baik, walaupun bukan karena Louvien adalah Raja, dia pasti akan tetap membantu--Inilah alasan Eiljung langsung terpikir tempatnya, bukan tempat temannya yang lain.
"Senang bisa membantu kalian." Theo pun pergi. Memanggil Lia untuk meminta beberapa bantuan kecil padanya.
πππ
Azaella sudah terbangun, malah ia sudah berganti pakaikan yang di bawakan oleh Lia. Saat mencoba beberapa, Lia selalu melontarkan pujian akan kecantikan Azaella. Ia sangat kagum dengan kecantikan Tuan Putri ini. Kalau perempuan saja bisa segitu kagumnya, sudah pasti laki-laki di luar sana sama kagumnya, bahkan lebih. Lia--perempuan pemilik toko bunga yang berada di sebrang toko Theo bukan hanya datang membawa baju untuk Azaella, tapi juga beberapa makanan untuk bekal ke empat orang yang akan kembali berkelana. Lia berkata, kalau mereka pasti akan berkenala jauh dan membutuhkan makanan. Theo juga memberikan beberapa kepingan uangnya untuk berjaga-jaga. Sungguh baik kedua orang ini, membantu dengan sepenuhnya.
Setelah siap, sudah rapih dengan pakaian baru mereka. Ketiga laki-laki itu juga sudah mengganti pakaian, memilih senjata yang cocok dengan mereka--pedang, panah, perisai dan lainnya. Louvien dengan kemeja putih, ditambah rompi coklat muda yang terkancingi dan celana coklat, sungguh perpaduan yang indah. Padahal baju yang ia kenakan cukup sederhana, namun tak menghilangkan aura keluarga kerajaannya. Jimchean, ia menggunakan kemeja putih dan rompi tanpa kancing berwarna coklat tua, lalu dengan celana berwarna hitam. Eiljung dengan kemeja dan celana berwarna putih sedikit kecoklatan, dan outer yang memiliki warna senada. Dan Azaella mengenakan drees warna hijau dengan panjang selutut dan lengan yang pendek. Tak lupa dengan tudung guna untuk menutupi wajahnya, barangkali bisa menipu makhluk itu, kita tak tahu.
Kemudian, Louvien meminta Theo dan Lia untuk keluar sebentar, memberikan mereka ruang untuk sedikit berdikusi masalah rahasia ini. Dengan sopan, Theo dan Lia pun pergi. Kini, keempat orang itu sudah duduk melingkari meja kayu yang bundar. Azaella memainkan jarinya di atas meja, di tatap tiga laki-laki dengan tatapan serius membuatnya sangat gugup.
"Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi semalam? Bagaimana ia bisa mengejarmu, El?" Tanya Louvien dengan suara lembut, membujuk Azaella bercerita walaupun Louvien tahu kalau Azaella pasti ingin segera melupakan kejadian semalam.
"Ia, pria itu, tiba-tiba sudah ada di balkon, jendela terbuka padahal sudah di kunci oleh Anne. Ia bercerita tentang dirinya, diriku dan juga perempuan yang katanya sedang tertidur di dalam tubuhku. Ia mengatakan kalau ada seorang perempuan, mungkin, ia agak sedikit ragu saat itu, antara akulah sang perempuan itu atau perempuan itu menumpang di tubuhku. Tapi, ia agak yakin dengan pemikiran kedua. Ia ingin membawa pulang perempuan itu. Katanya, perempuan itu ada Dewi yang menjaga Two World. Perempuan itu harus pulang secepatnya." Azaella mengingat-ingat. "Me-menurutku... Ailia--perempuan yang laki-laki itu maksud adalah 'sang pemimpin', orang yang memiliki kekuatan suci yang bertanggung jawab atas Two World seluruhnya. Orang yang menjadi alasan Lightworld dan darkworld berperang.
Aku tak tahu ini benar atau tidak. Ini hanya pemikiranku. Aku berpikir kalau laki-laki benar bahwa ia adalah penduduk Two world. Kalian tahu tentang Two world, kan? Dongeng yang cukup terkenal itu."
Ketiga laki-laki itu mengangguk bersama. "Tapi, kami agak lupa dengan jalan ceritanya. Terlalu panjang dan rumit." Ujar Jimchean dengan malu-malu sambil menggaruk tengkuk lehernya.
"Aku hafal dengan cerita itu. Ibunda selalu mendongengiku setiap malam, agar aku hafal hingga tua, kata ibunda. Bahkan ibunda membuatkan sebuah buku, yang ibu tulis sendiri tentang dongeng itu agar aku tidak lupa. Ibunda sangat bersikeras aku menghafal cerita itu." Azaella menyelipkan anak rambutnya kebelakang telinga. "Sebelum pergi, Ibunda juga pernah bercerita sedikit tentang seorang perempuan yang telah menyelamatku. Katanya, aku diberi hadiah oleh perempuan itu dan aku harus mengembalikannya suatu saat nanti. Ibunda juga mengatakan kalau sudah saatnya aku mengembalikan hadiah itu, makanya Ibunda pergi ke reruntuhan kuno. Perempuan itu sering mengunjungi tempat itu sambil berharap portal ke dunianya terbuka. Mungkin perempuan itu adalah perempuan yang sama seperti yang di maksud pria itu."
Memang agak sedikit mengejutkan saat mendengar penjelasan Azaella. Ia cukup tahu banyak hal. Hampir menjawab semua pertanyaan ketiganya.
Louvien berpikir, Mengusap-usap dagunya, matanya memicing, mencoba mengambil sebuah kesimpulan dari cerita Azaella. "Berarti makhluk itu salah. Kau bukan perempuan yang ia maksud. Dan di dalam tubuhmu juga tidak ada perempuan itu. Karena ibu memberitahu kalau perempuan itu ada di luar sana. Ia juga sering mengunjungi reruntuhan kuno itu. Semuanya terhubung."
"Kalau seperti ini, sudah sangat terlihat kalau makhluk itu mengincar 'hadiah' perempuan itu yang ada pada El. Pasti hadiah itu cukup berharga. Bahkan El saja harus mengembalikannya disaat ia sudah memberikannya." Eiljung ikut menyimpulkan.
"Apa mungkin ini juga menjadi alasan Ratu selalu menyuruh kita, terutama Vi untuk menjaga El, walaupun nyawa sebagai taruhannya. Bukan El yang harus kita lindungi, tapi hadiah yang ada pada El-lah yang sebenarnya harus kita lindungi. Hadiah itu lebih dari kata berharga." Tambah Jim.
Azaella menunduk. "Jika amat sangat berharga. Pasti hadiah itu adalah kekuatan suci milik 'sang pemimpin'. Siapapun yang memilikinya akan memiliki kekuasaan sepenuhnya atas Two World. Ia akan menjadi pemimpin sejati Two world. Ini artinya, bukan hanya laki-laki itu yang mengincar kekuatan ini, semua penduduk Two World juga mengincarnya." Tangan Azaella bergemetar. Jika memang apa yang ia simpulkan itu benar sepenuhnya, maka akan banyak orang yang memiliki kekuatan yang sama besarnya dengan lelaki itu datang untuk mengincar kekuatan yang ada di diri Azaella ini. Satu orang saja sudah membuat ketakutan setengah mati, apalagi ribuan orang.
"Jadi memang benar, aku adalah penyebab Ayahanda dan Ibunda meninggal. Karena melindungi aku, mereka--" Azaella kembali teringat ucapan orang aneh yang datang ke istana waktu itu.
"Kau salah besar, El." Eiljung menyela. "Bukan salahmu. Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu meninggal karena dibunuh oleh iblis itu, bukan karenamu. Jika memang benar kalau itu terjadi karena Raja dan Ratu terdahulu ingin melindungimu. Bukankah itu hal yang normal sebagai orang tua melindungi anaknya? Jangan menyalahkan diri sendiri." Eiljung mengelus rambut Azaella dengan lembut.
Louvien mengeraskan rahangnya. Mengepal keras kedua tangannya, hingga kukunya sedikit melukai telapak tangannya. "Kita harus menemukan perempuan itu secepatnya. Memintanya untuk menjelaskan lebih rinci lagi, dan bantuannya. Kalau ia adalah Dewi, pasti kekuatannya lebih besar dari semua penduduk Two World. Dan satu-satunya tempat untuk menemukannya adalah reruntuhan kuno itu. Kau hafal jalannya, kan Jung?" Louvien menoleh pada Eiljung. Dengan wajah yang sangat serius, senyum miring yang terkesan angkuh, Eiljung membalas tatapan Louvien. "Tentu saja aku hafal. Jangan remehkan daya ingatku." Jimchean pun bersidekap. Menatap secara bergantian Jung dan Vi. Lalu, mengangkat alisnya. "Mau tunggu apa lagi? Ayo kita pergi."
{;}