I will give you what you want. But only temporarily. Someday I will take it back. You must give that back to me.
Azaella berjalan dengan langkah yang cepat, seperti berlari kecil. Para pelayan dan penjaga istana meneriakinya dari belakang, namun ia mengabaikannya. Aura tak mengenakkan itu terus terasa, membuat bulu kuduk Azaella sedikit merinding. Azaella menghelakan nafas saat menyadari kalau itu bukan berasal dari ruang kakaknya--tak hanya merasakan, ia juga seperti melihat kumpulan awan samar berwarna hitam mengarah ke pintu utama.
Karena penasaran, Azaella pun membelokan langkahnya, menuju lorong sebelah kiri--menuju pintu utama. Auranya terlihat lebih pekat dari sebelumnya dan terasa lebih mencekat membuatnya agak kesulitan bernafas. Seperti sebuah asap yang terhirup, melambatkan sistem pernapasan manusia. Langkahnya terhenti saat ia baru saja menginjakkan kakinya di Grand Staircase.
Ia menatap kaget--matanya membulat sempurna, tak percaya dengan kehadiran seseorang yang kini sedang berbicara pada penjaga, meminta pengertian penjaga untuk membiarkannya masuk. Tak lama kemudian, orang itu menyadari kehadiran Azaella, menatap Azaella sambil tersenyum ramah. "Ternyata kamu masih hidup, Ailia." Suaranya begitu berat dan memabukkan
Azaella tertegun. Dadanya berdetak tak beraturan kini, bukan dalam artian ia gugup bertemu dengan pangeran tampan nan mempesona, tapi dalam artian lain. Tanpa disadari, Azaella menahan nafasnya. Ia ingin memundurkan dirinya, menjauh dari orang itu yang kini sudah mendekat, mengabaikan para penjaga yang menghalang. Tangannya bergemetar hebat, bukan hanya tangannya kakinya juga.
"Kenapa menjauh? Jangan menghindar lagi. Aku tak menyangka kalau kau akan menggunakan tubuh Putri lemah untuk melanjutkan hidupmu di dunia ini, Ailia." Ujar orang itu lagi.
Azaella ingin menangis. Ingin pergi dari tempat itu, sama seperti yang dipinta para penjaga yang berteriak sambil menahan orang itu. Tubuh dan pikirannya berbanding terbalik. Pikirannya ingin ia kabur, tapi tubuhnya tidak bisa diajak bekerjasama sehingga hanya diam disana dengan wajah ketakutan.
"Berikan aku kekuatanmu agar dunia ini tidak ku hancurkan sama seperti dunia kita. Pasti kamu sudah sangat sayang pada manusia, kan? Kerena sudah lama tinggal disini. Pasti kamu tidak tega melihat mereka terluka seperti orang-orang yang ada di dunia kita." Orang itu semakin mendekat.
Tak lama, suara Louvien mengintrupsi. Azaella menghela nafas lega. Tubuhnya sedikit rileks. Namun, ia masih terlihat panik. Karena tak tahu harus senang sepenuhnya atau tidak, mungkin saja orang itu akan mencelakai dirinya dan kakaknya.
Langkah Louvien yang semakin terdengar, menghampirinya, lalu menyuruhnya berdiri di belakangnya. Azaella bersembunyi, memegang erat baju Vi dengan tangannya yang masih bergemetar. Louvien mengusir orang itu. Dan Azaella bisa lebih tenang.
Siapa orang itu? Tamu kakaknya? Ia merasa sangat familiar dengannya. Tapi, ia tak mengenalnya
Siapa Ailia yang ia maksud? Ia tak kenal.
Kekuatan?
Dunia mereka?
Lalu, kenapa ia sangat takut pada orang itu? Wajahnya tak menyeramkan. Dia hanya tersenyum ramah tadi. Apa karena auranya yang seperti bukan manusia? Atau karena aura aneh yang ia keluarkan? Atau mungkin semua kalimatnya yang berbicara seakan orang itu sudah sangat mengenalnya?
Jadi yang mana?
Apa orang itu memang bukan manusia? Auranya seperti ibilis. Ya, walaupun Azaella belum bertemu dengan iblis sungguhan, tapi seperti benar kalau orang itu iblis.
"Dia bukan manusia. Tidak ada hawa kehidupan sama sekali. Auranya juga aneh. Seperti iblis yang menyamar jadi manusia."
πππ
Seharian ini Azaella memutuskan untuk berdiam diri dikamarnya saja. Kejadian mengejutkan kemarin membuatnya berpikir keras, apa memang benar ia adalah alasan kedua orang tuanya meninggal? Azaella juga masih penasaran siapa Ailia yang dimaksud sebelumnya. Dan kenapa orang itu tiba-tiba datang dan mengatakan banyak hal aneh? Sebenarnya apa tujuannya?
Azaella sangat ingin menanyakan semuanya kepada kakaknya. Ia sangat yakin kakaknya pasti tahu banyak mengenai hal itu. Tapi pastinya Louvien tidak akan mau memberitahu Azaella bukan? Kemarin saja saat Azaella meledakkan emosinya. Louvien hanya terdiam mematung. Sama sekali tidak bersuara.
Azaella memang jarang sekali bertengkar dengan kakaknya. Selain karena kakaknya yang selalu mengerti dirinya dan mengalah, Azaella juga tidak pernah memancing emosi kakaknya jika bertengkar dengannya. Bahkan kemarin adalah kali pertamanya Azaella menaikkan nada bicaranya.
"Apa yang disembunyikan kakak dariku?" Gumam Azaella sembari menghelakan nafas.
Seketika terdengar sebuah ketukan kecil yang berasal dari pintu kamar Azaella. Azaella yang sebelumnya merenung menatap ke arah luar jendela, langsung berpaling ke arah pintu kamarnya. "Tuan Putri, Duke Tressidale datang menemui anda."
Saat mendengar itu, raut wajah Azaella langsung berubah. Ia langsung tersenyum lebar. "Katakan padanya untuk menungguku di taman istana. Aku akan kesana setelah bersiap." Ucap Azaella dengan kesenangan yang meluap-luap.
Duke Ode Tressidale, ayah dari Jimchean dan juga tangan kanan sekaligus teman dekat dari Raja terdahulu adalah orang yang menggantikan Raja dan Ratu terdahulu dalam merawat dan memberi kasih sayang serta perhatian yang banyak pada Louvien dan Azaella. Mereka sudah menganggap Duke Tressidale sebagai ayah mereka. Louvien dan Azaella berhutang banyak hal padanya. Duke Tressidale satu-satunya orang yang selalu menemani Louvien dan Azaella saat mereka masih terpuruk akibat kematian kedua orang tua mereka. Duke Tressidale jugalah yang membantu mereka bangkit.
Azaella berlari menuju taman istana dengan senyuman yang tak pernah luntur. Dari kejauhan sudah berdiri seorang pria tua sambil membawakan boneka besar yang menggemaskan. Azaella langsung melompat kecil lalu memeluk erat lelaki tua itu.
"Ya ampun, Tuan Putri. Tidak seharusnya anda berlari dan melompat seperti itu. Kalau Tuan Putri terjatuh bagaimana?" Ucap Duke Tressidale sambil membalas pelukan rindu dari Azaella.
Azaella mendongakan kepalanya dan tertawa kecil. "Salah paman yang jarang sekali mengunjungi istana. Mentang-mentang pekerjaan paman sudah diambil alih oleh Jimchean. Seharusnya paman tetap sering datang ke istana untuk menemaniku. Sudah tahu kakak tidak akan pernah memperbolehkan aku untuk keluar."
Duke Tressidale melepaskan pelukannya, sedikit mendorong pelan Azaella dengan lembut untuk menjaga jarak. "Maafkan saya Tuan Putri. Walaupun saya sudah tidak menjadi tangan kanan raja, saya masih seorang Duke yang harus mengurus beberapa pekerjaan."
Azaella mengintip kearah belakang Duke Tressidale. "Boneka besar itu untukku?" Tanyanya yang langsung dijawab anggukan kecil oleh Duke Tressidale. "Wah besar sekali." Azaella memeluk boneka tersebut. "Bonekanya lembut dan empuk sekali. Aku sangat suka. Apa ini hadiah ulang tahun dari paman?"
"Benar sekali, Tuan Putri. Saya ingin menjadi orang pertama yang memberikan Tuan Putri hadiah. Maka dari itu saya berikan hadiahnya sekarang." Azaella semakin tersenyum lebar. Ia menenggelamkan wajahnya pada boneka besar nan empuk itu. "Selain itu saya juga kesini karena mendengar kabar tentang orang aneh yang datang kemarin. Jimchean sudah menceritakan semuanya. Bahkan tentang Tuan Putri yang bertengkar kecil dengan Baginda Raja." Tambah Duke Tressidale yang sudah terduduk manis di kursi yang sudah disediakan
Azaella melepaskan pelukannya, lalu memilih untuk duduk di berhadapan dengan Duke Tressidale. "Itu salah kakak." Ucapnya dengan suara yang tidak terdengar jelas.
Duke Tressidale tertawa kecil sambil menyesap tehnya setelah pelayan selesai menuangkam teh dalam cangkirnya. "Ya ampun..."
Azaella menatap Duke Tressidale dengan serius. "Paman, orang aneh kemarin mengatakan bahwa akulah yang menyebabkan Ayahanda dan Ibunda meninggal. Tapi kakak malah mengatakan kalau itu bukan hal yang penting saat aku menanyakan apa maksudnya dan apakah kakak mengetahui tentang itu sebelumnya. Apa paman juga mengetahui hal ini?"
Azaella baru teringat bahwa Duke Tressidale sangat dekat dengan ayahnya. Sudah pasti bukan Duke Tressidale mengetahui satu atau dua hal tentang ini. Maka dari itu, lebih baik Azaella menanyakan mengenai kejadian kemarin pada Duke Tressidale.
"Jahat sekali orang itu. Bagaimana mungkin Tuan Putri yang membunuh Raja dan Ratu terdahulu." Duke Tressidale masih setia menyesap tehnya dengan santai.
"Pasti paman tahu sesuatu kan?" Azaella kembali menekan.
Duke Tressidale menaruh cangkir berisi teh itu dengan perlahan, lalu menatap sendu Azaella. "Tentu saja. Tentu saja saya tahu beberapa hal tentang kematian Raja dan Ratu terdahulu. Tapi bisa saya pastikan bahwa omongan orang aneh kemarin itu tidak benar. Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu terdahulu tidak meninggal karena Anda, Tuan Putri."
"Tapi apa benar karena kecelakaan? Setahun lalu kakak tiba-tiba memerintahkan Eiljung untuk melakukan ekspedisi. Para bangsawan lain menentang keputusan ini. Sejak dulu aku berpikir kalau ekspedisi itu pasti ada kaitannya dengan Ayahanda dan Ibunda. Pasti kakak sedang menyelidiki sesuatu secara diam-diam dari bangsawan lainnya."
"Iya benar. Saya juga menjadi salah satu orang yang menentang keputusan itu. Yang Mulia Louvien terlihat sangat memaksakan kehendak saat memutuskan hal itu. Soal apakah benar Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu terdahulu meninggal karena kecelakaan atau ada hal yang lain, saya tidak tahu. Tapi memang benar Yang Mulia Louvien sedang menyelidiki itu, saya mengetahui itu dari Jimchean."
"Kau berbohong, paman." Duke Tressidale tertegun mendengar hal itu. Azaella memang terlihat sangat polos dan tidak mengerti tentang urusan kerajaan. Tapi itu sepenuhnya salah. Azaella sangat pintar dan cerdas. Ia tahu semua tentang urusan dan masalah kerajaan. Ia bisa saja membantu Louvien dalam hal ini. Hanya saja ia lebih memilih berpura-pura tidak paham seperti ini. Azaella juga bisa membaca seseorang dari raut wajahnya. Mana yang jujur dan mana yang berbohong. Mana yang terlihat tulus dan mana yang akan menusuk diam-diam dari belakang. Akan sangat sulit berbohong dan menipu Azaella.
"Saya memanglah orang bodoh yang berbohong di depan Anda, Tuan Putri."
Azaella menajamkan tatapannya. "Apa hal itu benar-benar hal yang tidak boleh aku ketahui? Sampai-sampai kakak menutupinya dan paman berbohong seperti ini?"
"Bukan seperti itu Tuan Putri. Hanya saja ini bukan waktu yang tepat untuk Tuan Putri. Jika sudah saatnya, saya berjanji akan memberitahu Tuan Putri."
"Apa itu perintah kakakku?"
Duke Tressidale menggeleng pelan. "Bukan, Tuan Putri. Itu perintah Yang Mulia Ratu terdahulu."
"Ibunda yang menyuruh?" Duke Tressidale menjawab dengan anggukan kecil. "Kapan saat yang tepat yang paman maksud? Sampai kapan aku akan menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu tentang kebenaran? Kenapa aku sama sekali tidak boleh mengetahuinya? Apa ibunda juga tidak mempercayaiku sampai-sampai harus menyembunyikan banyak hal juga? Kenapa Paman?"
"Mungkin Anda akan merasa lebih kesal lagi saat saya mengatakan alasannya semua demi kebaikan Anda. Tapi itu benar adanya. Alasan semuanya harus disembunyikan dan menunggu waktu yang tepat karena demi kebaikan Tuan Putri. Jadi, mohon untuk ditunggu sebentar lagi. Saya dan juga Louvien pasti akan memberitahu semuanya pada Tuan putri."
πππ
Seorang pelayan laki-laki mengetuk pintu ruang kerja Louvien. Setelah mendengar Louvien yang mengizinkannya masuk, pelayan itu pun langsung masuk bersama dengan pelayan wanita dibelakangnya.
"Ada apa?" Tanya Louvien dengan suaranya yang berat.
"Pelayan dari istana Tuan Putri datang membawakan Anda kue dan teh, Yang Mulia Raja." Pelayan laki-laki itu memberikan kode kepada pelayan wanita untuk memberikan satu nampan kue dan teh yang ia bawa.
"Tuan Putri memerintahkan saya untuk memberikan ini kepada Yang Mulia Raja. Tuan Putri juga menitipkan surat ini." Pelayan wanita itu mengeluarkan sepucuk amplop berisi surat Azaella untuk Louvien.
"Terimakasih. Kalian boleh kembali." Dengan segera, kedua pelayan itu keluar dari ruang kerja Louvien.
"Wih, wih, wih. Ada yang dikirimkan cemilan oleh adiknya." Jimchean yang memang dari awal selalu di dalam ruangan, kembali bersuara saat pelayan sudah pergi meninggalkan mereka berdua.
Louvien mengindahkan Jimchean yang meledeknya. Ia membuka dengan pelan surat dari Azaella dan membacanya dengan seksama.
Teruntuk kakakku yang ku cintai
Maafkan aku atas apa yang aku lakukan kemarin. Aku sangat penasaran dengan kebenaran dari perkataan orang itu hingga tidak sadar memaksa kakak untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Jika memang hal itu bukan hal yang harus aku ketahui, tidak apa-apa, kakak tidak usah memberitahuku soal itu. Tapi aku memohon pada kakak, jika suatu saat nanti, disaat waktunya sudah tepat, tolong beritahu aku tentang hal ini. Aku akan menunggu penjelasannya mu. Sekali lagi, aku minta maaf kak.
Aku kirimkan surat permintaan maaf yang tulus ini dengan beberapa kue kering dan teh hangat untuk kakak jadikan cemilan disela-sela waktu kerja kakak. Tolong dihabiskan ya.
Ps. Paman Ode mendatangi ku tadi. Ia memberikan boneka besar sebagai kado ulang tahunku. ia juga menitip salam pada kakak. Katanya maaf tidak bisa menemui kakak.
"Ayahmu datang ke istana, Jim." Louvien melipat kembali surat dari Azaella. Ia mengambil sepotong kue kering, lalu memakannya. "Ia menemui adikku. Tidak mungkin dia datang begitu saja ke istana hanya untuk memberikan hadiah untuk El. Pasti ada sesuatu."
"Aku memberitahu padanya tentang kejadian kemarin. Aku merasa ayahku berhak tahu. Saat mengetahui itu, ayahku bilang ia akan menemui Azaella. Katanya 'ayah harus melihat keadaan Tuan putri'. Ayahku terlihat sangat mengkhawatirkan Azaella." Jelas Jimchean. "Menurutmu, kematian kedua orang tuaku benar-benar ada sangkut pautnya dengan El?" Jimchean bertanya dengan ragu.
"Kenapa kau berpikir seperti itu, Jim?" Louvien kembali bertanya. Nada bicara kini sedikit tersirat rasa kesal. Ia merasa Jimchean sedikit membenarkan perkataan orang kemarin mengenai Azaella. Secara tidak langsung ia setuju bahwa Azaella kemungkinan menjadi penyebab kematian Raja dan Ratu terdahulu.
"Kau tahu kan tentang rumor yang mengatakan seharusnya El tidak bisa bertahan hidup dan meninggal dalam kandungan baginda Ratu. Rumor itu selalu terdengar dari telinga ke ke telinga lainnya dulu seakan-akan itu memang benar adanya dan bukan hanya sekedar rumor belaka. Ibuku juga selalu menangis setelah mendengar rumor itu dan mendoakan keselamatan Baginda Ratu."
"Jadi kau berpikir orang aneh kemarin benar?" Louvien mulai menaikkan nada bicaranya.
"Bukan seperti itu. Banyak sekali hal janggal. Tentang Baginda Raja dan Ratu terdahulu. Tentang Azaella. Tentang ayahku yang menyembunyikan semuanya. Memangnya kau benar-benar tidak merasa aneh?"
"Tentu saja, Jim. Tapi bukan berarti kau boleh berpikir adikku ada hubungan dengan kematian Raja dan Ratu terdahulu. Walaupun memang sebelum pergi hari itu, Ayah dan Ibuku sedikit bertengkar. Aku tidak mendengar jelas apa yang mereka debatkan. Tapi mereka terus-menerus menyebutkan nama El saat itu. Tapi bukan berarti itu juga membuat El menjadi alasan kematian mereka. Aku yakin El tidak ada kaitannya."
(;)