Guests are not invited to come suddenly. You only have two choices. Treat him politely or kick him out.
"Laporan desa timur hanya sebanyak ini?" Louvien menepuk pelan tumpukan kertas yang tak terlalu banyak. Jimchean mengangguk dari kejauhan. Ia hanya mengangguk tanpa membuka suara sedikit pun. Karena ia juga sedang sibuk memeriksa dokumen-dokumen yang baru masuk hari ini. "Aku kira akan lebih banyak dari ini. Wilayah timur memang memiliki sedikit masalah dari dulu. Aku lega. Bangsawan yang disana melakukan tugasnya dengan baik."
"Kau harus berterima kasih banyak padanya, Vi. Berikan bangsawan-bangsawan wilayah timur beberapa hadiah. Berkat mereka, pekerjaanmu tidak terlalu menumpuk walaupun masih banyak. Terutama pada keluarga Baron." Jimchean berbicara tanpa melihat si lawan bicara. Kalau Jimchean bukan sahabat dekat Louvien, sikapnya sudah sangat tidak sopan pada Raja. Karena Louvien yang terbiasa dengan sikap Jimchean yang seperti ini, malah dia akan merasa sangat aneh jika Jimchean bersikap layaknya tangan kanan raja lainnya. Berbeda dengan Eiljung. Semenjak Louvien naik tahta, sikap Eiljung berubah sedikit demi sedikit. Ia menjunjung tinggi sikap hormat pada keluarga kerajaan karena didikan keluarganya. Padahal, Louvien sangat tidak memperdulikan itu.
"Coba saja, semua desa sama seperti wilayah timur. Maka pekerjaanku tak sebanyak ini. Ayah hebat sekali bisa bertahan selama bertahun-tahun dengan hal seperti ini." Louvien menyandarkan dirinya. "Wilayah utara adalah hal yang paling aku tidak suka. Sepertinya, kita harus mengevaluasi bangsawan yang ada disana. Sangat tidak bertanggung jawab. Mereka pasti tidak melakukan apa-apa. Buktinya, kebutuhan para rakyat di wilayah utara selalu kurang. Hanya wilayah utara yang membuat tumpukan kertas setinggi itu." Louvien menunjuk kearah tumpukan kertas yang ada di pojok ruangan. Tumpukan kertas itu hampir menyaingi tinggi Vi dan tumpukan kertas itu bukan hanya ada satu, tapi dua. Pekerjaan yang menumpuk.
"Aku ingin liburan."
"Hah?! Memangnya orang sepertimu bisa mendapatkan liburan? Jangan bicara hal aneh dan cepatlah selesaikan pekerjaanmu."
Louvien berdecak kesal.
"Ah! Vi..." Jim akhirnya menoleh. "Bagaimana dengan pesta ulang tahun, Azaella? Kau sudah memilih diantara nama-nama yang kuberikan?"
Lovien sedikit melirik, lalu kembali fokus pada kerjaannya. "Entahlah. Aku tak tahu kalau akan sesusah ini. Lagi pula ada apa dengan peraturan tentang bertunangan di umur tujuh belas tahun? Kan, masih ada tahun-tahun lainnya untuk memilih tunangan."
"Kalau peraturan itu berubah, aku yakin sampai tua pun Azaella tidak akan mendapatkan tunangan ataupun pasangan hidup." Jimchen sepenuhnya benar. Louvien akan terus menurus mengundur pertunangan Azaella nantinya.
"Tapi, kenapa pemilihan kandidatnya diserahkan kepadaku bukannya langsung ke El saja?" Walaupun Louvien adalah orang pertama yang sangat tidak rela Azaella memiliki pasangan, tapi ia menjunjung tinggi 'apapun yang adikku pilih, selagi itu tidak membahayakannya dan dapat dipercaya, aku akan menerimanya'.
"Sudah kuberikan. Jauh sebelum ini. Tapi El bilang, ia akan menentukannya saat bertemu dan mengenal mereka secara langsung."
Suara ketukan pintu terdengar. Louvien pun mempersilahkan untuk masuk. Seorang penjaga istana masuk, memberi salam, lalu melapor. "Yang Mulia, ada yang orang yang mencurigakan tiba-tiba masuk ke dalam istana. Dan saat kami ingin mengusirnya, ia mengatakan hal yang cukup aneh." Lapor sang penjaga istana.
Louvien dan Jimchean saling bertatapan bingung. "Aneh?" Tanya Jimchean.
"Iya, Tuan. Ia mengatakan kalau ia mengetahui semua tentang kematian Raja dan Ratu terdahulu."
Louvien menoleh lagi pada Jimchean. "Bagaimana menurutmu?"
"Apa yang Andaa maksud, Yang Mulia? Usir saja dia. Tiba-tiba datang menyusup dan mengatakan kalau ia tahu apa yang selama ini kita cari tahu. Sudah pasti tidak benar. Jangan bilang Yang Mulia mau menemuinya? Apa tidak ada kabarnya Eiljung membuat Anda senekat ini?"
Louviean bangun dari duduknya. "Dia ada dimana sekarang?" Dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang dikatakan Jimchean. Bukan karena ia nekat seperti apa yang Jimchean bilang. Ia hanya merasa bahwa ia harus menemui orang tersebut. Entah mengapa ia merasa seperti itu. Dalam benaknya hanya terdengar, 'temui-lah orang itu!'.
"Aula istana, Yang Mulia." Jawab Ksatria yang semakin menundukkan kepalanya
"Baikalah kita temui dia." Louvien merapihkan sedikit bajunya, lalu mengambil jubahnya. "Kita dengarkan dulu apa yang ia tahu, baru setelah itu kita pikirkan kembali."
"Ya-yang Mulia!" Jimchean menaikan sedikit nada bicaranya. "Yang Mulia sudah gila atau bagaimana? Kita sedang dalam posisi sama sekali tidak ada petunjuk tentang kasus ini. Kalau Yang Mulia langsung mempercayai orang itu jika dia benar-benar tahu, itu sangat tidak benar. Sudah pasti ia berbohong. Kenapa kita harus mendengar apapun yang ia katakan nantinya?" Selain Louvien yang merasa bahwa ia harus menemui orang itu, Jimchean juga merasa gelisah dan takut jika Louvien menemui orang itu nantinya. Makanya ia sangat bersikeras membuat Louvien langsung mengusir orang tersebut. Ia benar-benar gelisah.
"Kau berani menaikan nada bicaramu padaku, ya Jim? Balas Louvien dengan suara yang mencekam.
Seketika Jimchean langsung menutup rapat mulutnya, menelan ludah secara kasar, menunduk dalam. "Maafkan saya Yang Mulia. Sudah berani menaikan nada bicara saya."
Louvien langsung membalikkan badannya. "Tunjukan jalannya." Jimchean gagal. Louvien tetap akan menumui orang tersebut. Berdoa saja semua kegelisahan Jimchean hanya perasaan belaka.
Ksatria yang sedari tadi hanya diam mematung langsung memundurkan langkahnya. "Baik, Yang Mulia."
πππ
Louvien yang sedari tadi jalan dengan langkah penuh tergesa, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Begitupun yang lain juga ikut menghentikan langkahnya. "El?" Ucap Louvien yang kemudian perempuan yang berdiri terdiam langsung tersadar dari lamunannya dan menoleh. "Sedang apa kamu disini?"
"Eh?" Azaella kebingungan sendiri. "Orang ini tamu Anda, Yang Mulia?"
Louvien juga kebingungan. Louvien menatap pria mencurigakan itu yang disamping kanan dan kirinya ada ksatria yang siaga menjaga. Ia sedang tersenyum sambil memperhatikan Azaella yang sedang menunggu jawaban Louvien. Dengan segera, Louvien menuruni tangga. Ia sedikit menarik Azaella, lalu memberi arahan pada Azaella untuk berdiri di belakangnya.
"Siapa kau?" Tanya Louvien dengan nada dingin. Tatapannya juga tak kalah dingin dan sangat tajam. Para ksatria yang berjaga di sekitar tetap dalam keadaan sigap. Bahkan ada beberapa ksatria tambahan yang dibawa oleh Jimchean untuk berjaga-jaga.
"Nama saya Halvor. Pengelana yang secara kebetulan sedang singgah di Ibukota. Salam hormat, Yang Mulia Raja Louvien." Orang itu memberi hormat sangat sopan. "Saya tidak menyangka bahwa Yang Mulia akan datang kesini untuk menemui saya. Apa karena Yang Mulia penasaran dengan apa yang saya katakan pada kesatria sebelumnya?"
"Untuk apa kau datang kesini? Pasti bukan hanya sekedar memberitahu tentang itu, kan?"
"Awalnya saya kesini hanya untuk memeriksa sebentar. Dan ternyata saya mendapatkan hal yang cukup mengejutkan. Daripada hanya mampir lalu diusir paksa, saya memutuskan untuk berbagi sebuah cerita kepada Anda, Yang Mulia."
"Beritahu apa yang kau tahu sekarang juga." Nada bicara Louvien semakin mencekam. Azaella masih setia berdiri bersembunyi di belakang Louvien.
"Kedua orang tua anda dibunuh. Bukan meninggal karena kecelakaan sepele seperti apa yang diumumkan kepada khalayak umum, bukan? Dan alasan mengapa mereka dibunuh adalah perempuan yang ada dibelakang anda." Louvien langsung menoleh ke arah Azaella yang masih terdiam. "Iya. Tuan Putri Azaella-lah penyebab kematian Raja dan Ratu sebelumnya. Semuanya akan terkuak sedikit demi sedikit nantinya. Benarkan, Tuan Putri? Kita semua masih belum tahu akhir dari dunia itu."
"Keluar! Apa-apaan kau menuduh adikku seperti ini! Usir dia!!! Pergilah!" Perintah Louvien sambil membentak. Tanpa disuruh lagi, para penjaga sudah bersiap untuk mengusir orang itu. Memang sedari awal sudah seharusnya Louvien memerintahkan para ksatria penjaga untuk mengusir orang itu. Benar kata Jimchean.
Orang itu pun berdiri tegap, menatap Louvien dengan tatapan meremehkan. "Tidak usah mengusir saya, Yang Mulia. Saya akan pergi sendiri. Yang terpenting, saya sudah menemukannya." Pria tersebut memberikan hormat. "Sampai bertemu lagi, Tuan Putri." Ucapnya sebelum melangkah pergi dengan sendirinya, keluar dari istana.
"Apa-apaan dia!!" Louvien sangat kesal pada orang itu.
"Kak!" Azaella menarik lengan baju Louvien. Ia memanggil dengan begitu lembut dan pelan. "Dia bukan manusia. Tidak ada hawa kehidupan sama sekali. Auranya juga aneh. Seperti iblis yang menyamar jadi manusia."
Louvien pun terkejut bukan main. Bukan hanya karena kalimat yang di lontarkan Azaella--ya walaupun itu juga sangat mengejutkan, tapi karena hal yang ia lihat kini sama mengejutkannya. Sebelah mata Azaella berubah. Dari warna coklat menjadi warna biru terang.
Louvien menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mengusap-usap kedua matanya. Mengedipkan berkali-kali. Untuk memastikan kembali, apa yang ia lihat sebelumnya. Benar. Ia salah lihat. Warna mata adiknya masih normal. Tak ada yang berubah. Apa ini efek ia kelelahan? Dia harus meminta Jimchean untuk beristirahat seharian hari ini. Kepalanya juga sudah mulai pening. Tak lucu kalau ia jatuh sakit sekarang. Kerena itu membuat pekerjaannya semakin menumpuk dan tak terurus.
"Kakak? Apa kamu baik-baik saja?" Azaella mengusap lembut pipi Louvien.
Kenapa Azaella bersikap biasa saja?
Orang aneh itu sudah mengatakan hal yang tidak masuk akal, yang membuat Louvien bahkan semua yang ada di ruangan yang sama sangat terkejut. Hal normal kalau Azaella menjadi orang yang paling terkejut. Namun Azaella bersikap biasa saja. Ia malah mengatakan hal aneh lainnya. Bukan manusia? Apa maksudnya?
"Sudah kukatakan jangan menemuinya. Sudah pasti akan seperti ini. Kita harus lebih berhati-hati lagi. Ini benar-benar sangat mengejutkan. Ia mengatakan bahwa Tuan Putri adalah alasan kematian mendiang Raja dan Ratu. Benar-benar tidak masuk akal." Kini suara Jimchean mengintrupsi. "Apa aku perlu menyelidiki tentang orang itu?" Tanya Jimchean.
"Di-dia mengatakan itu?" Azaella melontarkan pertanyaan dengan ragu. Louvien dan Jimchean seketika membisu. Jimchean yang bahkan berdiri jauh dari Louvien dan orang aneh itu saja mendengar semua ucapan orang aneh itu. Suaranya menggema ke seluruh aula. Tapi Azaella yang selalu berada dekat dengan Louvien dan orang aneh itu tidak mendengarnya?
"i-iya. Tadi dia mengatakan itu. Kau tidak mendengarnya?"
Azaella mengangguk pelan. "Tidak sama sekali. Aku bahkan tidak melihat bibirnya bergerak sama sekali. Ia tidak menjawab semua pertanyaan Yang Mulia. Ia hanya tersenyum padaku, makanya pandanganku terkunci padanya. Aku kira Yang Mulia mengusirnya karena ia tidak ingin bersuara. Aku hanya dengar kalimat terakhirnya tadi. Tidak usah mengusir saya, Yang Mulia. Saya akan pergi sendiri. Yang terpenting, saya sudah menemukannya. Sampai bertemu lagi, Tuan Putri. Hanya itu. Memangnya ia mengatakan apa sebelumnya?"
Penjelasan Azaella semakin membuat Louvien dan Jimchean kebingungan.
"Jim, panggilkan tabib istana sekarang. Suruh ia langsung ke kamarku. Sekarang juga!" Perintah Louvien yang menekan disetiap katanya. Lalu tanpa aba-aba Louvien menggendong Azaella. "Kita harus periksa dirimu dahulu."
πππ
"Bagaimana kabar Ailia?" Seorang perempuan berparas cantik, berbalut gaun hijau yang panjang, bertanya pada salah satu penjaga yang sebelumnya ia perintahkan untuk mencari seorang perempuan.
"Masih belum menemukannya, Yang Mulia. Saya sudah memberitahu Ingrid dan Zein untuk memperluas daerah pencarian Nona Ailia. Padahal mereka bertiga terlempar bersama, tapi mengapa mereka berpencar begitu jauh?" Jelas sang penjaga laki-laki yang bertugas memantau itu.
"Pokoknya, Ailia harus di temukan. Keselamatannya nomor satu. Kalau ia tidak bisa di temukan, maka hancurlah kita." Perempuan itu menggigit jari. Ia sangat panik. "Walaupun sekarang orang itu sudah diketahui keberadaannya, tapi tetap saja aku tidak tenang. Ia berada di dunia yang sama dengan dunia Ailia terlempar. Ini berita sangat buruk."
"Ternyata laki-laki brengsek itu lebih cepat. Aku kalah." Gumam laki-laki penjaga itu.
"Tidak. Aku yakin kamu pasti bisa menemukannya. Itulah mengapa aku mengangkatmu jadi penjaga utama dan bekerja di bidang ini. Kita hanya kurang beruntung saja karena terputus komunikasi dengan Ailia dan kekuatan Ailia yang tidak bisa di lacak keberadaannya. Lain kali aku akan menanamkan sihir khusus di tubuh kalian agar mudah mengetahui posisi kalian walaupun kekuatan kalian habis."
"Tapi, Yang Mulia, Nona Ailia tidak mati, kan? Kita akan mati kalau kekuatan kita menghilang sepenuhnya dari tubuh kita, bukan? Karena itu sumber kehidupan kita. Tapi, saat ini kita tidak bisa merasakan kekuatan Nona Ailia sama sekali, sedangkan Ingrid dan Zein bisa padahal kekuatan Nona Ailia lebih besar dari mereka. Apa Nona Ailia benar-benar masih hidup?"
Perempuan itu mengusap kepala penjaga termudanya itu, "aku yakin Ailia masih hidup. Ia berbeda dari kita semua. Bahkan iblis yang menyamar jadi dewa itu saja sangat ketakutan padanya. Ailia itu berbeda"
πππ
"A-anu... Kita mau sampai kapan berdiam seperti ini? Kalau memang tidak ada yang dikatakan lagi, aku mau kembali ke kamarku. Tadi hanya periksa sebentar saja kan? Tabib bilang sudah tidak apa-apa." Setelah satu jam lamanya tidak ada yang mau membuka suara, Azaella akhirnya memutuskan untuk berbicara.
"Pertama, apa yang kamu maksud dari 'bukan manusia' yang sebelumnya kamu katakan, El?" Louvien yang masih setia mendekapkan kedua tangan didepan dada sambil bersenderan di sofanya akhirnya ikut berbicara.
"Aku melihat asap hitam disekelilingnya. Sebelum kakak datang, udara sekitar sangat mencekam. Aku kesulitan bernafas saat itu. Mata merahnya juga seperti menusuk dalam kearahku. Aku merasa dia bukan sembarang orang. Dia memiliki aura yang menyeramkan. Mungkin saja ia Iblis? Tapi aku tidak tahu. Orang itu sangat aneh."
"Ya benar sangat aneh. Tapi kakakmu yang bodoh ini malah memutuskan untuk menemuinya, bukan langsung saja mengusirnya." Kali ini Jimchean yang berbicara.
"Lama-lama akan ku robek bibirmu, Jim."
"Sebelumnya kalian mengatakan bahwa ia bilang akulah alasan Ayahanda dan Ibunda tiada?" Azaella mengeratkan genggaman kedua tangannya.
"Lupakan saja itu. Itu bukan hal yang penting." Louvien bangkit dari duduknya. "Kamu tadi ingin kembali ke kamarmu, kan? Aku juga ingin kembali mengurus dokumen-dokumen lagi."
"Apanya yang tidak penting, kak?" Azaella menatap Louvien dengan tegas. "Aku tahu apa yang ia bicarakan itu sangat tidak masuk akal bagi kakak, bagi kak Jim juga bukan? Tapi bagiku masuk akal. Sebelum pergi Ibunda mengatakan beberapa kalimat aneh. Ibunda bilang, 'maaf telah memaksamu untuk bertahan hanya demi keegoisan kami. Kali ini kami rela'. Sampai sekarang aku sama sekali tidak tahu maksud dari kalimat terakhir Ibunda itu."
"Lalu mengetahui orang itu bilang aku adalah alasan kematian Ayahanda dan Ibunda adalah aku. Aku merasa bahwa ada kaitannya dengan ucapan Ibunda. Apanya yang tidak penting, kak? Kebenaran mengenai kematian Ayahanda dan Ibunda adalah hal penting!"
Azaella menarik nafas panjang. "Aku tahu kakak juga sadar akan hal itu, kan? Kematian Ayahanda dan Ibunda sangat aneh. Orang tadi juga sangat aneh. Tapi bukannya diriku juga aneh? Sejak kecil terlahir lemah, bahkan banyak yang bilang aku tidak akan selamat dan meninggal. Tapi aku masih hidup hingga sekarang. Memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Walaupun beberapa tahun belakangan ini tidak kambuh separah saat aku kecil. Banyak hal aneh kalau dipikirkan kembali, kak. Aku tahu pasti ada yang kakak sembunyikan. Tentang aku, tentang ayahanda dan ibunda, dan juga tentang alasan Eiljung pergi. Aku hanya berpura-pura tidak sadar selama ini karena aku yakin kakak akan memberitahuku nanti. Apa sebegitu tidak percayanya kakak padaku sampai-sampai tidak memberitahu aku apa-apa? Atau karena aku masih kecil? Atau karena alasan, ''kami menyembunyikannya karena kami sayang padamu'? Kenapa kak? Aku juga sangat ingin membantumu. Aku juga sangat ingin tahu alasan kematian kedua orang tua kita. Apa susahnya memberitahu padaku?"
Ini pertama kalinya Azaella menggebu-gebu seperti ini. Sepertinya ia cukup lelah berpura-pura selama beberapa tahun ini. Ia sudah sampai dititik terakhir kesabarannya.
Louvien tidak mengatakan apapun. Ia terdiam. Begitu juga Jimchean. Mereka sama sekali tidak pernah melibatkan Azaella tentang kasus ini. Sama sekali tidak pernah. Memang seharusnya Louvien memberitahu Azaella sedikit demi sedikit sebelumnya. Bagaimana pun juga Azaella pasti sangat ingin mengetahui kebenarannya sama sepertinya. Louvien memang salah disini. Tidak ada pembenaran apapun atas pilihan Louvien menyembunyikan semuanya pada Azaella.
(;)