the fairy tale that turns out to be the real thing, it's crazy isn't it?
Dongeng yang sangat terkenal di kerajaan Naveyliam. Saking terkenalnya, para rakyat membuat sebuah festival tersendiri dengan tema dongeng ini. Festival ini selalu di rayakan di Ibu Kota. Dan banyak orang dari desa datang ke Ibu Kota hanya untuk ikut memeriahkan festival itu.
Dongeng ini hanya menceritakan tentang dua kerajaan di dunia fantasi penuh sihir dan kekuatan magis lainnya yang tak pernah berhenti berperang. Tidak ada hal yang dapat dipetik. Tidak ada kisah romantis juga. Hanya perjuangan dua orang yang ingin kerajaannya saling damai. Hanya itu.
Tapi orang yang menyebarkan cerita itu pertama kali memanglah hebat.
Dia menyajikan dongeng ini dengan penuh kata-kata yang bisa menghipnotis seseorang yang mendengar cerita itu terjerumus dalam imajinasi dongeng tersebut. Sampai-sampai banyak yang percaya kalau itu bukanlah dongeng. Two World ada di dunia asli. Tak terlihat. Namun ada. Gila memang. Tapi sudah semua rakyat percaya akan hal itu, malah para bangsawan. Termasuk Ratu Alverina, ibu Louvien dan Azaella. Sampai-sampai beliau membuatkan buku dongeng khusus untuk anaknya tentang Two World.
Anehnya, dongeng yang biasa ia ceritakan pada anaknya, Azaella dan Louvien yang sebenarnya tidak pernah mau di ceritakan dongeng seperti ini—berbeda. Bukan dalam segi cerita, tapi dalam segi penyampaiannya. Kalau dalam dongeng yang para rakyat percayai masih ada beberapa kejanggalan yang masih abu-abu. Seperti pertemuan sang putri dan sang pangeran, alasan utama kedua kerajaan mereka selalu berperang. darimana asalnya kekuatan magis yang ada dalam dunia itu, dan masih banyak lagi. Sedangkan dongeng versi Ratu, begitu detail. Sangat menjelaskan hingga ke intinya. Ceritanya lebih rumit dimengerti, namun lebih masuk akal.
"Ayo Azaella. Kita mulai berdongeng," Ratu Alverina menaikan selimut Azaella hingga menutupi seluruh badannya. Azaella sudah berumur sepuluh tahun. Kamar tidurnya sudah di pisah dengan Louvien. Mereka sudah dewasa, tentu saja harus di pisah.
"Two World adalah dunia penuh fantasi. Dalam dunia itu, ada dua kerajaan terkuat, Lightworld dan Darkworld. Sejak dahulu, kedua kerajaan itu selalu berperang tanpa henti untuk merebutkan kekuasan penuh atas Two World. Legenda mereka mengatakan, kalau hanya ada satu orang pemimpin yang bisa memimpin Two World bagaikan sang dewa. Pemimpin itu akan memegang penuh kekuasaan atas segalanya. Semua perintahnya akan menjadi sangat mutlak dan tak terbantahkan. Cara menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin itulah yang sangat sulit. Caranya bukan dengan ikatan darah seperti kerajaan di dunia kita. Mereka harus berlomba-lomba untuk menemukan kekuatan yang di anugrahkan itu yang entah tersembunyi dimana. Saat seseorang berhasil mendapatkannya, ia akan langsung menjadi sang pemimpin. Tak peduli dia Raja, Ratu bahkan rakyat."
Ratu Alverina berhenti bercerita. Anak bungsu perempuannya ini sudah mendengkur pelan, tenggelam dalam dunia mimpi. Padahal Ratu Alverina baru saja membaca satu halaman dari buku dongeng tersebut. Putrinya sudah sangat mengantuk rupanya. Matanya tertutup begitu damai. Dadanya naik turun dengan teratur. Sinar bulan yang berasal dari jendela yang sedikit terbuka itu menyinari wajah imut nan cantiknya itu. Masih kecil saja sudah secantik ini.
Sang ibu mengusap lembut kepala anaknya. Menatapnya penuh kasih sayang. Matanya mulai berkaca saat melihat anaknya tersenyum dalam tidurnya. Syukurlah ia bermimpi baik.
Wanita itu menundukan badannya, mengecup lembut kening Azaella. "Saat ia datang nanti, menagih apa yang memang menjadi miliknya. Kau harus memberikannya. Jangan dibawa lari." Setelah itu, air mata pun mengalir di pipi sang Ibu dengan perlahan. "Kami sudah cukup bahagia."
Ketukan pintu yang terdengar amat sangat pelan itu, takut membangunkan sang Putri tidur terdengar sampai ke telinga wanita yang dengan cepat menghapus air matanya. "Apa kau baik-baik saja?" Tanya laki-laki dengan pakaian santainya. Walaupun seperti itu, ketampanannya tidak memudar sama sekali. Dan ketampanan itu menurun pada anak laki-lakinya, Louvien.
"Aku baik. Kau ke kamar saja. Aku belum memberikan kecupan pada Vi." Jawab wanita itu dengan lembut.
"Louvien sudah dewasa. Jangan terlalu memanjakannya. Dia juga sudah malu pada Jimchean dan Eiljung saat ketahuan masih kau manja."
Wanita itu terkekeh, "baiklah. Mari kita tidur." Wanita itu bangkit dari duduknya. Tersenyum terlebih dahulu kepada anak bungsunya sebelum pergi meninggalkan kamarnya bersama suaminya.
Meninggalkan anaknya sendirian adalah hal terberat bagi Ratu Alverina.Pasalnya, sang anak memiliki riwayat penyakit yang belum ada obatnya. Jika kambuh, tidak ada orang yang tahu dan penanganannya akan terlambat. Itulah yang ia takutkan. Tapi Raja menyakinkan kembali untuk membiarkan anak keduanya ini mandiri dengan tidur sendiri. Putrinya itu memang berbeda, tapi jangan terlalu di perlihatkan perbedaan itu. Karena itu akan membuat sang anak menjadi semakin mengurung. Mau tak mau, Ratu harus menurut pada perkataan Raja, suaminya. Dengan berat hati, ia membiarkan Azaella belajar melakukan segala hal sendiri.
πππ
Azaella terbangun dari tidurnya. Ia langsung duduk, bersandar pada kepala ranjangnya. Ia menatap kosong ke depan. Tangannya terangkat, mengusap pelan pipi kanannya. Ada bekas air mata disana. Ia menangis saat tidur. Tak tahu apa penyebab sebenarnya. Karena Azaella lupa dengan apa yang ia mimpikan.
"sepertinya aku merindukan Ibunda." pikirnya dalam hati.
Azaella mengusap semua air matanya. Pribadi nan cantik itu pun mendudukan dirinya di pinggir ranjang, lalu meregangkan badannya sambil menguap. Tidak ada orang sama sekali saat ini di kamarnya, jadi ia bisa bebas, tak usah menjaga imagenya. Sungguh bosan, hidup dengan penuh peraturan dan tata krama yang mengikat ketat. Hidup sebagai keluarga bangsawan bukanlah hal yang menyenangkan, melainkan sengsara. Jangan pernah bermimpi lagi untuk hidup sebagai keluarga bangsawan.
Perempuan dengan berbalut baju piyama putih yang panjangnya hanya menutupi sampai lutut itu turun dengan enggan dari ranjangnya, berjalan menuju jendela untuk membuka gorden besarnya, tak lupa juga kaca jendelanya. Angin pagi menerpa sejuk kulitnya. Ia memejamkan mata untuk menikmatinya. Kicauan burung menjadi latar musik saat ini. Pagi kali ini menyejukkan sama seperti biasanya.
Ketukan pintu pun terdengar tak lama setelahnya. Azaella pun langsung mempersilahkan masuk. "Selamat pagi, Tuan Putri." Anne, pelayan Azaella sejak ia kecil datang menghampiri Azaella dengan tersenyum. "Air panas untuk Anda sudah saya siapkan. Nanti siang, Tabib akan datang memeriksa Anda lagi." Lanjut Anne
Azaella mengerucutkan bibirnya. "Aku masih harus diperiksa lagi, Anne? Kan, aku sudah tidak apa-apa. Apa tidak bisa mengatakan pada Tuan Tabib untuk tidak memeriksaku hari ini? Apalagi, obat yang ia bawa sungguh pahit. Aku tidak suka." Azaella memprotes. Percuma saja protes pada Anne sudah pasti tidak akan di terima. Anne hanya melakukan hal yang diperintahkan Louvien.
"Di dunia ini, tidak ada obat yang manis, Tuan Putri. Semuanya pahit." Sahut Anne dengan sopan. Azaella mendengus kesal. Memang percuma kalau hanya mengeluh pada Anne. Kakak-nya lah yang memegang kekuasaan penuh disini. Azaella Melangkah dengan menghentakan kecil setiap langkahnya tanda ia masih kesal menuju ruang mandi. Mau tak mau, ia harus mau di periksa lagi hari ini. Ingatkan Azaella untuk protes pada kakaknya nanti siang.
"Tuan Putri," Anne memanggil dengan sangat lembut. Azaella yang baru saja ingin masuk ke dalam ruang mandi itu pun berbalik badan. "Apa... Anda masih membaca cerita ini setiap malam?" Tanya Anne dengan sedikit ragu sambil memegang sebuah buku cerita.
"Tentu saja. Aku bisa tidur nyenyak karena selalu membaca cerita itu. Buku itu satu-satunya peninggalan dari Ibunda." Jawab Azaella, lalu setelahnya ia pergi meninggalkan Anne yang masih terdiam sambil memandang buku itu.
πππ
Diperiksa oleh tabib setiap harinya adalah rutinitas Azaella. Ini semuanya berkat kakaknya yang protektif itu, padahal sudah tak apa-apa, tetap saja harus di periksa setiap hari. Sewaktu kecil, ia tidak pernah seperti ini. Memang Azaella selalu melakukan periksa rutin, tapi tidak setiap hari seperti ini. Ini terlalu berlebihan.
"Selesai, Tuan Putri. Seperti kemarin, anda baik-baik saja. Sehat sempurna." Ujar tabib setelah selesai memeriksa Azaella. "Karena obat yang kemarin sudah habis, saya bawakan kembali obat yang baru. Anda harus meminumnya dan jangan di buang seperti waktu itu, ya."
Azaella menajamkan pandangannya pada sang Tabib, "katanya aku sudah tidak apa-apa. Kenapa harus meminum obat lagi? Obatnya tak enak. Pahit. Aku tidak suka. Berbeda sekali dengan obat yang biasa aku minum sejak kecil." Alasan pahit sudah menjadi satu hal yang sering Azaella gunakan untuk menolak meminum obat.
"Tentu berbeda, Tuan Putri. Obat yang biasa Tuan Putri minum sejak kecil itu untuk menambahkan daya tahan tubuh Tuan Putri agar Tuan Putri tidak sering jatuh pingsan lagi. Dan kalau obat yang sekarang itu untuk menghilangkan racun-racun dalam tubuh." Jelas tabib dengan sabar. Dari kecil, Azaella kalau di periksa selalu seperti ini, merah-marah, lalu menanyakan segalanya. Membuat tabib mau tak mau menjelaskannya agar Azaella bisa mengerti dan juga menghabiskan obatnya.
"Tapi, bisa tidak, kalau aku tidak usah di periksa lagi? Sumpah. Aku sudah tidak apa-apa. Aku sudah cukup sehat sekarang." Azaella kini bernegosiasi pada tabib. Ia lupa? Percuma saja bernegosiasi pada dayang, tabib atau yang lainnya jika kakak-nyalah yang memegang perintah.
"Tidak bisa, Tuan Putri. Saya akan terus memeriksa Tuan Putri sampai Yang Mulia Raja yang memerintahkan saya untuk berhenti. Saat ini, kesehatan Tuan Putri yang di utamakan. Yang Mulia Raja sangat mengkhawatirkan Tuan Putri. Beliau terlihat sangat panik sekali hari itu, melihat anda sangat kesakitan. Percayalah, Tuan Putri, Yang Mulia Raja melakukan hal ini karena beliau sangat menyanyangi anda."
"Seharusnya kalian juga memeriksa kesehatan Yang Mulia Raja. Dia jarang tidur dan istirahat. Aku tahu kalian semua disuruh Yang Mulia Raja untuk menyembunyikan fakta ia kurang tidur. Lalu, kalau aku tidak mengingatinya pasti ia juga sering telat makan setiap harinya. Bukankah kesehatan Yang Mulia Raja yang menjadi prioritas utama kalian? Kalau Yang Mulia Raja sakit, nanti siapa yang mengurusi kerajaan ini?" Azaella mengelak. Membawa kakaknya sebagai alasan barunya.
"Untuk sekarang, Andalah prioritas utama kami. Yang Mulia Raja juga kami periksa setiap minggunya, kesehatannya sangat kami jaga--"
"Iya, iya... Aku mengerti." Azaella menghela nafas kesal. "Pemeriksaannya sudah selesai, kan? Kalau begitu aku akan berkeliling istana." Azaella pun berdiri, lalu pergi meninggalkan Anne dan Tabib.
"Terima kasih untuk tetap sabar menghadapi Tuan Putri, Tuan Tabib." Anne sedikit membungkukkan dirinya.
"Tak usah berlebihan. Ini memang sudah menjadi tugasku sejak lama. Saya tahu betul mengapa Tuan Putri sangat kesal. Tapi tolong pastikan Tuan Putri meminum obatnya selalu." Anne mengangguk pelan. "Kalau begitu, saya pamit untuk menghadap Yang Mulia Raja. Permisi."
"Terima kasih, Tuan Tabib."
πππ
Suara ketukan meja terus terdengar dengan tempo seperti jarum detik jam. Suara itu sudah menghiasi ruangan besar itu cukup lama. Suaranya terdengar begitu kencang sampai membuat pria yang sedang memeriksa beberapa kertas dokumen itu begitu kesal. Sang pelaku hanya terdiam tak berbicara sepatah kata pun dan terus mengetuk dengan jari telunjuk dan tangan kiri yang menompang pipinya. Matanya menatap lurus ke depan dengan kosong melompong.
Ada apa dengannya?
Pertanyaan itulah yang terus berkeliling dalam pikiran pria yang merasa terganggu dengan suara ketukan meja itu.
Sudah cukup sabar baginya untuk diam dan membiarkannya. Lalu sekarang kesabarannya sudah dalam kadar mencapai batas. Dengan satu helaan nafas berat, pria ini pun mulai bertanya dengan nada tinggi pada si Raja.
"Kau kenapa? Berhentilah mengetuk-ngetuk meja seperti itu."
Jari itu pun berhenti mengetuk. Dan si pria yang duduk tidak jauh dari Sang Raja itu mendapat tatapan tajam. "Tidak usah banyak bertanya. Selesaikan pekerjaanmu saja." Jawabnya dengan nada yang begitu datar namun terdengar kesal.
Jimchean pun mengerti. Ia melirik kearah jam besar yang berada di pojok ruangan. "Kalau kau sebegitu khawatirnya, datangi saja. Lihat secara langsung daripada seperti ini." Yang Jimchean maksud disini adalah sang tabib istana yang kehadirannya ditunggu oleh Louvien untuk memberikan kabar terbaru kesehatan adiknya.
"Aku juga ingin seperti itu, Jim. Tapi pekerjaanku masih banyak."
"Kalimat itu tidak pantas di ucapkan oleh orang yang sedari tadi diam tak melakukan kemajuan dalam pekerjaannya." Jimchean tak sepenuhnya salah. Memang Louvien sedari tadi hanya diam sambil mengetuk meja. Berkas yang berada di atas mejanya itu sama sekali tidak ia sentuh.
"Diamlah. Kau membuat suasana hatiku buruk." Louvien kembali mengetuk-ngetuk meja. "Perasaanku tidak enak."
"Kali ini apa lagi?" Jimchean benar-benar merasa kesal.
"Apa lagi? Memangnya apa lagi? Eiljung benar-benar tidak memberi kabar. Kau tahu kalau reputasiku juga dipertaruhkan disini. Dan aku juga sangat khawatir dengan keadaannya. Bisa-bisanya ia tidak memberi kabar. Itu yang membuat perasaanku tidak enak."
Tunggu. Biarkan Jimchean berpikir.
Jadi tadi Jimchean salah mengira. Ia kira Louvien sedang memikirkan tentang adiknya, karena biasanya di waktu seperti ini tabib sudah datang memberi kabar kondisi Azaella. Ternyata yang dipikirkan Louvien adalah Eiljung.
Pantas saja tadi agak sedikit tidak mengerti.
"Sudahlah. Kau yang menyuruhnya untuk melakukan penyelidikan ini. Kau yang memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Percaya saja padanya. Dan bekerjalah. Tugasmu akan semakin menumpuk."
"Jim, aku ingin bertanya satu hal padamu tentang hal yang mengganjal selama ini."
Hilang sudah kesabaran Jimchean. Ia membanting pelan beberapa kertas yang ia pegang sebelumnya. Menatap kesal Louvien, lalu menarik nafas panjang untuk mengeluarkan semua kekesalannya.
"Vi, kumohon—"
"Sebelumnya, apa kita pernah bertanya tentang kematian Raja dan Ratu pada Duke Tressidale?"
Jimchean kembali menelan kekesalannya, lalu sedikit berpikir. Ia taruh tangannya di bawah dagu, menunduk menatap kakinya sambil mengingat beberapa hal. "Sepertinya belum. Ayahku benar-benar menghindariku. Kami sangat jarang, bahkan sudah tidak pernah berbincang semenjak hari itu."
"Bahkan Beliau tidak datang saat pelantikanku dan benar-benar menyerahkan tugasnya begitu saja padamu. Beliau juga menghindariku dan El." Kedua tangan Louvien saling bergenggaman di atas meja. "Kenapa aku baru sadar sekarang?"
"Jadi, mau mendatangi ayahku dan bertanya?" Tawar Jimchean.
"Tidak. Kita menunggu kabar Eiljung dahulu. Baru kita bertanya pada Beliau." Sungguh jawaban yang tak terduga. Jimchean kira Louvien akan langsung mendatangi Duke Tressidale. Rupanya sang Raja melakukannya secara perlahan-lahan.
"Baiklah. Karena sudah diputuskan, cepatlah selesaikan kerjaanmu. Aku ada kencan dengan Azaella malam ini." Tentu saja kalimat terakhir itu adalah sebuah candaan. Jimchean mendapatkan sebuah lemparan kertas kosong yang sudah diremas sampai berbentuk bulat seperti bola dari Lovien. Jimchean memang sangat suka menjahili Louvien sedari kecil.
(;)