Degup jantungku berdetak cepat. Tangan dan kakiku gemetar, bersamaan dengan air mata yang terus mendesak ingin keluar. Aku kabur dari kampus setelah melihat ayah, lalu pulang ke kosan, tempat yang paling aman tanpa ada yang menghakimi bahwa ‘laki-laki nggak boleh menangis’. Karena aku manusia biasa, aku bisa merasakan segala gejolak emosi: marah, sedih, kecewa, begitu pun dengan rasa bahagia.
Aku menutup diri dari siapa pun. Tak ingin membaginya dengan siapa pun. Mungkin hanya kamar sempit ini yang menjadi saksi bisu betapa terpuruknya aku.
Hampir setengah hari di dalam kamar, seseorang datang menemuiku. Tanpa bersuara dan bertanya, Mentari duduk di sampingku, membelai rambutku yang kusut tak beraturan lagi. Kehadirannya mampu membuatku tenang meskipun hanya sementara. Tangisanku makin meledak, makin terdengar pilu ketika mengingat pertengkaran kedua orang tuaku. Tak menyangka bahwa ternyata ayahku lebih kejam dari preman pasar atau peran antagonis yang kutonton di televisi.
Ketika itu, ayah lebih sering pulang malam menjelang pagi dengan aroma alcohol dan asap rokok yang mencuat kuat. Ibu menunggu hampir semalaman, ia membuka pintu dengan wajah yang lesu dan ngantuk. Keesokan paginya saat aku hendak berangkat sekolah, ibu membangunkan ayah untuk meminta uang saku dan belanja. Namun, respons ayah malah marah-marah mirip orang kesurupan.
“Bajingan ya lo! Gue baru aja tidur pagi. Lo udah bangunin! Dasar istri nggak berguna! Bisanya cuma minta duit aja lo! Bangsat!” Makian itu makin mengerikan, ayah mengabsen bintang lalu memuntahkannya pada Ibu. Ibu tersentak, lalu buru-buru menutup telingaku dengan telapak tangannya agar aku tak mendengar apa yang diucapkan ayah.
Akan tetapi,usaha ibu sia-sia. Aku masih mendengarnya, bahkan mengingatnya sampai sekarang. Dan hal itu membuatku ketakutan sampai sekarang. Meskipun wajah ayah berubah, aku masih belum bisa melupakannya.
“Menangis sepuas yang lo mau, Kak. Di sini, nggak ada satu pun orang yang akan menghakimi lo . Dan aku akan selalu ada.” Mentari seolah-olah bisa membaca segala pemikiranku. Aku mengangguk sembari menangis tersedu, lalu bangkit dan memeluk tubuh Mentari dengan erat. Berharap perempuan itu menjaga kata-katanya untuk tidak pergi. Hari ini, banyak sekali kata yang ingin aku ucapkan, tetapi sulit ku ungkapkan sebab tertahan, sesak di dalam dada. Mungkin esok, lusa, atau ada hari di mana aku bisa melepas semua suara hatiku.
**
Sejujurnya aku ingin mati dan bunuh diri. Namun, saat melihat wajah Babeh, ibu, dan Mas Aksa, aku mengurungkan niatku. Dalam rasa tertekan dan ketakutan yang amat sangat, aku memendamnya seorang diri, setiap hari. Ketakutan, kepayahan, rasa bersalahku, menghantui serta menggerogoti kepercayaan diriku sampai habis tak tersisa. Seolah-olah sampai kapan pun, aku tidak bisa melampaui siapa pun.
Kini hal yang paling aku takutkan tiba. Keluargaku tahu rahasia besarku selama ini: bahwa aku hampir membunuh anak orang. Mati-matian aku menutupinya sejak SMA. Sampai-sampai aku berlutut di hadapan guru di sekolah agar tidak memberitahukan hal ini pada orang tua. Aku tak ingin membuat mereka makin susah dan bersedih.
Meskipun miskin, aku tidak pernah mencuri Orang tuaku tak pernah mengajari perbuatan tercela seperti itu. Uang itu hilang begitu saja dan Irgi berbaik hati untuk menolongku. Lalu entah mengapa pemberitaan tentang pencurinya ternyata adalah Irgi mencuat begitu saja. Sehingga berakhir kecelakaan dan koma, aku merasa sangat bersalah dan menghukum diriku sendiri.
Sampai akhirnya takdir benar-benar mempermainkanku. Setelah melewati hari-hari di SMA yang suram, aku harus melanjutkan kepedihanku di kampus. Lolly, kakak Irgi ada di sini. Maka, ketika ia merundungku, aku tak bisa melawan. Sebab aku sedang menghukum diriku sendiri.
Mas Aksa marah, ia terus-terus bertanya menuntut penjelasanku. Ia juga bilang kecewa pada Daniel yang telah menyembunyikan rahasia itu selama ini. “Gue nggak nyangka selama ini Daniel menutupi hal sepenting ini. Gue pikir dia beneran nganggep gue sahabat. Sahabat apa begini? Tai!”
Kepalaku menggeleng pelan, di dalam hatiku, aku melawan. Daniel bukan orang jahat, ia orang yang tepat janji. Dia adalah sahabat Mas Aksa yang paling setia.
Tidak sedikit pasang mata memandangku jijik, sebagian lagi tak begitu peduli dengan gosip kacangan yang beredar di kampus. Aku masih bisa merasakan ketidaksukaan mereka meski kepalaku menunsuk ke bawah lantai. Begitu pun di kelas, banyak teman-teman yang menjauhiku karena gosip yang beredar. Tak ada satu bangku yang terisa sehingga aku duduk di bangku paling belakang. Terasingkan, tetapi aku tidak merasa sama sekali kaget karena hal ini bukanlah suatu hal yang baru.
Sebelum masuk, tak sengaja aku melihat wajah Daniel dari pantulan kaca piala penghargaan di depan pintu masuk fakultas. Di sana ia sedang menatap seorang pria paruh baya dengan mata berkaca-kaca, kemudian pergi begitu saja.
Kupandangi juga wajah pria tua itu yang tak kalah sedih ketika Daniel pergi begitu saja meninggalkannya. Tubuhku putar arah dan berlari mendekat, tak ingin menyiakan kesempatan yang ada. Dari dekat, aku meneliti setiap jengkal wajahnya yang sangat mirip dengan Daniel.
Menyadari uraian benang merang yang rumit, aku langsung bergegas pergi mencari Daniel yang kehadirannya sudah lenyap tak bersisa. Sehingga aku menerka-nerka di mana ia berada sekarang. Mencari setiap sudut tempat, euang rapat, hinggq akhirnya aku menemukannya di kosan.
“Gue kacau banget hari ini,” katanya dengan suara parau dan berat. Tubuhnya masih meringkuk lemah di kasur.
“Gue juga sama kacaunya kok. Lo nggak sendiri.”
“Maaf, gue makin buat lo terbebani. Padahal lo sendiri lagi punya masalah.”
“Nggak apa-apa. Gue jadi merasa lebih baik kalau ada lo di sisi gue, Kak.”
Kini Daniel memelukku, aku balik memeluknya erat dengan tangisan yang tak kalah kencang. Kami saling memeluk satu sama lain, mencari kenyamanan yang tak pernah kami dapatkan ketika menghadapi sekelumit masalah dunia seorang diri. Anggap saja pecundang. Tapi kami butuh bersembunyi.