Hilmy benar-benar nekad mengajak Aksa
nongkrong bareng. Aksa yang memang anaknya supel bisa dengan mudah akrab.
Ditambah keduanya sama-sama ketua dari sebuah organisasi kampus, Aksa ketua
HIMA Sosiologi dan Hilmy ketua Basket. Tentu saja banyak kecocokan di antara
mereka.
Berbeda dengan Ethan yang memang
netral, aku benar-benar menunjukan wajah tak bersahabat. Rasanya sangat kesal
sekali. Ingin rasanya pergi meninggalkan kafe ini, tetapi aku takut mereka menaruh
curiga.
Ben diam-diam memperhatikan raut
wajahku yang cembetut. Tanpa ragu ia pun menanyakan perihal ‘apakah aku sedang
ada masalah?’ yang tentu saja aku jawab ‘tidak ada dan aku baik-baik saja’.
Kebetulan saja di antara kami yang nongkrong di sini, hanya aku yang sedang
memiliki kekasih sehingga mereka menduga jika aku sedang ada masalah dengan
Mara. Didukung dengan masalah yang aku alami dengan Mara belakangan ini.
“Gue pikir lo udah putus sama Mara,” kata
Hilmy membuka percakapannya denganku. Jari-jari tangannya memegang rokok,
sesekali mengisap dan mengepulkan asapnya ke udara.
“Masih kok.” Aku balas seadanya dan
berharap Hilmy tidak membicarakan apa pun tentang Mara. Karena jujur saja,
makin hari, aku makin manaruh rasa curiga padanya. Setelah mengantarnya ke rumah
sakit, aku berinisiatif menemaninya sampai ke depan kamar di mana Aris di
rawat. Ketika hendak pulang, aku tak sengaja bertemu dengan Aksa di parkiran
rumah sakit. Aksa ingin mengambil obat Babeh di rumah sakit, ia bahkan meminta
tolong padaku untuk menjeput Mentari bekerja. Aku mengiyakan, meskipun tanpa
diminta, aku tetap akan menjemputnya.
Setelah mengantar Mentari, aku tidak
langsung pulang ke kosan. Aku sengaja menunggu Aksa karena ada tugas yang ingin
aku tanyakan. Namun, ada hal yang mengejutkan dari pernyataan Aksa yang aku
dengar.
‘Gue ngeliat pake mata gue sendiri
kalau Mara pelukan sama Aris di bangku taman, Niel!’
Satu hal yang aku yakin betul selama
mengenal Aksa, dia tidak mungkin berbohong. Sontak saja, hal itu makin membuat
perasaanku makin kecewa. Jadi cuma segitu saja perasaan Mara padaku? Atau
selama ini, apakah dia hanya bermain-main saja?
“Tapi iya lho, gue lihat dia lengket
banget sama Aris,” timpal Gin. “Biasanya ke mana-mana kan ngekorin lo mulu.”
Ethan yang cepat membaca situasi ini
pun langsung menengahi, ia takut aku bersedih. “Ya wajar aja deket … kan mereka
satu divisi. Gue denger anak FRSD juga mau bikin acara lagi, kan?”
Antara Ben dan Hilmy saling pandang
dan kompak mengangkat kedua bahunya. Aksa langsung berdehem, membuyarkan
suasana yang tiba-tiba saja canggung di antara kami. Paham dengan kode yang
diberikan, mereka pun tak ada yang berani membicarakan Mara lagi.
“Gue denger bokap lo punya warung mie
ayam. Sabi lah kapan-kapan gue mampir,” ujar Hilmy basa-basi. Rupanya sudah
sejauh itu ia memperoleh informasi tentang Mentari. Dan mendekati kakaknya
merupakan tahapan pertama menuju tahapan-tahapan selanjutnya.
“Boleh. Tapi warung bokap udah jarang
jualan. Paling akhir pekan aja.”
“Kenapa?”
“Bokap gue sakit. Beberapa kali gue
coba buat gantiin, tapi karena bentrok sama jadwal kuliah sama rapat organisasi
… gue jadi susah atur waktunya.”
Hilmy menganggukan kepala kecil,
seolah-olah paham dengan situasi yang dialami oleh Aksa dan keluarganya. “Kalau
adek lo … suka juga bantuin?”
Sejak tadi, pandanganku dan pikiranku
berkeliaran ke sana sini. Aku tak berniat atau mencoba akrab. Namun, ketika
nama Mentari sudah disebut, hatiku mendadak tak terima. Apalagi aku tahu bahwa
maksud dan tujuan Hilmy untuk mendekati Mentari.
Aku berdecak kesal, aku yakin tak ada
yang mendengarnya karena sibuk dengan percakapan mereka.
“Ya, kadang-kadang sih. Tapi kalau
kedapetan shift siang, dia juga nggak bisa bantuin.”
“Gue kagum deh sama lo dan adik lo
itu. Masih muda tapi giat kerja.”
“Ya karena keadaan aja sih. Beda cerita
kalau keluarga gue sekaya Ethan,” kelakar Aksa yang tak menganggap perkataan
Hilmy sebuah pujian.
“Jangan salah … bokapnya Hilmy lebih
tajir lagi. Gue mah kagak ada apa-apanya.” Ethan berusaha merendah. “Nah … makanya
lo semua deketin Hilmy dari sekarang deh … siapa tahu di masa depan, setelah
lulus kuliah, lo semua butuh loker!”
Semua orang tertawa, tetapi tidak
denganku. Kupandangi lagi penampilan Hilmy dari atas sampai bawah. Tidak heran
juga kalau dia anak orang kaya. Pakaian dan segala yang ia kenakan mahal untuk seukuran
anak kuliahan, ditambah lagi ia punya kendaraan roda empat pribadi.
“Oia ngomong-ngomong masalah kerjaan,
gue jadi keinget nih. Bulan depan sepupu gue ulang tahun. Nah, dia minta
rekomendasi buat pengisi acara. Dan gue udah rekomendasiin Jupiter Moon buat ngisi
acaranya. Pihak vendornya minta nomor lo nih, Ben. Biar gampang buat kontakan.”
“Waduh thank you banget, Brader!”
Ben menepuk pundak Hilmy senang. “Kebetulan banget gue lagi butuh duit. Si
Daniel juga noh buat bayar kosan. Ya kan, Niel?”
Aku mengangguk kecil sambil tersenyum
kaku.
“Oke, gue kirim nomor lo, ya? Nah,
kalau makanannya doi kepengen Indonesia banget. Karena kata Ethan Mie Ayam
Babeh Edi paling enak se-Jakarta, gue pesen di elu ya, Sa?”
“Seriusan, My?” mata Aksa membulat
tak percaya. Dalam hal ini aku masih paham dengan ekspresi yang ditampilkan
Aksa. Beberapa hari yang lalu ketika kami bertemu di rumah sakit, Aksa curhat masalah
biaya obat untuk Babeh. Sebagian memang di cover BPJS, tetapi ada obat dan
vitamin yang harus dibeli pakai uang pribadi. Dan jujur saja, hal itu begitu
membebaninya.
“Kapan gue gak serius?” ujar Hilmy
yang ikut berbinar. Aku tak mengerti niatnya, atau membaca isi hatinya. Tapi
senyum itu seperti sebuah senyum kemenangan. Lagi-lagi aku merasa tertinggal. “1000
porsi, sanggup kan?”
“Sanggupin aja, bos!” balas Aksa
memberi hormat.
**
Mara :
Aku pulang sama Aris ya, By! Ini
masih harus kerjain laporan kegiatan.
Kita nggak berduaan doang kok. Ada
Tami dan supirnya Aris. Nanti aku kabarin kamu lagi kalau udah sampai rumah.
Setelah membaca pesen yang dikirim oleh
Mara beberapa menit lalu, aku langsung menutup ponsel tanpa berniat membacanya.
Rasanya memuakan ketika Mara harus terus-terusan berbohong. Aku merasa hubungan
kami sudah berbeda. Sudah tidak ada lagi sesuatu yang patut diperjuangkan lagi.
Aku pun tak merasa suci. Aku juga
sama bajingannya karena bermain api dengan wanita lain. Parahnya Wanita itu
adalah Mentari.
Jam sudah menujukan pukul 10 malam.
Seperti biasa, aku menunggu Mentari pulang bekerja. Dimas dan Ben sudah pulang
lebih dulu, sementara aku masih menunggu di depan kafe O’Eight. Tak lama, Adrian
keluar seorang diri dari kafe dengan menenteng dua kantong kresek sampah besar.
Aku turun dari motor dan menghampirinya sembari bertanya tentang Mentari.
“Itu dia, Bang. Dari sore Mentari
nggak bisa dihubungi. Ini yang ikut kelas menggambar cake sampai diundur besok.
Dan rencananya gue juga mau mampir ke rumahnya habis ini disuruh bos. Barangkali
Mentari sakit.”
Makin saja aku mengerutkan dahi bingung.
Semua terdengar masuk akal. Terakhir kali Mentari mengubungiku adalah jam 3
sore. Saat itu aku yang sedang ada kelas tak membalas pesannya, dan baru sempat
membalas sekitar pukul 5 sore. Tetapi setelah itu pesan yang ku kirim ceklis
satu sampai saat ini. Aku pikir Mentari habis batrai atau habis paket pulsa.
“Lo pulang ke rumah aja. Nanti gue
kabarin, kebetulan gue mau mampir ke rumah Mentari.”
“Gitu ya, Bang? Oke deh kalau gitu,”
balas Adrian tanpa rasa curiga. Memastikan kehadirannya sudah jauh dari sini,
aku pun berinisiatif menghubungi Aksa.
“Halo, Sa? Lo di mana? Gue yang
jemput Mentari nih?”
“Iya nih. Sori ya ngerepotin lo lagi,
Niel. Gue ada kerjaan nih. Pulangnya agak malaman,” balasnya dari seberang telepon sana.
“Oh, gitu. Oke deh. Babeh gimana
kabar? Baik?”
“Babeh? Oh, ya, baik. Tadi siang aja
Babeh mancing sama temen SD-nya kata Ibu.”
Kami pun saling tertawa dan langsung
mematikan sambungan telepon masing-masing.
Kalau yang Aksa ketahui Mentari
bekerja, lalu keadaan Babeh baik-baik saja, dan ia tak bisa dihubungi,
kemungkinan keadaannya sekarang tidak baik-baik saja.
Aku tak bisa tinggal diam dan bergegas melajukan
motor ke suatu tempat yang aku curigai.