“Bangun, Niel. Katanya kamu masuk pagi!” Om Hari sedikit berteriak, mengetuk pintu kamarku kencang setelah tak ada jawaban. Sementara aku sangat malas bangun tidur karena baru tidur menjelang pagi.
Hidup yang aku lalui begitu-begitu saja. Tidak ada yang spesial. Bangun tidur, kuliah, main bersama Ethan atau Aksa, dan sekarang punya kegiatan baru manggung di kafe milik sepupu Mara. Aku sudah berusaha hidup produktif, akan tetapi aku selalu merasa begini-begini saja.
“Niel … bangun!” Kini giliran Oma yang membangunkan tidurku. Tidak seperti Om Hari yang mengetuk pintu pakai otot, Oma mengetuk pintu kamarku dengan lembut. Selembut suaranya. Dan aku terpaksa bangun dari tidur, meskipun rasanya magnet kasur terlalu kuat.
“Iya, Oma. Niel udah bangun kok. Ini mau mandi sebentar.”
Ya, begitulah hidupku. Bangun pagi jika dibutuhkan, bangun siang jika tidur menjelang pagi. Begitu pun dengan kuliahku. Jika bangun kesiangan, aku lebih memilih tak masuk atau titip absen. Semua tergantung siapa dosen yang mengajar. Namun, untuk kali ini aku harus masuk karena absen sudah dibatas maksimal. Aku tak mau mengulang mata kuliah hanya karena kurangnya presentase kehadiran.
Di antara kami bertiga, aku merasa yang paling payah. Aksa berusaha lebih keras daripada aku dan Ethan. Ia punya harapan agar bisa sukses dikemudian hari dan bisa mengangkat perekonomian keluarga. Di mataku, Aksa sosok anak laki-laki pertama di keluarga yang bisa diandalkan.
Aku kagum padanya!
Ethan memang anak orang kaya. Akan tetapi, ayah dan ibunya mendidik dengan baik. Ethan belajar tanggung jawab. Kalau mau sesuatu ya harus nabung pakai uang sendiri,begitulah kira-kira. Sejak masuk kuliah, Ethan sudah mulai belajar bisnis orang tuanya. Alih-alih masuk jurusan Bisnis, ia malah lebih memilih Sosiologi. Jurusan yang aku dan Aksa ambil.
'Nyokap gue pernah bilang ... terserah lo mau ambil kuliah apa. Yang penting jangan hamilin anak orang. Kerja mah nanti nerusin bisnis papa aja.' Begitu kata Ethan meniru ucapan ibunya.
Ya ... Ethan lahir dari keluarga terpandang. Katanya, dulu kakek Ethan pengusaha rotan dari Cirebon, tetapi usahanya gulung tikar di tahun 2000-an. Sehingga mereka sekeluarga kembali pindah ke Jakarta. Saat itu, keuangan keluarganya tidak begitu baik. Namun kegigihan dan kerja keras ayah Ethan, membuat usaha furniture itu bangkit lagi. Bahkan sekarang sistemnya sudah bisa online dan dikirim ke seluruh dunia.
“Sini makan, Le!” suruh Oma Ketika aku baru saja keluar dari kamar setelah sesi mandi dan bersiap untuk berangkat. “Maaf ya Oma makan duluan,” ujarnya lagi sembari menyuapkan sendok makanannya ke dalam mulut.
Aku mengangguk maklum, lalu duduk di sebelah Oma. Kemudian pandanganku tertuju pada piring berisikan penuh nasi goreng yang asapnya masih mengepul. Wangi khas bawang putih dan bawang merah masih menyerbak dari arah dapur yang letaknya tepat di sebelah meja makan. Wajahku langsung berubah sumeringah, meskipun lidahku pun sudah mengecap tergoda tampilannya.
“Tidur malem terus ya kamu! Kalau Om sama Oma nggak bangunin bisa telat ke kampus nanti.” Om Hari sedang menonton televisi di ruang tengah. Rambutnya masih setengah basah, pakaiannya juga tampak rapih meski di rumah. Mungkin Om Hari baru saja pulang shift malam.
“Iya nih, Om. Kebetulan aja ada tugas yang belum kelar.”
“Sekarang tugasnya sudah selesai, Le?” timpal Oma yang sudah selesai dengan urusan sarapan pagi. “Terus selesai makan, kamu mau langsung ke kampus?”
"Iya, Oma. Tapi sebelum kelas, mau ada kunjungan pejabat dulu ke kampus.”
“Jangan ikut politik atau demo-demo-an gitu lah. Nggak penting begitu!” timpal Om Hari tiba-tiba. Ia selalu begitu. Suka komentar tanpa diminta. Padahal siapa juga yang mau ikutan demo. Jangankan demo, buat antre beli jus aja aku ogah. Kalau bukan perintah kampus, aku juga lebih memilih nongkrong di kantin.
“Ini cuma kunjungan biasa kok, Om. Tenang aja. Daniel tahu mana yang benar, mana yang salah kok.”
“Ya siapa tahu, kan? Lagian kamu itu sudah Om suruh masuk jurusan Teknik biar cepat dapat kerja. Lho ... tiba-tiba kok masuknya ke FISIP?"
Aku enggan membalas ucapannya yang itu. Karena jujur saja, sejak dulu aku memang tidak berniat untuk kuliah. Mau Teknik atau pun FISIP, aku benar-benar tak paham. Teknik terlalu rumit, sementara Politik terlalu abu-abu. Selain Ethan dan Aksa, Oma-lah yang membuatku ingin mengenyam bangku kuliah.
“Gimana kuliahmu?” Oma menggenggam tanganku. Erat sekali. Mataku menatap matanya yang keriput, bola matanya berbinar, penuh dengan semangat. Bibirnya tersenyum tulus, tetapi tetap tak bisa menutupi wajahnya yang pucat.
Ya, Oma adalah alasan terbesarku untuk kuliah. Karena aku tahu, musik tak akan membuatnya bangga. Namun, title yang akan aku sandang nanti, bisa sedikit banyaknya membayar semua lelahnya Ketika mengurusku.
Aku ingin membahagiakan Oma. Membalas kebaikan yang telah ia berikan padaku. Hanya itu.
“Baik. Keadaan Oma gimana? Sudah mendingan?”
“Yah gini-gini saja, Le. Namanya juga penyakit tua.” Oma terkekeh sendiri. “Kamu ini sudah semester berapa, ya?”
“Semester 5, Oma.”
“Kalau gitu, berapa tahun lagi lulus?”
Aku sedikit berpikir dan menghitung ke depan. “Paling cepet 1.5 tahun. Kalau nggak kekejar paling 2 tahunan lagi.”
“Oh gitu, ya?” Oma bergumam lagi. "Mudah-mudahan Oma masih hidup ya, Le. Kepengen lihat cucu Oma wisuda."
“Ih, Oma! Kok gitu ngomongnya? Oma pasti sehat-sehat aja. Bisa juga liat Daniel lulus kuliah dan pakai toga.”
“Jangan ngomong gitu, Buk! Pamali!” lagi-lagi Om Hari menimpali. Nadanya terdengar kesal, padahal pandangannya masih fokus ke layar kaca.
Sejak dulu, Oma ingin sekali melihat anak-anaknya kuliah. Sebagai orang tua tunggal, Oma merupakan seorang ibu yang bertanggung jawab kepada anak-anaknya. Ia berusaha keras menghidupi Ibu dan Om Hari agar mereka bisa mendapatkan Pendidikan dan kehidupan yang layak.
Hanya mengenyam Pendidikan sampai SMP membuat Oma tak bisa memilih pekerjaan. Ia ikhlas melakukan pekerjaan apa saja yang penting halal. Mulai dari mengangkut beras, jualan ayam potong, jualan sayur, sampai buka catering rumahan. Semuanya ia lakukan demi anak-anaknya agar bisa memiliki hidup yang jauh lebih baik dari hidupnya.
Ibu pernah sempat kuliah, tetapi berhenti Ketika masuk semester 2. Ibu hamil duluan, lalu melahirkan aku. Ditambah Ketika Om Hari ingin melanjutkan pendidikannya di POLMAN, Oma tidak punya biaya lebih sebab usaha cateringnya sedang jatuh bangun.
Om Hari merupakan tamatan SMK. Setahun menganggur, ia bekerja di salah satu pabrik sparepart kendaraan di Cikarang. Di zaman sekarang, harusnya Om Hari tak masuk kualifikasi. Namun, karena ia mengenal baik pemiliknya, ia tetap masih dipekerjakan. Tentunya melihat kinerja Om Hari yang bagus.
"Iya, iya. Ya sudah gih habisin makanannya. Nanti telat ke kampus."
"Baik, Oma."
**
"Nih!" Aksa duduk di samping, lalu memberikan kotak makanan warna biru muda dengan corak bunga-bunga.
Setelah dua jam lebih, akhirnya kunjungan pejabat telah selesai. Selama acara, aku dan Ethan tidak mendengarkan pidato orang yang katanya akan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Kami malah asik mabar game. Lagi pula untuk apa? Semua yang pejabat itu katakan hanya omong kosong belaka. Diskusi yang kami lakukan hari ini untuk pembangunan agar negara bisa lebih baik, mungkin akan ia lupakan Ketika menjabat nanti. Sementara Aksa lebih memilih ikutan rapat HIMA untuk membahas progress loker bulanan.
Pak Dodi selaku dosen Analisis Industri Kreatif yang mengajar datang terlambat. Jadi, aku membuka kotak makanan itu dengan perasaan senang. Lumayan bisa makan dulu sebelum menghabiskan 3 sks ke depan.
"Eit kue. Dari siapa tuh?"
"Ibu lah, siapa lagi," ucapku sambil melahap bolu pisang itu.
"Kali ini bukan," sanggah Aksa. "Ini dari Tari. Ya ... bisa dibilang ucapan terima kasih karena udah nolongin dia kemarin."
"Kok si Anak Monyet doang? Gua kagak di kasih?" Tak terima Ethan pun langsung menyambar bolu pisang itu, tetapi buru-buru aku tutup kotaknya.
"Emang lo ada kontribusinya?!" Ledekku sembil tertawa.
"Lo tanya Mara deh, Anjing! Gue sampai pengen datengin kantor pemandam kebakarannya kalau mereka masih nggak angkat teleponnya."
"Pantes kagak Tari kasih," ujar Aksa dengan wajah jahil. "Lo pamrih, sih!"
"Anj—"
"Ini ruang kelas Sosiologi 2020, bukan?"
Tiba-tiba saja ada staf kampus yang datang Bapak bertubuh gempal yang biasa aku temui di depan pintu gerbang universitas.
"Iya, betul," balas Tasya, si ketua angkatan.
"Ada Daniel Wicaksono di sini?"
Merasa namaku dipanggil aku pun berdiri dan mengangkat sebelah tangan. Seluruh pandangan teman-teman di kelas pun tertuju padaku. Selama ini, belum pernah ada petugas atau staff yang datang ke ruangan. Kalau sampai kejadian begitu, tandanya ini sesuatu yang penting.
Entah mengapa, perasaanku jadi tidak enak. Hawa panas menjalar sampai tengkuk leherku. Rasanya, bernapas saja sulit. Aku tak tahu kenapa, tetapi rasanya sangat sesak. Aku ingin menangis.
Perlahan aku mendekat ke arah bapak bertubuh gempal itu. Tangannya mengayun, menyuruhku agar mendekat. Makin tak karuan rasanya ketika mendapati perubahan wajah bapak itu. “Daniel ... sebelumnya Bapak turut berduka cita, ya, Nak.”