Setelah pulang kuliah, belakangan ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Biasanya kalau ada shift kerja di kafe, aku langsung ke sana tanpa lebih dulu pulang ke rumah. Akan tetapi, karena kafe sedang dalam proses perbaikan akibat kejadian kebakaran kemarin, aku dan Adrian diliburkan sementara.
Tidak ada yang bisa aku lakukan, apalagi setelah Iren—teman dekatku satu-satunya—pindah ke Jepang setelah naik kelas X1 SMA.
Berjam-jam aku berdiam diri dalam dalam kamar: tidur-tiduran sambil sambil mendengarkan musik kesukaan. Lalu, samar-samar aku mendengar suara Babeh. Tentu saja hal itu membuat dahiku berkerut heran sampai-sampai melepas earpod yang kupakai sejak tadi. Kulihat jam di ponsel yang masih menunjukan pukul 13.40. Tumben Babeh sudah pulang ke rumah, biasanya Babeh masih di warung karena jam segini banyak pelanggan yang datang.
“Hayuk, Buk. Ini kata Aksa udah mau di bawa ke rumah duka dulu.”
Mendengar kalimat itu membuat tubuhku yang sedang rebahan berubah berdiri. Cepat-cepat aku membuka pintu kamar dan mendapati Ibu dan Babeh sudah mengenakan pakaian serba hitam.
“Siapa yang meninggal, Buk, Beh?” kataku seraya mendekat ke arah mereka. Makin saja aku terkejut ketika mendapati mata Ibu sembab khas habis menangis. Air mukanya tidak bisa bohong kalau Ibu sedang sangat bersedih. Melihat hal itu membuat Babeh mengelus lembut pundak Ibu agar lebih tenang.
“Oma-nya Daniel meninggal dunia, Tar. Ini Babeh sama Ibu mau takziah ke sana.”
“Hah? Kapan? Meninggal karena apa?” tanyaku bertubi-tubi, tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Berita ini terdengar sangat mendadak, membuat semua orang yang mendengarnya pun kaget.
“Katanya habis sarapan jatuh dari kamar mandi. Sempet nggak sadarkan diri, tapi masih bernapas.” Babeh menjelaskan kejadian berdasarkan cerita dari Mas Aksa lewat telepon. “Terus di larikan ke rumah sakit. Sayang sekali, di perjalanan, nyawanya sudah tidak bisa ditolong.”
Napasku tercekat, rasanya sulit untuk bernapas. Meski tak tahu seberat apa rasanya, tetapi kehilangan orang yang kita sayang pasti tidak mudah. Apalagi kehilangan orang yang sangat dikasihi. Aku memang tidak pernah bertemu dengan Oma-nya Daniel secara personal. Namun, kadang-kadang aku sering tak sengaja mendengar cerita Daniel tentang Oma-nya Ketika sedang mengobrol dengan Mas Aksa dan Ethan. Dari situ aku tahu kalau beliau adalah sosok yang baik. Dan sebagai sesame manusia ciptaan Tuhan, aku turut berduka atas kepergiannya.
Ibu mengela napas panjang lalu berkata, “Ayo Tari siap-siap. Ikut Ibu sama Babeh.”
Dan aku pun menyetujui perintah Ibu tanpa banyak bertanya lagi.
“Oh, ya. Mas Aksa tadi minta tolong juga bawain kemeja hitam dua. Kayaknya buat ke acara pemakaman nanti," imbuh Babeh yang langsung pergi ke garasi untuk memanaskan mesin mobil.
***
Selama perjalanan ibu tak berhenti menangis. Ia selalu berkata "kasihan" pada Daniel. Mungkin di antara aku dan Babeh, hanya Ibu yang mengerti bagaimana rasanya menjadi Daniel.
Ibu tumbuh dari keluarga broken home. Ayahnya, yang berarti kakekku beberapa kali menikah dengan wanita lain. Kakek meninggalkan ibu dan nenek. Singkat cerita, Nenek meninggal dunia karena dianiaya oleh majikannya saat bekerja jadi IRT di negara tetangga. Sejak saat itu, Ibu tinggal dan berjuang hidup sendiri.
Di depan komplek perumahan terpasang bendera warna kuning. Bendera yang melambangkan ada keluarga yang sedang berduka. Dari gerbang, sudah berjejer mobil dan banyak orang yang berjalan menuju rumah duka.
Setelah keluar dari mobil, Mas Aksa sudah menunggu. Rupanya sejak tadi ia berkabar dengan Babeh.
"Cil, tungguin gue ganti baju dulu, ya!" titah Mas Aksa yang langsung masuk dalam mobil dan mengganti baju. Sementara kedua orang tuaku sudah masuk ke dalam.
Tak sampai 5 menit, Mas Aksa selesai dengan urusannya lalu kami berjalan masuk ke dalam. Ada juga beberapa rombongan yang baru datang.
Pertama hal yang aku rasakan adalah aura kesedihan. Suara isak tangis terdengar menggelegar di sudut-sudut ruangan menambah suasana begitu sangat kelabu.
Di pojok ruangan terdapat keranda yang ditutup oleh kain berwarna hijau. Ada sepasang pria dan wanita yang menangis sembari memeluk ujung keranda. Kulihat Ibu dan Babeh menepuk pundak wanita itu lalu mengucapkan bela sungkawa.
"Itu Om sama Tante nya Daniel, Dek," bisik Mas Aksa yang menjawab rasa penasaranku.
Namun, ada yang mengganjal. Aku tidak melihat batang hidung Daniel di sekitaran sini.
Kemudian Babeh pergi ke depan rumah, sementara Ibu menghampiriku dan Mas Aksa sambil berkata, "Ayo Tari ikut Ibu ke dapur. Bantu-bantu bikinin teh buat orang yang datang melayat. Terus, Ethan ke mana, Mas?"
"Ethan lagi ngobrol sama orang yang urus kavling pemakaman, Buk."
"Mau di makam-in di mana?"
Mas Aksa sempat menampilkan ekspresi kebingungan, tatapi ia buru-buru segera mengoreksi ekspresinya. "Di sini, Buk. Ini aku mau nyusul Ethan dulu, ya. Kayaknya aku sama dia duluan ke TPU."
"Ya udah. Hati-hati, ya!" kata Ibu menepuk pundak Mas Aksa yang langsung pergi. "Yuk Tar. Kayaknya dapurnya di sana."
Ibu pergi dulu melangkahkan kakinya ke dapur yang lataknya paling belakang. Aku sempat terdiam sebentar, lalu berjalan membungkuk sebab melewati orang yang duduk di pinggir jalan. Setelah melewati ruang tengah, tak sengaja mataku melihat Daniel keluar dari salah satu ruangan ke pinggir kolam ikan.
Aku hendak menyapa, tetapi kuurungkan sebab wajah Daniel tak begitu bersahabat.
"Tapi Oma itu Ibunya ibu, mertua pria itu. Bukan orang lain. Apa Ibu nggak ada rasa sedih? Nggak ada rasa pengen dateng dan anter ke tempat peristirahatan Oma?"
Langkah kakiku makin mendekat, tetapi tubuhku masuk ke ruangan tempat tadi Daniel keluar. Ternyata ini kamar Daniel...
"Kalau Ibu berniat datang, kami di sini nunguin, Ibu!" katanya dengan suara memelas. Dari sini, aku bisa melihat punggungnya bergetar hebat. "Tapi kayaknya Ibu yang nggak mau ke sini. Bukan karena pria itu, kan? Memang Ibu aja yang nggak mau ke Indonesia. Sampai kapan, Bu? Sampai kapan Ibu begitu? Bahkan sampai Ibu memulai kehidupan baru ... Ibu masih takut untuk datang ke sini."
Daniel menutup sambungan teleponnya. Ia menutup muka dengan lengan kanannya, lalu menangis menghadap tembok.
Mendengar tangisan itu membuat hatiku ngilu. Seorang pria yang selalu terlihat ceria, kini menangis tersedu karena telah kehilangan orang yang paling di sayangi. Kakiku melangkah, berniat untuk menghampiri Daniel dan memeluknya. Namun baru selangkah melewati pintu kamar, seorang wanita berlari menghampiri Daniel.
"Niel!" ujar Mara yang sudah bercucuran air mata.
Daniel menengok, lalu berucap lirih. "Mar ... Oma udah nggak ada, Mar!"
Mara pun mengangguk, lalu membawa Daniel kepelukannya. Dan Daniel membalas pelukan wanita itu jauh lebih erat. Menumpahkan rasa sedihnya yang tak mampu ia bendung lagi.
"Sori gue baru tahu. Sori gue baru dateng," ucap Mara dengan nada bergetar. "Everything gonna be okay. Ada gue, Niel. Ada gue."
Aku menyaksikan pemandangan haru itu dari arah kamar Daniel sembari menghapus air mata yang tumpah membasahi pipi.
"Apa yang dibilang Mara benar, Niel. Semuanya akan baik-baik aja," ujarku pelan, lalu pergi ke dapur menyusul Ibu.