Kaca yang terpajang di sudut ruangan dekat kasir memantulkan kobaran api yang menyala-nyala. Aku menutupi hidung dengan pergelangan tangan, menyipitkan mata mencari keberadaan Mentari yang terjebak di dalam sana.
Kepulan asap tebal membuat Mentari sesak napas dan batuk-batuk. Sebab itulah, aku dengan cepat menemukan keberadaan perempuan itu dari suaranya. Aku segera berlari menghampiri untuk menolongnya.
Rupanya Mantari tidak sendirian. Ia sedang sibuk mengguyur api ke kobaran api bersama seorang pria yang ku yakini juga pegawai sini. Mereka mengguyur air dari toilet menggunakan baskom besar secara estafet. Namun alih-alih mereda, kobaran api itu makin besar saja.
"Lo nggak apa-apa?" tanyaku yang mengampiri Mentari yang sudah panik dan hampir menangis.
"Kak Niel?" Mantari sempat terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Akan tetapi, suara pegawai pria itu membuat atensi kami berdua langsung beralih padanya.
"Gawat ... api nya makin besar!"
"Ada tabung APAR?" tanyaku pada mereka yang langsung dijawab kompak dengan gelengan. Meskipun aku terheran juga kenapa di kafe ini tidak menyediakan APAR untuk pertolongan darurat semacam ini. "Kalau handuk?" tanyaku lagi.
Refleks Mentari langsung berlari dan mengecek ke belakang gantungan toilet, lalu memberikannya padaku. Aku langsung merendamnya dengan air. Kemudian melempar ke api itu.
"Ada lagi nggak handuknya? Kalau ada lo semua ikutin cara gue. Makin cepet ... apinya bakalan cepet padam."
Di sisi lain Mentari dan temannya pun berpencar. Mereka mencari handuk atau kain yang bisa digunakan untuk membantuku hingga ke lantai dua.
Mentari turun membawa beberapa kain, lalu melakukan yang sama dengan apa yang aku perintahkan. Api sudah tidak seganas seperti awal aku datang. Kulihat sumbernya berasal dari bawah kompor. Tidak salah lagi, ini karena kebocoran gas. Kemudian dengan pergerakan cepat, aku melemparkan handuk basah ke arah tabung gas itu berulang kali. Hingga tak tersisa api lagi. Yang tersisa hanyalah api kecil yang berasal dari bahan mudah terbakar seperti bungkus bumbu, piring plastik, atau tatakan makanan yang berasal dari rotan.
Aku, Mentari, dan seorang lelaki yang menggunakan apron itu pun menghela napas lega.
"Ya Tuhan ... gue kira ini kafe bakalan habis kebakar," cicit pria itu.
"Bisa aja kalau Kak Daniel nggak cepet dateng ke sini," timpal Mentari yang masih mengatur napasnya dalam-dalam.
Kami semua masih shock. Setelah api padam, tidak ada lagi dari kami yang saling bicara. Kami bertiga duduk sambil merebahkan tubuh ke dinding, memandangi dapur setengah terbakar itu dengan tatapan kosong.
**
Setengah jam lalu kafe masih baik-baik saja. Ada beberapa meja yang terisi pelanggan. Semua baik-baik saja sampai Adrian teriak "api, api, api" dari arah dapur. Sontak saja teriakannya membuat panik satu kafe, termasuk aku.
Seluruh pelanggan pergi berhamburan keluar. Aku tidak tahu apakah mereka pergi karena ingin meminta pertolongan apa kabur menyelamatkan diri. Yaaa aku paham, dalam situasi panik seperti itu, orang normal akan lebih memilih menyelamatkan diri.
Harusnya aku pun pergi menyelamatkan diri ketika pantulan kaca memperlihatkan api berkobar-kobar. Akan tetapi aku bukan pelanggan, aku pekerja di sini. Tentu aku harus bertanggung jawab dan membantu Adrian yang berusaha mamadamkan api.
"Mentari! Mentari!"
Suara familiar dari arah depan kafe itu membuatku langsung sadar dan bangkit dari duduk. Kulihat Adrian dan Daniel pun bangkit dan mengikuti dari arah belakang.
Di luar sana sudah gaduh suara orang-orang yang berkerumun melihat kafe yang sudah bergumul asap tebal ini. Kami bertiga berjalan keluar dengan langkah lemas. Di sana sudah ada Mas Aksa berdiri dengan wajah panik. Bahkan aku bisa melihat ia hampir menangis. Kedua tangannya di tahan oleh dua orang dewasa yang tak aku kenal. Mungkin mereka orang yang melarang Mas Aksa masuk ke dalam kafe, menghindari kejadian yang tidak diinginkan.
"Mas...."
Mas Aksa langsung melepaskan genggaman tangannya, lalu menghampiriku dan memeluk tubuhku erat. "Lo nggak apa-apa kan, Dek?"
Tubuhku bergetar, aku masih shock dan berusaha mengatur napasku agar tidak ketara menangis. "I-iya."
"Loh?! Niel, lo kok?" Mata Aksa melebar, kaget setelah melihat Daniel ada di sana.
Diam-diam aku melirik wajahnya yang cemong dan dipenuhi keringat itu.
"Iya kebetulan saja—“
"Niel!!!!!!" Teriak seorang wanita yang berlari dan membelah kerumunan. Tanpa ragu, wanita itu langsung memeluk tubuh Daniel erat. "LO GAK PAPA KAN?!"
Aku sempat tertegun melihat kejadian itu. Maksudku, sebelumnya aku tak pernah mendengar Daniel punya kekasih atau semacamnya.
Di susul Ethan yang berlari dari arah belakang. "Syukurlah kalau udah padam. Gue panik banget Anjing dikira kebakaran gede. Gue sampai kayak orang gila ngehubungin pemadam kebakaran tapi kagak nyaut-nyaut!"
Aksa melepaskan pelukannya padaku, lalu berjalan mengampiri Daniel. Ia menepuk pudak pemuda itu pelan. "Thanks, Niel. Lo udah nolongin Mentari," katanya dengan tulus. "Dulu lo nolong gue, sekarang nolong adek gue. Banyak utang budi gue sama lo."
"Sans elah! Lagian Babeh sama Ibu kan emang nitipin Mentari ke gue, Sa!"
"Btw, lo kalau pacaran liat tempat apa ya? kagak liat ini banyak orang jomlo yang liat kalian pelukan!" Ethan mengerucutkan bibirnya sebal.
"Ahiwww ... cie cie!" goda orang-orang yang berada di sana. Sementara gadis itu refleks melepaskan pelukannya dan jadi salah tingkah.
"Dasar tolol!" Aksa menengor kepala Ethan sambil tertawa. "Lagi serius, malah lo becandain!"
Ooooh, jadi bener ya kalau mereka pacaran, gumamku dalam hati.
"Tar!" Adrian memanggilku. Kepalanya tertunduk ke bawah. "Maaf, ya. Kalau aja gue nggak ngide buat mandi dulu, pasti kejadian gini bisa gue antisipasi. Pas gue keluar dari toilet, api-nya udah merembet ke mana-mana."
"Nggak apa-apa, Yan. Namanya musibah. Lo juga kan emang baru pulang kuliah."
"Tetep aja," katanya dengan nada sedih. "Bos gimana, ya?"
"Tenang. Nanti gue coba bantuin bilang."
"Thanks ya, Tar. Maaf sekali lagi."
"It's okay!" balasku setengah tersenyum. Saat itu, tak sengaja pandanganku dan Daniel bertemu. Aku tak sadar kalau sejak tadi dia memandangiku. Interaksi kami yang selalu canggung, membuatku tersenyum kikuk ke arahnya. Akan tetapi, pria itu membalas dengan senyuman yang paling manis yang pernah aku tahu.
Membuat hatiku berdebar kencang. Perasaan apa ini