Read More >>"> Seiko (Bab 1. Tatapan Maut) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seiko
MENU
About Us  

Tepat saat pintu ruangan Pak Cakra kututup, tatapan tak menyenangkan itu mendarat tepat padaku. Entah sudah tatapan keberapa. Aku hampir tak pernah menghitungnya. Namun, dari yang kuingat, tatapan tajam itu mulai mengarah padaku tepat setahun setelah aku menjadi salah satu content writer tetap di sini. Dan sekarang sudah hampir tiga tahun aku bekerja.

Mencoba bergerak sambil mengumbar senyum, nyatanya tak berhasil mengubah apa pun. Meskipun lebih banyak orang yang menatapku penuh antusias, bersamaan dengan gestur yang seolah sedang memintaku untuk segera bercerita, tatapan itu tak bisa kuabaikan. Apalagi dari ekor mata, aku bisa melihat gerakan matanya yang terus mengikuti pergerakanku.

Ah, sial.

Kadang aku bersyukur dengan pencapaianku di kantor. Namun, jika hasil akhirnya aku harus dihujani tatapan tak menyenangkan setiap hari, lama-lama pekerjaanku tak lagi menyenangkan.

Sesantai mungkin, aku berjalan menuju meja kerjaku. Tentu sambil berusaha mengumbar senyum lebar, layaknya orang yang baru saja mendapat jackpot besar—meskipun pada dasarnya memang benar. Aku tak menjawab pertanyaan apa pun dari teman-teman sejawatku, sebelum pantatku menempel di kursi dengan sempurna dan dalam posisi paling nyaman.

“Gimana, Sha?”

Kak Evan selalu menjadi orang yang paling tidak sabar setiap kali melihatku keluar dari ruangan Pak Cakra. Tatap matanya selalu terlihat begitu antusias, sampai terkadang membuatku lupa bahwa dia adalah seniorku di kantor ini.

Kutolehkan wajahku pelan. Mengulas senyum terbaik yang kumiliki dan yang bisa kukembangkan saat itu. “Ya enggak gimana-gimana. Emang harus gimana?”

Mendadak,  lima orang yang duduk di dekat meja kerjaku menghela napas berat secara bersamaan. Hampir di waktu yang sama, sampai aku curiga jika mereka telah merencanakan itu semua. Dengan tatapan heran, aku pun menatap kelimanya bergantian.

“Lho, kenapa?” pungkasku. Merasa aneh dengan respons mereka. “Kan emang enggak gimana-gimana. Biasa aja. Salah, gitu?” lanjutku, tak mengerti.

Aku kadang bingung dengan mereka. Apalagi, mereka bukan tidak pernah dipanggil oleh Pak Cakra. Bahkan saat aku baru bekerja di sini, mereka sudah sering berseliweran keluar masuk ruangan Pak Cakra. Namun, belakangan, mereka terlihat begitu antusias saat aku yang dipanggil. Seolah pemanggilanku adalah sebuah tanda akan kabar terbaik yang akan mereka dengar.

Kak Rere yang duduk tepat di seberangku, menatap lekat. Seolah sedang berusaha untuk melakukan telepati demi menjelaskan sesuatu. Sayangnya, yang kulihat hanya pelototan mata yang membuatku cukup takut dengan kemungkinan bahwa bola mata Kak Rere akan mencelat keluar dan menggelinding jatuh.

“Abis dapet proyek, ya?” tanya Kak Rere pada akhirnya, sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Mungkin, matanya sudah terlampau pegal karena melotot hampir satu menit lamanya.

Sebagai tanda rasa segan sekaligus menjawab pertanyaan Kak Rere, aku mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Namun, tanpa kusangka, respons kecilku langsung memantik keriuhan dari kelima orang yang tengah mengerubungku saat ini.

“Wah, gila. Kayaknya lo karyawan yang paling sering dapet jackpot di sini,” tukas Kak Haikal yang duduk di sisi kiriku sambil bertepuk tangan pelan dan menggeleng kepala beberapa kali.

Jentikan tangan terdengar dari Kak Monik yang duduk tepat di samping Kak Rere. “Apa gue bilang? Sejak dia masuk, gue udah punya feeling kalau ini anak tuh bakal beruntung banget.”

Mendengar satu demi satu pujian itu, tak ayal membuatku sedikit melambung. Namun, aku juga jadi tak enak hati dengan mereka yang notabene menjadi seniorku di kantor. Jika boleh dibilang, pekerjaanku memang jadi jauh lebih banyak dari mereka. Dan tentu, itu juga berimbas pada nominal bonus yang kami dapatkan setiap bulan. Meskipun mereka tak pernah mempermasalahkan itu, tapi rasanya aku tak enak hati. Bahkan terkadang, aku selalu mencoba bernegosiasi dengan Pak Cakra agar melimpahkan pekerjaanku pada seniorku yang lain. Sayangnya, itu tak pernah berhasil. Mentok, seniorku akan masuk dalam jajaran tim pembantu atau kasarnya menjadi backup selama proyek yang kupegang berjalan.

Sebuah colekan di bahu kanan membuatku menoleh sedikit ke belakang. Tampak Ambar—teman seperjuanganku di kantor—tengah menatapku dengan serius. Mejanya yang berada di belakangku, membuatnya sering memilih untuk berdiri saat kami berkumpul, seperti saat ini. Namun, tak berapa lama Ambar menarik kursinya mendekat. Ia duduk di kursi dalam jarak yang lumayan dekat denganku dan bersinggungan dengan tubuh Kak Evan.

“Bagi tips biar sering dapet proyek, dong,” pinta Ambar tiba-tiba. “Emang sih. Tanpa proyek, gaji juga udah cukup. Kerjaan juga jadi enggak terlalu berat. Tapi kalau dapet proyek kan bonusnya lumayan. Iya enggak?” lanjutnya sambil menaik-turunkan alis dengan teramat antusias.

Boleh dibilang, Ineffable Creative Network adalah tempat terbaik sepanjang perjalananku sebagai seorang content writer. Nama agensi yang sudah besar dan terkenal, membuat kami hampir tak memiliki waktu libur. Selalu ada pekerjaan yang menanti setiap hari. Apalagi, setiap hari juga selalu ada klien baru. Tak jarang, beberapa klien meminta sebuah tim khusus untuk fokus menggarap dan bertanggung jawab atas publikasi dan strategi marketing akun media sosial mereka. Dan klien-klien seperti inilah yang memungkinkan kami mendapat bonus berlipat ganda.

Aku tertawa kecil sebelum membalas ucapan Ambar. “Daripada nanya sama gue, mending nanya sama Pak Cakra langsung. Gue juga enggak tahu kenapa gue yang sering dipanggil. Padahal gue juga sering ngajuin kalian buat gantiin,” jelasku sambil mengusap tengkuk. Meskipun itu adalah sebuah jawaban yang teramat jujur, tapi entah kenapa tetap terdengar begitu jumawa. Aku tak menyukai jawabanku sendiri.

Sebuah decapan keras terdengar tak jauh dari mejaku. Sontak, dengan serempak, kami menoleh ke asal suara. Mendapati seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang tengah menatap kami—lebih tepatnya menatapku—tak suka. Lagi-lagi, aku mendapat tatapan itu darinya.

“Enggak usah sok merendah deh, Sha. Tinggal ngaku aja. Bilang sama Ambar kalau lo deketin Pak Cakra. Tebar pesona. Makanya Pak Cakra ngasih lo kerjaan mulu,” ucapnya dengan nada yang terdengar begitu sumbang dan tak menyenangkan.

Sigap, Kak Rere bangkit dari duduknya. Ia seperti orang yang sedang naik pitam. Dan itu cukup membuatku merasa makin tak enak hati.

“Eh, Yas. Jangan sembarangan ngomong deh. Bilang aja iri,” balas Kak Rere dengan suara yang cukup keras. Suaranya yang menggelegar, sedikit membuatku takut jika Pak Cakra mendengar keributan ini. Bisa-bisa, semua yang terlibat akan mendapat teguran. Atau malah mungkin, yang lebih parah, langsung mendapat surat peringatan.

Ananda Tyas atau yang kerap dipanggil Tyas adalah senior di Ineffable. Dari informasi yang kudengar, ia sudah bekerja selama hampir enam tahun di sini. Ia juga merupakan senior dari keempat senior terdekatku. Jadi bisa dibilang—kalau kata Kak Evan—dia adalah dedengkotnya Ineffable.

Sayangnya, Kak Tyas juga adalah satu-satunya senior yang tak pernah bisa akur denganku. Beberapa kali berada dalam satu proyek yang sama saat aku baru bergabung di Ineffable, aku seperti tak berhasil mendapatkan apalagi membangun chemistry dengannya. Bahkan sejak proyek ketiga kami, ia seolah telah mengibarkan bendera perang. Entah kenapa.

Sejujurnya, aku sendiri tak ingin terlibat perselisihan dengan teman kantor. Apalagi dengan senior. Namun, perkataannya yang tak pernah menyenangkan setiap bicara padaku, gestur tubuhnya yang seolah tak mau berdekatan denganku, juga tatapan tak sukanya setiap kali aku keluar dari ruangan Pak Cakra, sedikit demi sedikit menumbuhkan bibit rasa tak suka di hatiku.

Ya ... kalau dia memang tak menyukaiku, kenapa juga aku harus selalu hormat padanya sebagai senior? Begitulah pikirku.

Tampak Kak Tyas tertawa pelan. Hampir tanpa suara. “Ngapain gue iri? Gue udah bosen dapet proyek dari dulu.  Gue cuma ngasih tahu kenyataannya,” pungkasnya dengan gaya pongah. Ia memutar kursi sampai mengarah ke mejaku. Kaki kirinya ia tumpangkan di atas paha kanan dan kedua tangannya dilipat di depan dada. Seolah tengah menunjukkan bahwa ia sangat harus dihormati.

“Jaga mu—”

“Kak Tyas,” pungkasku, memotong ucapan Kak Evan yang tadi kulihat sudah mengepalkan tangan di atas meja. “Aku minta maaf kalau belakangan jadi terlihat agak mendominasi. Tapi aku juga bener-bener enggak tahu alasan Pak Cakra milih aku terus, Kak. Demi Tuhan. Aku bahkan sering ngajuin nama Kakak, juga senior yang lain buat gantiin aku. Tapi Pak Cakra yang nolak,” jelasku panjang lebar dengan susah payah mengontrol nada bicara.

Sejujurnya, aku mulai tak suka dengan pembahasan macam ini. Aku tak ingin melibatkan diri terlalu jauh dengan berbagai gosip miring yang disebarluaskan Kak Tyas di kantor. Namun, mendapati hal serupa hampir setiap hari, lama-lama membuatku lelah untuk terus diam.

Kak Tyas tampak mengangguk. “Ya alasannya simpel kok, Sha. Karena perangkap lo berhasil. Lo berhasil jebak Pak Cakra dan akhirnya bikin dia milih lo terus-terusan. Dari dulu, itu tujuan lo, ‘kan? Biar yang lain nganggep lo keren karena dipilih terus. Iya, ‘kan? Lagian, sejauh gue kerja sama Pak Cakra, enggak pernah tuh, ada content writer langganan kayak lo. Semua kebagian. Ya, meskipun dulu kalau dihitung-hitung pengalaman gue pegang proyek lebih banyak. Tapi sekarang semua proyek, lo yang pegang. Yang lain dapet proyek sisaan. Lama-lama, lo kerja di sini sendiri aja deh. Kuasai semuanya,” balas Kak Tyas dengan teramat sengit.

Aku tahu. Itu adalah sebuah kalimat sederhana. Namun, rasanya aku seperti sedang dijatuhkan dan dinjak-injak ke tanah dengan alasan yang sama sekali tak berdasar. Makin lama, makin memuakkan jika terus bersinggungan dengan Kak Tyas.

Kutarik napas panjang. Tanganku memberi isyarat kepada kelima sahabatku agar tetap diam. Meskipun tak melihat reaksi mereka secara langsung saat ini, tapi aku tahu jika mereka pasti juga sedang kesal setengah mati pada Kak Tyas. Apalagi, sejak setahun lalu, Kak Tyas sudah berubah seperti musuh besar bagi semua content writer Ineffable.

“Kak, aku juga mengakui kalau Kakak adalah senior yang hebat. Enam tahun bekerja di sini, jam terbang Kakak pasti sangat tinggi. Cuma mungkin, alasan kenapa Kak Tyas sekarang lebih jarang dapet proyek dibanding yang lain—apalagi dibanding denganku—adalah karena kemampuan. Bisa jadi menurut Pak Cakra, aku dan beberapa teman yang lain lebih mampu menangani klien kekinian. Lagi pula, bukannya jumlah klien khusus yang Kakak tangani udah cukup jadi tanda bahwa kemampuan Kakak sekarang udah kurang relevan sama kebutuhan klien? Pak Cakra juga pasti enggak mau ngambil risiko. Dan lagi, dengan Kakak jarang dapet proyek, kurasa itu cukup membantu. Kakak jadi bisa lebih banyak istirahat, enggak gampang stres, dan bisa lebih mudah jaga kesehatan.”

Detik ini juga, warna bendera perang kami sepertinya akan makin menyala terang.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Photobox
4893      1306     3     
Romance
"Bulan sama Langit itu emang bersama, tapi inget masih ada bintang yang selalu ada." Sebuah jaket berwarna biru laut ditemukan oleh Langit di perpustakaan saat dia hendak belajar, dengan terpaksa karena penjaga perpustakaan yang entah hilang ke mana dan Langit takut jaket itu malah hilang, akhirnya dia mempostingnya di media sosialnya menanyakan siapa pemilik jaket itu. Jaket itu milik Bul...
Are We Friends?
3202      987     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...
Lullaby Untuk Lisa
4071      1353     0     
Romance
Pepatah mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tetapi, tidak untuk Lisa. Dulu sekali ia mengidolakan ayahnya. Baginya, mimpi ayahnya adalah mimpinya juga. Namun, tiba-tiba saja ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu, ia menganggap mimpinya itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekalig...
Mentari Diujung Senja
305      175     2     
Fan Fiction
Dunia ini abu untuk seorang Verdasha Serana Kana. Hidupnya ini seperti dipenuhi duri-duri tajam yang tak ada hentinya menusuknya dari seluruh penjuru arah. Ibunya yang tak pernah menghargai dirinya, hanya bisa memanfaatkan Sasha. Lelaki yang di kaguminya pada pandangan pertama malah jadi trauma baginya. Dia tak tahu harus lari kemana lagi untuk mencari perlindungan Philopophy series : Ba...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
5228      1379     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
Trip
849      427     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
Chapter Dua – Puluh
2830      1298     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
Salon & Me
3536      1141     11     
Humor
Salon adalah rumah kedua bagi gue. Ya bukan berarti gue biasa ngemper depan salon yah. Tapi karena dari kecil jaman ingus naek turun kaya harga saham sampe sekarang ketika tau bedanya ngutang pinjol sama paylater, nyalon tuh udah kaya rutinitas dan mirip rukun iman buat gue. Yang mana kalo gue gak nyalon tiap minggu rasanya mirip kaya gue gak ikut salat jumat eh salat ied. Dalam buku ini, udah...
Di Bingkai Sebuah Perjuangan Mimpi
3005      1687     3     
Short Story
Kisah ini menceritakan tentang sebuah kisah sang melodi yang terperangkap dalam kisah yang menjebak dan menggoda Senyum Yang Dibalut Komedi, Penasaran Lanjuutkan bacaa Kawan #^_^#=  ̄ω ̄=
Dapit Bacem and the Untold Story of MU
6393      1964     0     
Humor
David Bastion remaja blasteran bule Betawi siswa SMK di Jakarta pinggiran David pengin ikut turnamen sepak bola U18 Dia masuk SSB Marunda United MU Pemain MU antara lain ada Christiano Michiels dari Kp Tugu To Ming Se yang berjiwa bisnis Zidan yang anak seorang Habib Strikernya adalah Maryadi alias May pencetak gol terbanyak dalam turnamen sepak bola antar waria Pelatih Tim MU adalah Coach ...