"Oke." Laura membuka dua telapak tangannya di depan dada menatap ke arah April yang siap menghujani dengan sederet pertanyaan yang ia abaikan dari semalam. "Gue gak tau. Gue juga gak balikan sama dia. Gue masih waras buat nggak berurusan sama Sergio."
April mengamati wajah Laura yang terlihat sedikit pucat. "Lo gak sarapan?"
"Sarapan." Laura melepas ransel yang masih ia gunakan, matanya mengarah ke pintu kelas tidak ada tanda-tanda Sergio di sana. Tadi setelah turun dari motor Mas Jack, perempuan itu langsung berlari masuk ke sekolah dan segera menuju kelas. Mungkin itu sebabnya ia tampak pucat dari dulu Laura memang paling tidak bisa berolahraga. "Habis lari gue."
"Emang gerbangnya udah ditutup?" April mendongak menatap jam dinding yang menempel di atas papan tulis. "Belum jam tujuh La, lo lari dari apaan dah?"
"Sergio," kata Laura menurunkan nada bicaranya.
"Maksudnya?"
"Kemarin gue terpaksa nebeng sama dia— gak nebeng juga sih. Gue dipaksa dan terpaksa ikut gara-gara gue—"
April menantikan kelanjutan kalimat Laura. "Gara-gara lo..."
"Pokoknya gue berkali-kali minta turun tapi gak dikasih. Terus sampe kompleks dia bilang bakal jemput gue besok. Hari ini." April langsung menutup mulutnya dramatis. "Enggak-enggak, gue gak bareng dia. Tapi gue ketemu dia dilampu merah!"
"Terus?"
"Lampu merah deket rumah gue itu loh. Yang kalau keluar kompleks lo belok kanan, lurus aja, terus gak ja—"
"Ya emang kenapa?" sela April membuat Laura bungkam. "Bukannya itu normal ya? Lo juga pernah ketemu gue di lampu merah, kan?"
"Ya tap—" Laura menelan ludahnya susah payah. Itu jalan umum. Sergio bisa saja lewat di jalan yang sama. Bisa saja mereka memang tidak sengaja ketemu, bukan karena laki-laki itu mampir ke rumah untuk menjemput dirinya. "Ya juga sih..."
"Lo terlalu panik aja."
Laura mendengus. "Ya gimana enggak?"
"Iya juga sih." April mengetukan jemarinya di atas meja, berpikir atas tindakan Sergio. "Tapi lo beneran gak pernah ngobrol gitu?"
"Sejak putus?"
April mengangguk.
Laura diam sejenak kemudian menggelengkan kepala. "Enggak."
April manggut-manggut. "Berarti emang dia pengin balikan sama lo, La," katanya langsung menerima tatapan penolakan akan gagasan tersebut. "Ya apalagi coba? Masa tiba-tiba caper gitu?"
Detik setelah itu Amara yang baru saja datang segera berlari ke arah meja Laura dan April. Dengan memasang wajah penasaran juga telinga yang berharap mendengar kebenaran, perempuan itu bertanya, "lo jadian sama Sergio?"
Setidaknya pertanyaan itu yang ia terima dari teman satu kelasnya. Juga beberapa anak angkatannya yang kebetulan mendengar gosip ini entah dari siapa. Tidak ada yang benar-benar tahu tentang hubungan Sergio dan Laura sebelumnya jadi, banyak dari mereka bergosip Sergio tengah melakukan pendekatan pada Laura.
Sementara Laura sibuk menjawab banyak pertanyaan, tidak ada satu pun orang yang berniat bertanya kepada Sergio. Lelaki itu melenggang masuk seperti tidak ada yang terjadi, melewati Laura tanpa sedikit pun menatap dan duduk di baris paling belakang seperti hari-hari sebelumnya.
Laura mengeluarkan buku catatannya. Melirik April sejenak yang pura-pura mengorek ransel sembari mencuri pandang ke belakang. "Gak usah diliatin sih, Pril."
"Masa habis nganter pulang nggak ada pergerakan apa-apa sih?" April membalik badan menghadap ke depan dengan buku catatan sejarah sudah berada di atas meja. "Aneh banget."
"Ya lo berharap apa? Gue ciuman gitu sama dia?"
"Dih! Pengin lo?"
Laura memutar bola mata jengah. "Ya kagalah!"
***
Laura dan Citra berjalan berisisihan mengekori Bu Siska untuk membantu wali kelas mereka membawa hasil pre-test ke kantor guru. Citra menoleh ke arah Laura, tersenyum singkat membuat Laura mengernyit. "Kenapa sih, Cit?"
"Enggak. Aneh aja."
"Aneh... kenapa?"
"Kok bisa lo mau diajak pulang bareng sama Sergio?"
Laura tersenyum tipis. "Gue juga gak ma—"
"Akhirnya mau kan?" kata Citra tersenyum lalu mengembuskan napas panjang sambil memperlambat langkah. "Jauh-jauh deh La, dari Sergio."
Laura berhenti melangkah. Menatap Citra tanpa menunjukan banyak ekspresi atas ucapan perempuan itu. "Gue gak deket juga sama dia," balasnya lanjut melangkah.
"Paling ntar juga suka."
"Hah?"
"Kebanyakan gitu kan?" Citra mengedikan bahu. "Cewek-cewek pada umumnya. Suka cowok macem Sergio."
"Macem Sergio?"
"Yang sok cool, bandel, gak pernah respect sama guru, sekolah cuma setor tampang, ya kan?"
"Gak tau ya." Laura mendahului Citra masuk ke dalam kantor guru setelah berkata, "gue gak kenal-kenal amat sama Sergio."
Di dalam kantor guru tidak seperti kelihatannya dari luar tampak tenang, yang dilihat Laura sekarang justru kebalikannya. Guru-guru tampak berkumpul di satu tempat— di salah satu meja melihat ke arah yang sama yaitu kertas yang diperkirakan Laura tidak lebih dari lima lembar.
"Harus banget pakai lapor polisi? Gak bisa dibicarain secara kekeluargaan? Bu Wina! Ini anak kelas Ibu loh harusnya Ib—"
"Ada murid Pak Parno!" sentak Bu Sri membuat semua guru menoleh ke arah Laura dan Citra. Bu Sri segera mendekati Bu Siska yang menatapnya penuh tanya. Membisikan entah apa membuat Bu Siska buru-buru berderap ke arah mereka berdua lalu mendorong bahu kedua muridnya. "Kalian kembali ke kelas sekarang!"
"Bukunya Bu?"
"Udah. Nanti saya yang ambil di kelas!"
"Masalah Gracia tuh kayaknya," ucap Citra begitu mereka keluar dari kantor guru. Laura hanya mengangguk singkat. Ia juga sudah menduga akan hal itu.
***
Enam jam pelajaran guru-guru hanya memberikan tugas untuk dikumpulkan sebelum jam pergantian pelajaran. Sekarang dua jam terakhir lagi-lagi mereka diberi tugas, bukan hanya kelas XII IPS 1 saja kelas-kelas lain pun sama. Banyak murid-murid yang sengaja keluar tanpa pengawasan tapi berakhir kembali ke kelas juga karena Pak Parno tiba-tiba keliling gedung.
Laura berusaha fokus pada tugas akuntansi yang diberi, mengamati banyak angka yang harus ia tulis ke dalam neraca keuangan. Tapi ia hanya memutar bulpennya tanpa menuliskan apapun di atas buku.
"Lo kenapa sih?"
Laura menoleh pada April. "Hm?"
"Lo tuh kenapa? Ngelamun mulu dari tadi."
Laura menggelengkan kepala, tersenyum singkat lalu meletakan bulpennya dan bersandar. "Males aja gue. Dari tadi dikasih tugas mulu."
"Harusnya dipulangin aja ya kalau emang ada rapat dadakan."
"Hm..." Pikiran Laura kembali tertuju pada percakapan antar guru yang tidak sengaja ia dengar tadi. Jantungnya berdebar. Entah untuk apa ia gelisah dan entah bagaimana ia sudah menoleh ke belakang menatap Sergio yang tertawa lepas menertawakan lelucon salah satu temannya.
Laura diam untuk beberapa saat, mengamati Sergio. Detik ketika ia akan berbalik, Sergio menoleh ke arahnya. Mereka bertatapan lebih lama dari biasanya hingga Sergio menaikan sebelah alisnya Laura langsung berbalik.
Tidak seharusnya ia khawatir.