"Udah dibawa ke rumah sakit kata anak-anak."
Alan melangkahi kursi kayu untuk duduk di atasnya, tangannya bergerak mencomot bakwan yang tidak pernah absen dipesan oleh Sergio. Sementara seperti biasa pemiliknya mengernyit. "Yaelah tinggal satuuu."
"Beli lagi kek. Kan lu kaya."
"Males. Lo gak liat gorengan Umi rame banget."
"Gue ambil lo yang bayar yak!"
"Iyee."
Evan langsung mengatakan nama-nama gorengan sekaligus. "Mendoan, tahu isi, sama bakwan juga enak dah, Lan."
Alan hanya mendengus tapi tetap saja lelaki itu berangkat jika judulnya gratisan. Sementara Alan pergi, satu teman mereka yang lain datang bergabung. Satu-satunya yang mengambil IPA di antara mereka— Angga.
Angga menempati tempat Alan sebelumnya, segera menatap tiga temannya bergantian. "Grace OD?"
"Grace?"
"Gracia. Anak IPS 2."
Sergio menganggukan kepala tahu siapa yang dimaksud oleh Angga. "Gak apa-apa kan?"
"Ya OD, gak apa-apa pala lu."
Angga mendengus lalu mengetuk tangannya ke atas meja, menyita perhatian dua temannya. Lelaki itu memajukan badan kemudian berbisik. "Bukan dia kan?"
Sergio langsung menggeleng, matanya bergerak mengawasi satu titik. Lalu gestur badannya yang sempat menegang akibat pertanyaan Angga segera ia ubah sebiasa mungkin. "Bukan."
"Ser, gak us—"
"Gue yang jamin."
Angga beralih menatap Evan dan menerima anggukan tak ketara dari laki-laki itu. Entah bagaimana meski sudah mendapat dua bantahan atas apa yang bercokol di benaknya sejak ia mendengar Gracia overdosis, Angga masih belum lega.
"Lo jadi basket Ngga?" Alan datang membawa satu piring berisi macam-macam gorengan yang langsung disambut oleh tiga tangan yang siap mencomot apa saja di atas sana. "Yee bentar dulu tai. Belum juga taruh tengah."
"Ada tahu isinya Lan?"
"Bakwan gue mana?"
"Kok lu bisa cepet sih dapetnya?"
Begitu piring tersebut di letakan di tengah tentu setelah Alan mengamankan bakwan kesukaannya yang baru saja diangkat dari gorengan— yang ia dapatkan sambil mengancam para perempuan yang mengantre di sana. 'Gue dulu gue dulu! Gue dulu nggak?! Gue cium lu pada!'
Alan menyelesaikan kunyahannya. "Lo jadi basket Ngga?" ulangnya lagi.
"Boleh."
"Kok boleh?"
"Jadi gak apa-apa... enggak juga gak apa-apa."
Evan menghabiskan es teh manis pesanannya. "Mau basket di mana?" Lelaki itu melirik Angga lalu menunjuk dengan gerakan dagu. "Tempat dia?"
"Iye. Kayak biasa."
Sementara tiga temannya terlibat dalam rencana basket nanti sore yang entah jadi atau tidak sebab mereka dihadapkan dengan kenyataan mereka sudah kelas tiga dan adanya kelas tambahan program sekolah, sialnya langsung dimulai tepat dihari pertama mereka masuk— mata Sergio tertarik mengamati perempuan yang sudah lama tidak ia perhatikan.
"Laura?" Evan menyebutkan nama perempuan yang tersenyum sambil berterima kasih pada Mang Yanto atas mie ayam.
Sergio mengalihkan pandangan.
"Satu kelas sama kita."
Sergio langsung menoleh ke arah Evan. Evan menaikan sebelah alisnya. "Lah? Lo gak tau?"
Alan dan Angga kompak menoleh ke belakang, mencari keberadaan perempuan yang sempat menjadi kekasih Sergio. Setelah menemukan, mengamati sejenak mereka sama-sama kembali menatap Sergio. "Lo kenapa putus, sih?"
"Lo kenapa put—" Alan menelan pertanyaannya ketika Angga lebih dahulu mewakili. "Nah iya itu."
Sergio mengedikan bahu tidak mau repot menjawab pertanyaan teman-temannya. "Bolos kali ya, kelas tambahan hari ini?" katanya tiba-tiba. "Hari pertama paling juga ngapain."
"Ngapain?"
"Ya belajar. Apalagi?" Sergio terkekeh pelan tapi ajakannya segera disetujui oleh tiga temannya yang lain.
***
"Ya La?" Citra menyatukan tangan di depan wajah dengan ekspresi memelas dibuat-buat. Setelah bertemu dengan Bu Siska di ruang guru selepas istirahat tadi— tentu saja di tengah hebohnya para siswa SMA Gharda karena insiden Gracia. "Gak ada lagi yang cocok jadi wakil gue."
April pura-pura sibuk membaca buku yang sama sekali tidak menarik. Sementara Laura menggaruk kepalanya bingung bagaimana menolak tawaran Citra. "Gue gak pernah jad—"
"Gak apa-apa. Paling ngapain sih kita? Cuma koordinir anak-anak aja. Ya La?"
"Emang... gak ada voting ya?"
"Voting mah kalau ada kandidat lebih dari satu. Lah ini? Gak ada yang mau kan?"
Laura menimbang sesaat sambil mengingat bagaimana pekerjaan wakil ketua kelas ditahun-tahun sebelumnya. Seingat Laura tidak terlalu berat dan kebanyakan akan dihandle oleh ketua kelas. "I...iya deh."
"Yes!" Citra mengepalkan dua tangannya di udara. "Nanti istirahat kedua kita ke ruang guru ya? Kasih tahu Bu Siska sekalian ngambil print out jadwal kelas tambahan kita."
Laura mengangguk kecil sambil mempertahankan senyumnya hingga Citra kembali ke bangkunya.
"Kesepian dong gue?"
Laura mengerling pada April. "Lo ikut aja sih."
"Kagalah. Mending gue ke Kantin sama anak-anak."
Dua jam pelajaran dihabiskan oleh penghuni XII IPS 1 dengan kegiatan masing-masing karena guru yang mengajar absen entah alasannya. Kursi bagian belakang yang ditempati siswa laki-laki sendiri sudah kosong sejak tadi hanya tersisa beberapa.
"Si Grace apa kabar ya?"
Obrolan Fani dan Bia yang duduk di depan Laura menarik perhatian untuk mendengarkan lebih lanjut. Bia mengangkat bahu. "Lagian itu anak aneh sih."
"Maksudnya?"
"Ya... gak punya temen. Di kelas diem aja gitu. Kalau dipikir-pikir... gue nyaris gak pernah denger dia ngomong deh. Kalau ditanya juga ngangguk-ngangguk doang."
"Lo pernah satu kelas Bi?"
Bia mengangguk, perempuan berambut pendek itu menoleh ke belakang. "Iya kan La, Pril?"
Laura terkesiap. "Hah?"
Sementara April langsung mengangguk mereka memang pernah satu kelas di tahun kedua. "Emang gitu sih anaknya. Jarang ngomong— gak pernah lebih tepatnya. Orang kalau ditanya sama guru aja diem apalagi sama kita-kita?"
"Ih, aneh banget!"
Laura bahkan pernah satu kelompok dua kali dengan Gracia, ia tidak tega menganggap aneh perempuan yang selalu menunduk itu. Tapi kenyataan Gracia sama sekali tidak mengerjakan tugasnya sampai harus dialihkan ke teman yang lain bahkan pernah sengaja nama Gracia tidak dimasukan dalam makalah juga perempuan itu biasa saja.
"Diem-diem menghanyutkan emang," lanjut Bia. Seringaian muncul di wajah perempuan itu. "Tahu-tahu overdosis aja. Kapan coba makenya? Atau jangan-jangan dia udah pak—"
"Udah sih!" Citra tahu-tahu menyahut dari bangkunya. "Semua orang punya masalah masing-masing. Gak usah ikut campur, ntar jadi kebiasaan loh."
"Apaan sih, Cit?!"
"Tau! Ribet lu!"
Bia dan Fani kompak berbalik sementara April dan Laura saling lirik sebelum sama-sama kembali sibuk dengan ponsel masing-masing.
"INI GAK ADA GURU KENAPA GAK PANGGIL GURU PIKET, SIH?!" Suara menggelegar dari ambang pintu kelas sontak membuat semua kepala di dalam mengarah ke sumber suara. Di sana, Bu Sri berkacak pinggang menatap tajam ke seluruh penjuru ruangan. "JADWAL SIAPA?!"
"Pak Ahmad Bu..."
"SIAPA KETUA KELASNYA?!"
Citra mengacungkan tangan kemudian berdiri dan menjelaskan, "tadi saya sudah ke ruang guru buat cari Pak Ahmad Bu. Tapi beliau ternyata masih izin."
Bu Sri mengangguk membenarkan alasan yang diberi Citra. "Kenapa gak panggil guru piket?"
"Sudah Bu, tapi Bu Anis tadi bilang mau ngisi ke kelas sepuluh."
"Kan ada guru piket yang lain? Jangan alasan. Itu di kantor guru ada Pak Parno! Panggil sekarang!"
"Baik Bu." Citra melirik Laura lalu mengisyaratkan perempuan itu untuk ikut dengannya.
Kantor guru lebih ramai dari perkiraan Laura, rupanya banyak guru yang memilih duduk diam di balik meja masing-masing. Laura mengikuti Citra yang segera mengarah ke meja Pak Parno— satu-satunya guru BK laki-laki dan dibenci hampir semua murid SMA Gharda.
"Permisi Pak?"
"Ya?" balas Pak Parno tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
"Kelas kami kosong Pak, kebetulan Pak Parno guru piket hari ini."
Pak Parno menatap Citra dan Laura bergantian. "Kelas mana?"
"XII IPS 1, Pak."
Di luar dugaan Pak Parno justru menanyakan hal lain. "Kelasnya Sergio sama temen-temennya itu kan?"
"Iya... Pak."
"Suruh mereka masuk ke kelas dulu. Baru saya masuk ke kelas kalian."
Dua perempuan yang sama-sama dikuncir kuda itu bergeming, saling tatap atas perintah Pak Parno. Kenapa jadi tugas mereka mencari anak-anak nakal itu?
"Coba kalian cari di parkiran belakang atau gedung lama," kata Pak Parno lagi dan seperti tidak akan melanjutkan kalimatnya.
Citra tersenyum tipis. "Baik Pak."
Sementara Laura bertanya-tanya kenapa Citra sama sekali tidak membantah? Dia malah menarik lengan Laura untuk segera keluar dari kantor. "Usahain gak usah berurusan sama Pak Parno deh. Dari pada dikasih poin."
"Iya juga sih..." Laura baru ingat betapa otoriter guru satu itu mengancam anak murid dengan poin pelanggaran jika menentang perintahnya.
"Kita mencar ya? Lo mau ke mana? Gedung lama atau parkiran?"
"Parkiran aja deh." Tentu Laura akan memilih tempat yang paling gampang di gapai dibanding harus berputar untuk sampai ke gedung lama yang masih proses renovasi dan masih banyak kuli bangunan yang sering rese'.
Sejenak... Laura lupa bahwa parkiran belakang adalah tempat yang paling mungkin menemukan keberadaan Sergio dan yang lainnya.